Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kenapa Banyak Anak Muda Memilih Menunda Menikah? Ini Bukan Soal Takut, Tapi Soal Realitas

27 Juli 2025   08:00 Diperbarui: 27 Juli 2025   07:48 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kapan nikah?"

Pertanyaan ini mungkin terdengar ringan, bahkan dianggap basa-basi klasik saat kumpul keluarga. Tapi bagi sebagian besar anak muda masa kini, menjawabnya butuh lebih dari sekadar senyum dan tawa canggung. Di balik pertanyaan itu, tersimpan tekanan sosial, ekspektasi budaya, dan kenyataan ekonomi yang kadang menyesakkan.

Fakta terbaru dari Dinas Dukcapil DKI Jakarta menyebutkan bahwa dari sekitar 7,7 juta penduduk usia 19 tahun ke atas, sebanyak 2,09 juta di antaranya belum menikah. Angka ini bukan hanya statistik, tapi cermin dari tren sosial yang berkembang: banyak anak muda yang memilih menunda menikah---bukan karena takut, tapi karena realistis.

Menikah: Dulu Tujuan, Kini Pilihan

(Dok. Unsplash/Pablo Heimplatz via KOMPAS.com)
(Dok. Unsplash/Pablo Heimplatz via KOMPAS.com)

Di era orang tua kita, menikah di usia 20-an awal adalah hal yang nyaris "wajib". Menikah dianggap sebagai bagian dari perjalanan hidup normal: lulus kuliah, kerja, lalu menikah. Kini, urutannya mulai berubah. Banyak anak muda yang memilih untuk fokus pada hal-hal lain dulu---karier, pendidikan, bahkan healing.

Seperti Bernath (24), karyawan swasta di Jakarta yang sudah menjalani hubungan selama hampir empat tahun. Ia bilang bahwa biaya hidup setelah menikah adalah pertimbangan paling besar. "Aku harus pastikan kalau setelah menikah nanti, aku bisa hidup dengan nyaman, tanpa panik setiap awal bulan soal tagihan," ujarnya.

Ini bukan berarti Bernath tak ingin menikah. Tapi ia paham bahwa menikah bukan cuma soal cinta. Ada tagihan, biaya pendidikan anak, cicilan rumah, bahkan inflasi tahunan yang terus bergulir seperti FYP TikTok yang tak pernah habis.

Realitas Ekonomi: Uang Belum Cukup, Apalagi Mahar

(Dok. Unsplash/Emil Kalibradov via KOMPAS.com)
(Dok. Unsplash/Emil Kalibradov via KOMPAS.com)
Putri (24), karyawan swasta lainnya, punya pandangan yang serupa. Baginya, menikah bukan cuma tentang kesiapan hati, tapi juga dompet. "Aku ingin mandiri secara finansial dulu. Aku nggak mau hidup berdua tapi tetap minta uang ke orang tua," katanya.

Kemandirian finansial memang jadi kata kunci bagi banyak anak muda sekarang. Mereka ingin menikah dalam kondisi siap: bisa bayar sewa rumah sendiri, bisa liburan walau setahun sekali, dan tentu saja---bisa beli susu anak tanpa pakai promo Paylater.

Apalagi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, biaya hidup bisa bikin dompet menangis. Harga sewa kos makin naik, kebutuhan pokok makin mahal, dan harga nasi goreng langganan pun sudah naik seribu. Dengan kondisi seperti ini, masuk akal jika banyak yang merasa belum siap memulai hidup berdua.

Karier, Pendidikan, dan Ambisi yang Menunggu Giliran

Bagi Desy (23), pekerja paruh waktu, menikah sekarang rasanya seperti membeli rumah dengan gaji magang---mungkin bisa, tapi risikonya besar. "Aku masih bangun karier. Gajiku belum cukup untuk dua orang, apalagi punya anak," katanya jujur.

Generasi muda kini tidak lagi menjadikan pernikahan sebagai satu-satunya puncak pencapaian. Banyak yang ingin lebih dulu mencapai stabilitas dalam karier, menyelesaikan pendidikan lanjutan, atau bahkan traveling keliling Asia Tenggara sebelum mengurus KUA.

Dan itu sah-sah saja.

Pilihan ini bukan bentuk ketakutan, apalagi penolakan terhadap pernikahan. Ini adalah bentuk tanggung jawab---terhadap diri sendiri dan pasangan. Karena menikah dalam keadaan belum siap, hanya demi memenuhi tuntutan sosial, bisa lebih menyakitkan daripada menunda dengan alasan yang jelas.

Tekanan Sosial Masih Kuat, Tapi Kesadaran Diri Lebih Kuat

Meski tren menunda menikah makin umum, tekanan sosial belum sepenuhnya hilang. Keluarga, tetangga, bahkan teman-teman kadang masih melempar komentar "kapan nyusul?" atau "jangan pilih-pilih, nanti keburu tua."

Namun generasi sekarang punya bekal: kesadaran diri yang lebih tinggi. Mereka mulai berani bilang "belum siap" tanpa merasa malu. Mereka tahu bahwa menikah bukan perlombaan. Ini tentang kesiapan lahir batin, bukan sekadar usia atau status sosial.

Dan menariknya, banyak dari mereka justru merasa lega. Tidak menikah bukan berarti gagal. Justru dengan memberi ruang untuk mempersiapkan diri, mereka bisa membangun rumah tangga yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Penutup: Menikah Itu Sakral, Bukan Sekadar Tren

Di tengah banjir undangan pernikahan dan konten prewedding aesthetic di Instagram, penting untuk diingat: menikah adalah keputusan besar. Ia bukan soal FOMO, tapi soal kesiapan. Anak muda masa kini tahu itu, dan mereka memilih menunda bukan karena takut... tapi karena bijak.

Mereka tidak sedang lari dari komitmen, tapi sedang mempersiapkan pijakan yang kuat sebelum melangkah. Dan barangkali, di situlah justru kedewasaan itu terlihat.

Gimana menurut kamu? Apakah kamu juga termasuk yang menunda menikah? Yuk, tulis pendapatmu di kolom komentar!

(Jangan khawatir, kita di sini bukan Mbah Dukun yang suka nanya 'kapan nyusul?' ya )

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun