"Kapan nikah?"
Pertanyaan ini mungkin terdengar ringan, bahkan dianggap basa-basi klasik saat kumpul keluarga. Tapi bagi sebagian besar anak muda masa kini, menjawabnya butuh lebih dari sekadar senyum dan tawa canggung. Di balik pertanyaan itu, tersimpan tekanan sosial, ekspektasi budaya, dan kenyataan ekonomi yang kadang menyesakkan.
Fakta terbaru dari Dinas Dukcapil DKI Jakarta menyebutkan bahwa dari sekitar 7,7 juta penduduk usia 19 tahun ke atas, sebanyak 2,09 juta di antaranya belum menikah. Angka ini bukan hanya statistik, tapi cermin dari tren sosial yang berkembang: banyak anak muda yang memilih menunda menikah---bukan karena takut, tapi karena realistis.
Menikah: Dulu Tujuan, Kini Pilihan
Di era orang tua kita, menikah di usia 20-an awal adalah hal yang nyaris "wajib". Menikah dianggap sebagai bagian dari perjalanan hidup normal: lulus kuliah, kerja, lalu menikah. Kini, urutannya mulai berubah. Banyak anak muda yang memilih untuk fokus pada hal-hal lain dulu---karier, pendidikan, bahkan healing.
Seperti Bernath (24), karyawan swasta di Jakarta yang sudah menjalani hubungan selama hampir empat tahun. Ia bilang bahwa biaya hidup setelah menikah adalah pertimbangan paling besar. "Aku harus pastikan kalau setelah menikah nanti, aku bisa hidup dengan nyaman, tanpa panik setiap awal bulan soal tagihan," ujarnya.
Ini bukan berarti Bernath tak ingin menikah. Tapi ia paham bahwa menikah bukan cuma soal cinta. Ada tagihan, biaya pendidikan anak, cicilan rumah, bahkan inflasi tahunan yang terus bergulir seperti FYP TikTok yang tak pernah habis.
Realitas Ekonomi: Uang Belum Cukup, Apalagi Mahar