Banyak konsultan keuangan menyarankan memiliki rekening bersama untuk kebutuhan rumah tangga.Â
Ini bisa membantu transparansi, pembagian tanggung jawab, dan manajemen anggaran bersama. Namun, solusi ini bukan "satu untuk semua".Â
Setiap pasangan punya dinamika berbeda. Ada yang cocok dengan model full gabung, ada yang lebih nyaman dengan sistem hybrid (rekening pribadi + rekening bersama), ada juga yang tetap pisah total tapi punya aturan kontribusi.
Yang penting bukan modelnya, tapi kesepakatan dan kejelasannya.
Setelah menikah, tujuan keuangan harus disusun bersama. Tidak cukup hanya "ayo nabung", tapi harus jelas: untuk apa? Rumah? Dana darurat? Pendidikan anak?
Pasangan yang saling mendukung dalam merancang tujuan jangka pendek dan panjang cenderung lebih solid.Â
Apalagi jika masing-masing tahu apa peran dan kontribusinya. Dan ya, ini termasuk juga menyesuaikan ekspektasi. Jangan sampai satu ingin liburan ke Eropa, yang satu ingin bebas utang dulu.
Prioritas bisa berubah. Gaji bisa naik, atau justru hilang. Maka penting untuk mengevaluasi kondisi keuangan rumah tangga secara berkala.Â
Buat jadwal ringan, misalnya sebulan sekali atau tiap tiga bulan, untuk mengecek anggaran, revisi target, dan diskusikan kendala.
Anggap saja ini seperti "rapat keluarga kecil"---tanpa notulen, tapi dengan kesepakatan.
Banyak pasangan terjebak pada ego atau tuntutan budaya. Misalnya, hanya suami yang wajib mengatur uang, atau istri dianggap "harus bisa hemat" tanpa tahu kondisinya.Â