"Jika Rojali hanya datang dan Rohana hanya bertanya, siapa yang akan belanja demi pertumbuhan ekonomi kita?"
- Harmoko, Penulis Penuh Tanya
Beberapa bulan terakhir, pusat perbelanjaan ramai oleh pengunjung, tapi sepi oleh pembeli. Mereka datang berombongan, melihat-lihat, tanya-tanya, dan pulang dengan tangan hampa kecuali plastik berisi teh botol dan buklet diskon. Warganet menyebutnya sebagai Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya-nanya). Tadinya ini dianggap sekadar kelakar. Tapi seperti halnya mantan yang terus kepikiran, ternyata fenomena ini lebih dalam dari kelihatannya.
Mal Ramai, Kasir Merana
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, kunjungan ke mal memang meningkat. Tapi jangan senang dulu. Yang ramai itu bukan dompet, tapi langkah kaki. Pola belanja berubah. Kelas menengah bawah datang, tapi hanya beli "satuan kecil"---alias satuan yang tidak bikin dompet sesak napas.
Ini bukan cuma bicara soal window shopping, tapi lebih seperti survival shopping. Mereka datang ke mal mungkin untuk menyegarkan pikiran, menghirup aroma parfum tester gratis, sambil berharap diskon 90% untuk barang yang sebenarnya tetap tidak terjangkau meski gratis ongkir.
Konsumen Berhitung, Bukan Bertindak
Dari sisi data, Deputi Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menyatakan kelompok atas pun mulai menahan konsumsi. Data Susenas Maret 2025 menunjukkan kecenderungan kehati-hatian yang makin menguat. Tapi tenang, katanya, ini belum tentu menandakan kemiskinan. Mungkin hanya penyesuaian gaya hidup. Atau gaya hidup menyesuaikan isi dompet?
Kepala Ekonom BCA, David Sumual, bahkan menyebut bahwa konsumsi kelas menengah atas yang biasanya menyumbang 70% pembelian barang mewah kini mulai lesu. Mobil, arloji, tas branded? Sudah tidak secepat itu, Ferguso. Bahkan pemilik merek barang mewah merasa situasinya seperti krisis 2008. Bedanya, dulu karena Lehman Brothers. Sekarang karena Lemah Brosur Diskon.
Rojali Bukan Malas Beli, Tapi Tak Bisa Beli