Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pernikahan Bukan Panggung Pamer: Kembali ke Makna Sakral dan Kejujuran

5 Juli 2025   12:37 Diperbarui: 5 Juli 2025   12:37 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pernikahan yang dirancang dengan hati lebih kuat daripada yang dibangun dengan gengsi. (Diolah oleh penulis via Canva)

Makna yang Terkikis di Balik Resepsi Mewah

Padahal, esensi pernikahan bukanlah tentang satu hari pesta. Ia adalah tentang hari-hari setelahnya. Tentang siapa yang akan menemani saat tagihan datang, saat anak menangis tengah malam, atau ketika hidup tak lagi manis. Janji suci yang dilafalkan di hadapan penghulu, saksi, dan Tuhan---itulah momen yang seharusnya menjadi inti dari segalanya.

Pernikahan yang sakral mestinya lahir dari niat yang jujur, bukan dari tekanan atau gengsi. Dirancang dengan hati yang ingin saling menemani, bukan demi mengesankan tamu yang akan lupa siapa pengantinnya begitu makanan pencuci mulut habis.

Menikah Itu Sakral, Bukan Spektakel

Tak salah jika ingin membuat momen pernikahan menjadi indah dan tak terlupakan. Tapi penting untuk bertanya: untuk apa dan untuk siapa? Jika niatnya untuk saling membahagiakan dan membagi kebahagiaan, maka bentuknya bisa sederhana tapi bermakna. Tapi jika niatnya untuk terlihat menang dalam lomba sosial media, maka kita hanya sedang membangun panggung yang cepat runtuh.

Pernikahan yang hebat bukanlah yang punya venue di hotel bintang lima, tapi yang bisa bertahan ketika hidup hanya mampu menyewa kamar kontrakan. Bukan yang mengundang ribuan tamu, tapi yang mampu menjaga satu sama lain saat semua orang pergi.

Narasi Keseharian yang Lebih Realistis

Saya pernah hadir di pernikahan sederhana: akad di rumah, hanya dihadiri keluarga inti dan beberapa sahabat dekat. Tidak ada pelaminan, tidak ada hiburan dangdut, hanya lantunan doa dan senyum tulus dari dua insan yang siap menjalani hidup bersama. Ajaibnya, kebahagiaan di ruangan itu terasa lebih kental dari pernikahan mana pun yang pernah saya hadiri.

Bandingkan dengan pesta megah di gedung besar yang saya datangi seminggu kemudian. Undangan dicetak mewah, makanan lima jenis, ada kembang api segala. Tapi sang pengantin tampak lebih sibuk selfie ketimbang berbincang dengan pasangan. Beberapa bulan kemudian saya dengar mereka bercerai, bahkan sebelum cicilan WO lunas.

Bukan berarti semua pesta besar pasti berakhir buruk. Tapi jika semua energi habis untuk hari H tanpa kesiapan untuk hari-hari berikutnya, maka kita sedang menanam benih ilusi.

Ajakan untuk Berani Sederhana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun