Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Viral Sampai Mancanegara, Tapi Nama Tetangga Sebelah Masih Pak yang Jemurnya Banyak?

12 Juli 2025   11:06 Diperbarui: 12 Juli 2025   11:06 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Followers ribuan, tapi yang dengar suara tetangga tinggal suara jangkrik." (Ilustrasi: Gambar ini dihasilkan dengan bantuan AI)

Kita bisa tersambung dengan dunia dalam satu klik, tapi kadang lupa mengetuk pintu rumah sebelah.

Kita bisa viral di TikTok. Tapi kenapa nama tetangga sebelah masih "Bu yang kucingnya banyak"?

Aneh, ya? Kita tahu nama akun TikTok idola dari Uzbekistan, hafal siapa yang sering joget bareng FYP kita, bahkan tahu filter yang lagi tren. Tapi coba tanya, siapa nama ibu yang tiap pagi nyapu depan rumahmu? Kadang kita cuma bisa jawab, "Itu, yang suka pakai daster biru."

Apa kita terlalu sibuk membangun jaringan di dunia maya, sampai lupa menguatkan jalinan di dunia nyata?

Dunia Maya: Ramai Scroll, Sepi Sapa

Pagi-pagi kita buka ponsel, langsung scroll berita, scroll video lucu, scroll gosip seleb. Tapi waktu Bu Yuni manggil dari pagar depan, kita malah pura-pura nggak dengar sambil angkat galon pakai gaya pura sibuk.

Kenapa ya, menyapa di kolom komentar rasanya lebih gampang daripada menyapa di dunia nyata?

Apakah teknologi membuat kita lebih dekat ke orang jauh, tapi menjauh dari orang dekat?

Apakah kita lebih nyaman melihat senyum di layar daripada senyum tetangga yang bisa kelihatan gigi emasnya?

Followers Banyak, Tapi Tetangga Tak Dikenal

Hari gini, punya followers ribuan dianggap pencapaian. Tapi ironisnya, kita masih bingung bedain Pak RT dan Pak RW. Kita bisa viralkan konten bumbu dapur, tapi nggak tahu nama tetangga yang pernah bantu pinjamkan bumbu itu saat kita kehabisan garam.

Kadang kita merasa "connected" secara global, tapi disconnected secara lokal. Kita terhubung dengan tren dunia, tapi terputus dari cerita rumah sebelah. Padahal, saat banjir datang atau listrik mati, bukan followers yang datang bantu, tapi si tetangga itu---yang namanya kita lupa, tapi wajahnya familiar tiap pagi.

Konten "Peduli Sosial", Tapi Lupa Jadi Sosial

Banyak yang bikin konten "Jangan cuek sama sekitar", "Peduli lingkungan yuk!", atau "Bantu tetangga terdampak." Tapi setelah kamera dimatikan, kita balik jadi netizen pemalu di dunia nyata.

Kadang kita terlalu sibuk menciptakan image baik, tapi lupa membentuk interaksi baik.

Senyum manis untuk kamera, tapi datar saat papasan dengan tetangga.

Semangat komentar di live orang, tapi diam seribu bahasa waktu ditanya, "Anaknya Bu Jannah udah lulus ya?"

Ruang Sosial Kosong, Tapi Storage HP Penuh

Dulu, pos ronda jadi tempat segala. Ngopi, curhat, bahkan debat isu nasional. Sekarang? Kosong. Bukan karena tak butuh, tapi karena semua sibuk "nongkrong" di tempat yang tidak bisa disentuh---di grup, di aplikasi, di cloud.

Ponsel kita penuh dengan foto makanan, video challenge, dan aplikasi edit suara. Tapi memori sosial kita menipis. Kita lupa suara asli tetangga karena sudah lama tak berbincang. Kita lupa cara menegur secara santun karena terlalu lama menilai hanya lewat emoji.

Apakah kita masih bisa berteman tanpa sinyal?

Teknologi Itu Netral, Kita yang Arahkan

Tenang. Ini bukan tulisan anti-TikTok, anti-IG, atau anti-Reels.

Teknologi itu luar biasa. Ia membantu kita belajar, mencari hiburan, bahkan membuka peluang rezeki. Tapi kalau semua waktu habis di dunia maya, kapan kita hidup di dunia nyata?

Teknologi bisa memperluas dunia, tapi hati kita yang harus memperluas perhatian.

Coba bayangkan:

  • Sore hari, bukan hanya bikin konten, tapi juga duduk sebentar di teras, ngobrol sama tetangga.
  • Ketemu orang tua di jalan, bukan cuma disalip, tapi juga disapa.
  • Punya tetangga baru? Jangan cuma nge-stalk alamat via Google Maps---cobalah bawa gorengan.

Karena hubungan manusia itu bukan soal WiFi, tapi soal rasa hadir.

Dari Penulis yang Penuh Tanya...

Apakah benar kita sedang menjadi manusia yang serba aktif di layar, tapi pasif dalam realita?

Apakah mungkin nanti anak-anak kita tahu lebih dulu siapa selebgram luar negeri daripada siapa yang tinggal dua rumah dari kita?

Apakah perlu ada notifikasi "Tetangga Anda butuh disapa" baru kita sadar?

Atau jangan-jangan, suatu hari nanti, kita bikin konten "Tips mengenal tetangga" lengkap dengan challenge dan hashtag... karena kenalan langsung sudah dianggap kuno?

Penutup yang Tak Punya Jawaban

Saya tidak tahu jawabannya. Tapi saya yakin, kalau kita bisa tersenyum pada kamera, kita juga pasti bisa tersenyum pada sesama.

Kalau kita bisa tulus mengetik "stay safe ya kak" ke orang asing di live stream, pasti kita juga bisa mengetuk pintu tetangga dan bertanya, "Lagi butuh bantuan, Bu?"

Dan siapa tahu, hubungan yang awalnya kikuk bisa berubah jadi hangat. Sehangat kopi hitam tanpa filter, tanpa edit, tapi nyata.

Desain Pribadi Penulis Penuh Tanya 
Desain Pribadi Penulis Penuh Tanya 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun