Kita sering lupa: anak dari keluarga miskin membawa beban yang tak kasat mata---kemiskinan struktural, pengalaman dipinggirkan, trauma kelaparan, dan minimnya dukungan belajar di rumah.
Sekolah Rakyat harus menjadi ruang penyembuhan sekaligus pemberdayaan. Guru-gurunya bukan hanya pengajar matematika atau bahasa, tapi juga pendengar yang baik, motivator, bahkan kadang pengganti figur orang tua. Kalau kita menuntut siswa berprestasi, kita harus siapkan sistem yang memanusiakan.
Harapan Itu Masih Ada, Tapi Perlu Dijaga
Saya percaya, Sekolah Rakyat bisa menjadi mercusuar baru pendidikan Indonesia---tapi hanya jika dijalankan dengan keberpihakan, bukan sekadar keterpaksaan politik. Kuncinya bukan di atas panggung peresmian, melainkan di desa-desa tempat anak-anak itu tinggal.
Mereka bukan cuma statistik. Mereka adalah nama-nama kecil yang bermimpi: jadi guru, jadi dokter, jadi petani cerdas, atau sekadar bisa membaca dengan lancar. Mereka pantas dapat tempat terbaik untuk tumbuh.
Penutup: Jangan Biarkan Harapan Menjadi Beban
Pendidikan adalah janji. Tapi janji tanpa pemenuhan justru jadi beban baru bagi yang berharap.
Jika Sekolah Rakyat ingin benar-benar hidup, maka pemerintah harus turun ke bawah, bukan menunggu data di atas meja. Dengarkan orang tua seperti Ibu Murni. Bantu mereka memahami, dampingi mereka berproses. Karena dalam dunia pendidikan, kepercayaan masyarakat adalah mata uang paling berharga.
Dan anak-anak itu... mereka tidak butuh gedung megah, cukup tempat belajar yang aman, guru yang peduli, dan negara yang hadir bukan saat peluncuran saja---tapi setiap hari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI