Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

BRIN dan Krisis Tata Kelola: Mencari Jalan Tengah antara Sentralisasi dan Keadilan Organisasi

28 Mei 2025   10:16 Diperbarui: 28 Mei 2025   10:16 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kisruh yang terjadi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali mencuat ke permukaan. 

Kali ini, dinamika internal lembaga tersebut mencapai titik kritis dengan aksi terbuka sejumlah pegawai yang tergabung dalam kelompok Mimbar Akademis. 

Aksi yang digelar pada 27 Mei 2025 di depan Gedung BJ Habibie, Kompleks BRIN Jakarta, menyuarakan tuntutan reformasi kelembagaan secara menyeluruh. 

Tuntutan utamanya ialah pencopotan Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, atas kebijakan sentralistis yang dinilai tidak memperhatikan kesejahteraan pegawai serta merusak tatanan organisasi riset nasional.

Fenomena ini menandai tidak sekadar ketidakpuasan terhadap figur kepemimpinan, melainkan mengindikasikan adanya persoalan struktural dan paradigmatik dalam tata kelola riset nasional Indonesia pasca penggabungan berbagai lembaga riset ke dalam BRIN. 

Esai ini akan mengulas dinamika konflik tersebut secara komprehensif dengan menelaah konteks historis, aspek kebijakan, implikasi kelembagaan, serta refleksi ke depan demi menyelamatkan masa depan riset Indonesia.

Latar Belakang: Integrasi Lembaga Riset dan Sentralisasi BRIN

Sejak resmi dibentuk pada tahun 2021, BRIN membawa misi besar untuk menyatukan sumber daya iptek nasional melalui integrasi berbagai lembaga riset, seperti LIPI, BPPT, BATAN, dan LAPAN. 

Langkah ini merupakan bagian dari agenda besar pemerintah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas riset dengan menghilangkan duplikasi fungsi antar-lembaga. 

Gagasan utama dari pembentukan BRIN ialah membangun one research ecosystem yang lebih terarah, berdaya saing global, dan mampu mendukung visi pembangunan jangka panjang Indonesia.

Namun, dalam praktiknya, implementasi integrasi ini menuai berbagai permasalahan. 

Salah satunya ialah kebijakan pemetaan dan penempatan pegawai yang dinilai sepihak dan tidak mempertimbangkan aspek meritokrasi. 

Banyak pegawai, termasuk mereka yang telah mengabdi lebih dari lima tahun, dilaporkan tidak mendapat kepastian penempatan sesuai kompetensi awal mereka. 

Tidak sedikit pula yang kini berstatus non-job, atau belum memiliki tugas dan jabatan struktural yang jelas.

Hal inilah yang memicu kemarahan dan kekecewaan pegawai. 

Dalam aksi "Reformasi BRIN", para demonstran membentangkan spanduk yang menuntut pencopotan Kepala BRIN dan pembatalan penempatan sementara. 

Mereka juga meminta agar seluruh sivitas BRIN dikembalikan ke daerah asalnya dan agar kantor-kantor BRIN di daerah kembali difungsikan. 

Tuntutan ini menunjukkan keresahan mendalam terhadap pendekatan sentralisasi yang dianggap mengabaikan kontribusi dan kondisi lokal.

Kritik terhadap Pendekatan Sentralistis

Salah satu kritik utama terhadap kepemimpinan Laksana Tri Handoko adalah pendekatan sentralistis yang ia terapkan dalam manajemen sumber daya manusia dan infrastruktur riset. 

Kebijakan penarikan peneliti ke Jakarta dan sekitarnya dianggap menafikan pentingnya kehadiran pusat-pusat riset di daerah. 

Padahal, banyak riset justru tumbuh subur karena kedekatannya dengan realitas lokal dan kebutuhan spesifik wilayah.

Kebijakan ini diperparah oleh proses wawancara pemetaan yang dinilai tidak berbasis pada kapasitas teknis atau bidang keahlian pegawai. 

Penempatan yang tidak sesuai kompetensi menimbulkan inefisiensi, demotivasi pegawai, dan hilangnya produktivitas. 

Pegawai yang terdampak---sekitar 280 orang menurut Afandi Julukhun, penanggung jawab aksi---bukan hanya kehilangan pekerjaan yang bermakna, tetapi juga kehilangan hak-hak dasarnya sebagai aparatur sipil negara.

Di sinilah letak kegagalan mendasar dari kebijakan ini: dalam upaya mencapai efisiensi kelembagaan, BRIN mengorbankan dimensi keadilan organisasi. 

Semangat efisiensi tidak boleh mengabaikan aspek humanistik dalam tata kelola lembaga publik, apalagi lembaga riset yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan, profesionalisme, dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia.

