Saya tertarik dengan metafora ini: algoritma menjadikan otak kita uang kembalian. Artinya, kita diberi secuil demi secuil hiburan atau informasi sebagai umpan, padahal nilai utamanya bukan untuk kita. Nilai utamanya ada pada waktu dan perhatian yang mereka curi dari kita.
Algoritma tidak bekerja untuk mencerdaskan kita. Ia bekerja untuk mempertahankan keterlibatan, memprediksi kebiasaan kita, dan mengeksploitasinya demi monetisasi. Kita seolah masuk ke toko serba ada, tapi setiap keluar, dompet perhatian kita semakin tipis.
Dampak Psikologis: Lelah tapi Tak Mau Berhenti
Banyak orang mengaku merasa lebih lelah secara mental setelah lama scrolling. Ada rasa bersalah, ada kecemasan, tapi tetap dilakukan. Ini menunjukkan bahwa kecanduan digital bukan soal kemauan lemah, tapi sistem yang memang dirancang adiktif.
Ketika dopamine naik-turun drastis karena konten yang sangat acak dan intens, mood kita pun ikut terganggu. Kita bisa merasa terlalu bersemangat lalu tiba-tiba hampa. Bahkan, efek ini bisa membuat seseorang merasa lebih cemas, sulit tidur, hingga merasa kesepian meski dikelilingi notifikasi.
Zombie Digital dan Budaya Kecepatan
Apa yang salah dari budaya cepat? Banyak. Kita mengira semua harus serba cepat: baca cepat, kerja cepat, respons cepat. Tapi tidak semua hal bisa dipercepat tanpa kehilangan makna. Pikiran mendalam, hubungan emosional, dan pencarian jati diri memerlukan waktu dan ruang yang tidak bisa didapat dari 60 detik video.
Kita butuh ruang untuk berhenti sejenak dan bertanya: apa yang sebenarnya saya cari dari semua ini? Apakah saya benar-benar butuh hiburan, atau hanya pelarian dari rasa sepi yang belum saya pahami?
Refleksi: Literasi Digital Bukan Cuma Soal Hoaks
Literasi digital sering dibatasi pada "bisa membedakan hoaks dan fakta". Tapi, sejatinya literasi digital tingkat lanjut adalah kemampuan memahami bagaimana algoritma bekerja, apa motif platform, dan bagaimana dampaknya terhadap hidup kita.
Saat kita menyadari bahwa kita bukan hanya konsumen, tapi juga produk dan korban, barulah kita bisa mulai mengatur kembali relasi kita dengan dunia digital. Kita bukan anti teknologi. Tapi kita ingin teknologi tunduk pada nilai-nilai kemanusiaan, bukan sebaliknya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!