Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Money

BI Rate Turun: Harapan Baru di Tengah Fenomena Rojali dan Rohana

28 Juli 2025   03:17 Diperbarui: 28 Juli 2025   03:17 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bank Indonesia (Sumber: Unsplash)

Penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI Rate) kembali menjadi sorotan. Meski tak langsung terasa dalam kehidupan sehari-hari, keputusan ini punya efek domino yang berpengaruh besar terhadap denyut ekonomi masyarakat. Terutama saat ekonomi nasional sedang digoda oleh dua tamu tak diundang yang kini sering mondar-mandir di pusat perbelanjaan: Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya).

Dalam pernyataan resminya, Bank Indonesia menyebut bahwa kebijakan penurunan BI Rate ini bertujuan menjaga konsumsi dan investasi tetap tumbuh, bahkan di tengah ketidakpastian global yang masih terus menggelayuti. Selain itu, dengan sinergi berbagai pihak, langkah ini diharapkan membuka ruang yang lebih luas untuk peluang usaha, akses pembiayaan, dan perputaran ekonomi berkelanjutan.

Kedengarannya seperti jargon ekonomi biasa. Tapi mari kita dekati dengan cara yang lebih membumi.

Bunga Turun, Dompet Mungkin Tersenyum

Apa sebenarnya yang ingin dicapai dari turunnya BI Rate? Secara teknis, penurunan ini bisa menurunkan Cost of Fund (COF) atau biaya dana yang ditanggung perbankan. Semakin murah dana yang mereka kumpulkan, semakin besar peluang bank untuk menurunkan bunga kredit kepada masyarakat.

Nah, bunga kredit yang lebih rendah akan membuka akses pembiayaan yang lebih terjangkau. Masyarakat yang selama ini berpikir dua kali sebelum mengambil kredit konsumsi atau modal usaha, mulai berani ambil keputusan. Alhasil, permintaan naik, belanja jalan, dan roda produksi pun ikut bergerak. Intinya: ekonomi bisa digas, bukan cuma didorong.

Inilah sebabnya langkah ini juga diharapkan mampu menggairahkan kembali transaksi ritel yang sempat lesu. Rojali dan Rohana---yang biasanya hanya datang untuk cuci mata atau cari konten medsos---diharapkan mulai berubah jadi pembeli aktif. Tidak harus langsung belanja besar, tapi minimal ada transaksi. Mal tidak lagi sekadar jadi museum AC atau tempat numpang WiFi.

Antara Teori dan Realita Lapangan

Namun, kita juga tak bisa menutup mata bahwa turunnya suku bunga tidak serta-merta mengubah pola konsumsi masyarakat. Tetap ada tantangan struktural: daya beli yang belum pulih sepenuhnya, kekhawatiran akan masa depan ekonomi, dan tentu saja... cicilan yang sudah terlalu banyak dari masa lalu.

Fenomena Rojali dan Rohana bukan semata-mata soal enggan belanja, tetapi juga refleksi dari perubahan perilaku pascapandemi dan ketidakpastian global. Masyarakat kini lebih hati-hati, lebih selektif, bahkan lebih menghitung risiko. Promo besar-besaran di mal pun bisa kalah oleh diskon di e-commerce dan kebutuhan dapur yang tak bisa ditunda.

Dalam konteks inilah, kebijakan moneter seperti penurunan BI Rate butuh dukungan dari kebijakan fiskal, reformasi struktural, serta pendekatan yang lebih menyentuh sisi psikologis konsumen. Kepercayaan publik menjadi modal penting untuk mendorong konsumsi.

Kutipan orisinil oleh: Harmoko, Penulis Penuh Tanya.
Kutipan orisinil oleh: Harmoko, Penulis Penuh Tanya.
Rojali dan Rohana Butuh Narasi Optimisme

Rojali dan Rohana bukan sekadar fenomena ekonomi, tapi juga cermin retak dari kondisi kelas menengah kita. Mereka datang ke mal bukan semata untuk "berhemat", melainkan karena memang belum ada keyakinan bahwa belanja mereka akan setara dengan manfaat yang diraih.

Dalam hal ini, perlu ada narasi optimisme yang lebih kuat. Pemerintah, dunia usaha, hingga media perlu membangun kembali kepercayaan bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk bergerak. Bahwa ada harapan di balik tantangan, dan bahwa ekonomi nasional bukan hanya milik elite, tetapi juga ruang bertumbuh bagi rakyat kecil dan kelas menengah.

Penurunan suku bunga memang bukan solusi tunggal. Tapi ia bisa menjadi pemantik, semacam "starter pack" bagi ekonomi yang sedang mencoba bangkit. Dengan bunga lebih rendah, UKM bisa lebih leluasa mengakses modal. Rumah tangga bisa berani mengambil kredit produktif. Dan tentu saja, sektor konsumsi bisa kembali menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional.

Harapan dari Tengah Mall dan Tengah Hati

Mari bayangkan sebuah akhir pekan di pusat perbelanjaan. Rojali dan Rohana tak lagi hanya datang berkerumun di depan tenant minuman kekinian untuk sekadar "coba tester", tapi benar-benar membeli. Mereka tidak hanya bertanya harga, lalu kabur dengan janji manis "nanti balik lagi", tapi benar-benar transaksi. Bukan karena dipaksa, tapi karena merasa mampu dan percaya diri.

Itulah harapan dari kebijakan ini. Lebih dari sekadar angka dalam laporan bulanan BI, penurunan suku bunga ini semoga bisa menghadirkan denyut baru dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Karena ekonomi, pada akhirnya, adalah soal rasa percaya---percaya bahwa masa depan bisa lebih baik, asal semua pihak bergerak bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun