Penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI Rate) kembali menjadi sorotan. Meski tak langsung terasa dalam kehidupan sehari-hari, keputusan ini punya efek domino yang berpengaruh besar terhadap denyut ekonomi masyarakat. Terutama saat ekonomi nasional sedang digoda oleh dua tamu tak diundang yang kini sering mondar-mandir di pusat perbelanjaan: Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya).
Dalam pernyataan resminya, Bank Indonesia menyebut bahwa kebijakan penurunan BI Rate ini bertujuan menjaga konsumsi dan investasi tetap tumbuh, bahkan di tengah ketidakpastian global yang masih terus menggelayuti. Selain itu, dengan sinergi berbagai pihak, langkah ini diharapkan membuka ruang yang lebih luas untuk peluang usaha, akses pembiayaan, dan perputaran ekonomi berkelanjutan.
Kedengarannya seperti jargon ekonomi biasa. Tapi mari kita dekati dengan cara yang lebih membumi.
Bunga Turun, Dompet Mungkin Tersenyum
Apa sebenarnya yang ingin dicapai dari turunnya BI Rate? Secara teknis, penurunan ini bisa menurunkan Cost of Fund (COF) atau biaya dana yang ditanggung perbankan. Semakin murah dana yang mereka kumpulkan, semakin besar peluang bank untuk menurunkan bunga kredit kepada masyarakat.
Nah, bunga kredit yang lebih rendah akan membuka akses pembiayaan yang lebih terjangkau. Masyarakat yang selama ini berpikir dua kali sebelum mengambil kredit konsumsi atau modal usaha, mulai berani ambil keputusan. Alhasil, permintaan naik, belanja jalan, dan roda produksi pun ikut bergerak. Intinya: ekonomi bisa digas, bukan cuma didorong.
Inilah sebabnya langkah ini juga diharapkan mampu menggairahkan kembali transaksi ritel yang sempat lesu. Rojali dan Rohana---yang biasanya hanya datang untuk cuci mata atau cari konten medsos---diharapkan mulai berubah jadi pembeli aktif. Tidak harus langsung belanja besar, tapi minimal ada transaksi. Mal tidak lagi sekadar jadi museum AC atau tempat numpang WiFi.
Antara Teori dan Realita Lapangan
Namun, kita juga tak bisa menutup mata bahwa turunnya suku bunga tidak serta-merta mengubah pola konsumsi masyarakat. Tetap ada tantangan struktural: daya beli yang belum pulih sepenuhnya, kekhawatiran akan masa depan ekonomi, dan tentu saja... cicilan yang sudah terlalu banyak dari masa lalu.
Fenomena Rojali dan Rohana bukan semata-mata soal enggan belanja, tetapi juga refleksi dari perubahan perilaku pascapandemi dan ketidakpastian global. Masyarakat kini lebih hati-hati, lebih selektif, bahkan lebih menghitung risiko. Promo besar-besaran di mal pun bisa kalah oleh diskon di e-commerce dan kebutuhan dapur yang tak bisa ditunda.