Jawaban Kepala BRIN dan Rasionalisasi Kebijakan

Di sisi lain, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menyatakan bahwa proses pemetaan dan penempatan pegawai dilakukan secara bertahap sejak empat tahun lalu, sebagai bagian dari upaya konsolidasi organisasi. 

Ia menjelaskan bahwa sebagian besar pegawai yang belum mendapat penempatan permanen adalah mereka yang kompetensinya tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi, atau yang sedang dalam proses mutasi ke kementerian atau lembaga lain.

Handoko menekankan bahwa sentralisasi bukan semata-mata keputusan birokratis, melainkan bagian dari desain akhir integrasi kelembagaan yang bertujuan untuk memastikan semua sumber daya bekerja secara optimal di lokasi yang sesuai. 

BRIN, menurutnya, hanya akan efektif jika SDM, infrastruktur, dan anggaran dapat dikonsolidasikan di bawah satu sistem kendali yang efisien dan akuntabel.

Argumen ini, dari sisi perencanaan institusional, tentu memiliki bobot. 

Namun, tantangan utamanya adalah bagaimana kebijakan besar seperti ini diimplementasikan dengan sensitivitas sosial dan dialog yang terbuka. 

Transformasi kelembagaan tidak bisa dilakukan dengan pendekatan top-down yang minim partisipasi. 

Apalagi ketika yang dikorbankan adalah manusia, bukan semata statistik birokrasi.

Sentralisasi vs Desentralisasi: Jalan Tengah yang Mungkin

Salah satu poin penting dari keberatan para peneliti adalah hilangnya peran daerah dalam ekosistem riset nasional. 

Mereka mengusulkan agar BRIN mempertimbangkan model homebase regional sebagai alternatif atas sentralisasi penuh ke Jakarta. 

Dengan pendekatan ini, peneliti dapat tetap bekerja dan berkarya di daerah masing-masing, sambil tetap menjadi bagian dari sistem nasional yang terkoordinasi.

Usulan ini layak dipertimbangkan sebagai jalan tengah yang memungkinkan sinergi antara efisiensi kelembagaan dan keadilan distribusi. 

BRIN tidak perlu menarik semua periset ke pusat, tetapi cukup membangun sistem koordinasi dan evaluasi kinerja berbasis digital yang dapat mengintegrasikan berbagai unit regional secara real time.

Dengan model ini, aset dan infrastruktur riset di daerah tidak akan terbengkalai, dan para peneliti tetap bisa melanjutkan riset yang sesuai dengan konteks lokal. 

Dalam jangka panjang, pendekatan ini juga akan mendorong penguatan kapasitas daerah, distribusi sumber daya iptek yang merata, serta mendukung visi Indonesia sebagai negara maju berbasis pengetahuan.

Reputasi BRIN di Mata Publik dan Parlemen

Konflik internal ini bukan kali pertama terjadi. Pada awal 2023, Komisi VII DPR pernah merekomendasikan pencopotan Kepala BRIN dengan alasan lemahnya tata kelola dan penggunaan anggaran. 

Salah satu program kerja BRIN yang dianggarkan sebesar Rp 800 miliar, ternyata hanya terealisasi kurang dari Rp 100 miliar, dan tidak menghasilkan keluaran yang memadai. 

Bahkan, BPK sempat melakukan audit khusus terhadap penggunaan anggaran tersebut.

Dari sisi publik dan parlemen, reputasi BRIN semakin menurun. Lembaga ini dianggap tidak berhasil menjalankan fungsi barunya secara efektif sejak integrasi dilakukan. 

Padahal, BRIN memegang peran strategis dalam peta pembangunan nasional jangka panjang. 

Riset dan inovasi merupakan tulang punggung kemajuan bangsa, dan kegagalan BRIN bukan sekadar kegagalan birokrasi, melainkan kemunduran arah pembangunan iptek nasional.

Menyelamatkan Masa Depan Riset Indonesia

Krisis yang sedang terjadi di tubuh BRIN harus dijadikan momen reflektif untuk memperbaiki arah transformasi kelembagaan. 

Kebijakan reformasi, sebesar dan sekompleks apa pun, tidak boleh mengabaikan prinsip keadilan, meritokrasi, dan partisipasi. 

Dalam dunia riset, nilai-nilai ini bahkan menjadi fondasi etika keilmuan itu sendiri.

Pencopotan atau penggantian pimpinan bukanlah solusi tunggal, tetapi perlu diikuti dengan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh desain kelembagaan BRIN. 

Pemerintah, DPR, komunitas ilmiah, dan masyarakat sipil perlu duduk bersama menyusun ulang cetak biru BRIN agar selaras dengan tantangan zaman dan kebutuhan bangsa.

Jika tidak, maka BRIN hanya akan menjadi menara gading yang terputus dari realitas, kehilangan kepercayaan publik, dan gagal menjadi lokomotif kemajuan iptek Indonesia.

Sumber: ePaper KOMPAS 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun