Kebijakan ini diperparah oleh proses wawancara pemetaan yang dinilai tidak berbasis pada kapasitas teknis atau bidang keahlian pegawai.Â
Penempatan yang tidak sesuai kompetensi menimbulkan inefisiensi, demotivasi pegawai, dan hilangnya produktivitas.Â
Pegawai yang terdampak---sekitar 280 orang menurut Afandi Julukhun, penanggung jawab aksi---bukan hanya kehilangan pekerjaan yang bermakna, tetapi juga kehilangan hak-hak dasarnya sebagai aparatur sipil negara.
Di sinilah letak kegagalan mendasar dari kebijakan ini: dalam upaya mencapai efisiensi kelembagaan, BRIN mengorbankan dimensi keadilan organisasi.Â
Semangat efisiensi tidak boleh mengabaikan aspek humanistik dalam tata kelola lembaga publik, apalagi lembaga riset yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan, profesionalisme, dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia.
Jawaban Kepala BRIN dan Rasionalisasi Kebijakan
Di sisi lain, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menyatakan bahwa proses pemetaan dan penempatan pegawai dilakukan secara bertahap sejak empat tahun lalu, sebagai bagian dari upaya konsolidasi organisasi.Â
Ia menjelaskan bahwa sebagian besar pegawai yang belum mendapat penempatan permanen adalah mereka yang kompetensinya tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi, atau yang sedang dalam proses mutasi ke kementerian atau lembaga lain.
Handoko menekankan bahwa sentralisasi bukan semata-mata keputusan birokratis, melainkan bagian dari desain akhir integrasi kelembagaan yang bertujuan untuk memastikan semua sumber daya bekerja secara optimal di lokasi yang sesuai.Â
BRIN, menurutnya, hanya akan efektif jika SDM, infrastruktur, dan anggaran dapat dikonsolidasikan di bawah satu sistem kendali yang efisien dan akuntabel.
Argumen ini, dari sisi perencanaan institusional, tentu memiliki bobot.Â