Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dilema Royalti, Lagu Indonesia Menghilang dari Kafe

7 Agustus 2025   07:29 Diperbarui: 7 Agustus 2025   13:01 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah kafe di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, tak lagi putar musik Indonesia karena takut kena royalti.(KOMPAS.com/ SHINTA DWI AYU)

Musik Lokal vs Musik Asing: Paradoks yang Terjadi

Mengganti lagu Indonesia dengan musik Barat bukan hanya soal strategi bertahan, tetapi juga menciptakan paradoks kultural. Di tengah gencarnya promosi bangga terhadap produk lokal, kita justru menyaksikan degradasi simbolik terhadap karya anak bangsa. Lagu-lagu yang mestinya menjadi bagian dari atmosfer santai kafe kini harus digantikan oleh musik asing demi menghindari jeratan hukum.

Padahal, musik lokal memiliki peran strategis dalam membangun identitas budaya. Ketika kafe dan restoran---sebagai ruang perjumpaan sosial dan simbol gaya hidup---tidak lagi memutarkan lagu Indonesia, maka yang hilang bukan hanya suara, tetapi juga peluang memperkenalkan kekayaan musikal kepada publik urban yang menjadi agen utama persebaran selera.

Ketegangan antara Regulasi dan Realitas

Pertanyaan yang kemudian muncul: apakah regulasi royalti ini gagal memahami realitas di lapangan?

Pemerintah tentu memiliki niat baik untuk melindungi hak cipta dan menjamin keadilan bagi para pencipta lagu. Namun, ketika implementasi aturan menimbulkan eksklusi terhadap karya lokal di ruang publik, perlu ada evaluasi terhadap pendekatan yang digunakan.

Sebagian pengamat mengusulkan adanya pendekatan berbasis edukasi dan insentif, bukan hanya penindakan. Dalam banyak kasus, pelaku usaha tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai lisensi musik, mekanisme pembayaran, atau manfaat royalti. Tanpa sosialisasi dan transparansi, regulasi akan berujung pada ketakutan massal---seperti yang kini terjadi di Tebet.

Kafe Sunyi dan Lanskap Bisnis yang Berubah

Dalam lanskap yang lebih luas, fenomena ini juga menjadi bagian dari perubahan preferensi konsumen. Beberapa pengunjung mungkin tidak mempermasalahkan absennya lagu Indonesia, selama suasana tetap nyaman. Namun sebagian lain merasa kehilangan "jiwa" dari sebuah tempat makan atau minum kopi.

Kafe sunyi bukanlah hal baru di dunia. Di Jepang atau Korea Selatan, misalnya, ada tren kafe hening untuk membaca atau bekerja. Namun di Indonesia, di mana musik menjadi bagian integral dari suasana, keputusan untuk mematikan speaker karena takut royalti menunjukkan adanya friksi antara aspek legal dan aspek emosional dari pengalaman pelanggan.

Menakar Solusi: Jalan Tengah yang Layak Ditempuh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun