"Kami cuma ingin anak kami bisa sekolah. Tapi siapa yang bantu di ladang kalau dia pergi?"
--- Ibu Murni, warga desa di lereng bukit.
Tanggal 1 Juli 2025 menjadi tonggak baru bagi pendidikan Indonesia. Pemerintah resmi meluncurkan program Sekolah Rakyat, sebuah upaya menyediakan pendidikan gratis dari tingkat SD hingga SMA untuk anak-anak dari keluarga miskin. Tak hanya bebas biaya, siswa juga mendapat seragam, buku, makan tiga kali sehari, bahkan asrama.
Di atas kertas, ini adalah mimpi yang jadi nyata.
Namun, kenyataan di lapangan sering kali jauh lebih rumit dari selebaran pengumuman.
Sekolah Gratis, Tapi Tak Semudah Itu
Saya ingat perbincangan dengan Ibu Murni, seorang petani di desa terpencil di kawasan Nusa Tenggara Timur. Ia memiliki dua anak, dan sang sulung, Beni, baru lulus SD. Ketika ditawari masuk Sekolah Rakyat yang jaraknya 25 km dari rumah, responsnya tidak seantusias yang dibayangkan pemerintah.
"Kalau Beni ikut program itu dan tinggal di asrama, siapa yang bantu bapaknya di kebun? Lagipula, kami belum pernah lihat sekolahnya. Aman nggak? Siapa guru-gurunya?"
Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin terdengar kecil bagi pejabat di pusat. Tapi bagi keluarga seperti mereka, itu adalah pertimbangan hidup. Pendidikan bukan sekadar soal biaya---tetapi juga soal kepercayaan, logistik, dan realitas keseharian.
Antara Visi Nasional dan Kekosongan Sosialisasi
Sekolah Rakyat adalah gagasan mulia. Ia hadir di tengah krisis pendidikan yang terus membelit Indonesia, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Tapi visi tanpa sosialisasi adalah mimpi yang tak pernah bangun.
Banyak warga desa belum tahu detail program ini. Mereka hanya mendengar "gratis" tapi tak paham sistem seleksinya, mekanisme asrama, hingga jaminan keamanan anak. Di beberapa daerah, tak ada pertemuan warga atau penyuluhan dari dinas pendidikan. Yang ada hanya surat tempel di papan pengumuman balai desa.
Padahal, kalau negara ingin warga percaya, maka hadirnya program harus disertai pendampingan emosional dan informatif. Bukan sekadar peluncuran megah di media sosial.
Antusiasme yang Terhambat Kenyataan
Beberapa keluarga yang berminat pun harus berhadapan dengan kendala teknis. Seorang ibu di pelosok Sumatera Barat mengeluhkan, anaknya ingin mendaftar, tapi mereka tak punya akses internet dan tak tahu cara unggah dokumen. Di sisi lain, sekolah yang ditunjuk sebagai bagian dari program ini masih minim fasilitas.
Ada pula kasus di mana guru-guru belum diberi pelatihan khusus, padahal mereka akan menghadapi anak-anak dari latar ekonomi dan trauma yang beragam. Tanpa pelatihan, tanpa pendekatan psikososial, apakah sekolah ini akan benar-benar jadi tempat tumbuh, atau sekadar penampungan formal?
Program Baik Butuh Ekosistem yang Kuat
Pendidikan bukan soal guru dan murid saja. Ia adalah ekosistem: melibatkan keluarga, komunitas, perangkat desa, tokoh masyarakat, hingga dunia usaha.
Agar Sekolah Rakyat tak jadi proyek yang hanya gemerlap di awal, maka:
Pemerintah daerah perlu aktif mendampingi warga---dari tahap pendaftaran hingga adaptasi siswa.
Perangkat desa dan tokoh adat bisa dilibatkan sebagai "jembatan kepercayaan" antara keluarga dan sistem sekolah.
Monitoring dan evaluasi independen sangat penting---agar tak ada penyimpangan, dan agar aspirasi warga bisa tersampaikan.
Lebih dari itu, sekolah ini perlu pendekatan yang manusiawi, bukan administratif semata.
Mendidik Itu Bukan Sekadar Mengajar
Kita sering lupa: anak dari keluarga miskin membawa beban yang tak kasat mata---kemiskinan struktural, pengalaman dipinggirkan, trauma kelaparan, dan minimnya dukungan belajar di rumah.
Sekolah Rakyat harus menjadi ruang penyembuhan sekaligus pemberdayaan. Guru-gurunya bukan hanya pengajar matematika atau bahasa, tapi juga pendengar yang baik, motivator, bahkan kadang pengganti figur orang tua. Kalau kita menuntut siswa berprestasi, kita harus siapkan sistem yang memanusiakan.
Harapan Itu Masih Ada, Tapi Perlu Dijaga
Saya percaya, Sekolah Rakyat bisa menjadi mercusuar baru pendidikan Indonesia---tapi hanya jika dijalankan dengan keberpihakan, bukan sekadar keterpaksaan politik. Kuncinya bukan di atas panggung peresmian, melainkan di desa-desa tempat anak-anak itu tinggal.
Mereka bukan cuma statistik. Mereka adalah nama-nama kecil yang bermimpi: jadi guru, jadi dokter, jadi petani cerdas, atau sekadar bisa membaca dengan lancar. Mereka pantas dapat tempat terbaik untuk tumbuh.
Penutup: Jangan Biarkan Harapan Menjadi Beban
Pendidikan adalah janji. Tapi janji tanpa pemenuhan justru jadi beban baru bagi yang berharap.
Jika Sekolah Rakyat ingin benar-benar hidup, maka pemerintah harus turun ke bawah, bukan menunggu data di atas meja. Dengarkan orang tua seperti Ibu Murni. Bantu mereka memahami, dampingi mereka berproses. Karena dalam dunia pendidikan, kepercayaan masyarakat adalah mata uang paling berharga.
Dan anak-anak itu... mereka tidak butuh gedung megah, cukup tempat belajar yang aman, guru yang peduli, dan negara yang hadir bukan saat peluncuran saja---tapi setiap hari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI