Oleh: Harmoko, Penulis Penuh Tanya
Fenomena Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya) bukan sekadar lelucon warganet, melainkan refleksi nyata tekanan ekonomi pasca pandemi. Artikel ini mengupas secara reflektif bagaimana daya beli kelas menengah menurun, pusat perbelanjaan dipenuhi pengunjung tapi minim transaksi, serta pentingnya membaca gejala sosial sebelum angka statistik berubah. Sebuah opini yang memadukan humor cerdas dan keprihatinan ekonomis.
Akhir-akhir ini, jagat media sosial ramai memperbincangkan dua tokoh imajinatif tapi sangat nyata: Rojali dan Rohana. Bukan pasangan sinetron, bukan pula kandidat pilkada. Rojali adalah akronim dari "Rombongan Jarang Beli", sementara Rohana adalah "Rombongan Hanya Nanya". Dua istilah ini mewakili perilaku konsumen yang datang ke pusat perbelanjaan hanya untuk melihat-lihat, bertanya-tanya, tanpa ada transaksi.
Sekilas terlihat lucu dan jenaka, tapi jika kita renungkan lebih dalam, fenomena ini menyimpan sinyal ekonomi yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Di balik langkah ringan para Rojali dan Rohana yang wara-wiri di mal, tersimpan satu pertanyaan besar: apakah ini sekadar gaya hidup, atau pertanda bahwa daya beli masyarakat semakin tertekan?
Antara Lapar Konsumsi dan Dompet Diet Ketat
Sejak pandemi, peta konsumsi masyarakat Indonesia memang berubah. Ketika ruang gerak dibatasi dan pemasukan tak menentu, banyak orang mulai menahan diri dari belanja yang tidak penting. Meski pandemi telah berlalu, tampaknya kebiasaan itu masih terbawa hingga kini.
Rojali dan Rohana adalah manifestasi dari konsumsi yang tertunda. Mereka datang berkelompok, bersemangat, bahkan membawa anak dan kamera. Tapi alih-alih pulang membawa belanjaan, mereka hanya membawa kenangan dan satu-dua konten untuk Instagram. Secara psikologis, mereka masih ingin merasakan sensasi "kaya", namun secara ekonomi, isi dompetnya berkata lain.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa per Maret 2025, angka kemiskinan memang sedikit menurun menjadi 8,47 persen. Tapi data tersebut belum sepenuhnya mencerminkan tekanan ekonomi yang dialami kelas menengah---kelompok yang secara teknis tidak miskin, tapi juga tidak lagi boros.
Kelas menengah ini sedang mengalami apa yang disebut sebagai "aspirational squeeze"---mereka ingin tetap mempertahankan gaya hidup aspiratif, tapi secara finansial mulai tersendat. Akhirnya? Nongkrong di mal, tanya-tanya harga, dan berharap nanti diskonnya makin besar.
Pemerintah: Jangan Panik, Ini Biasa