Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kembali ke Penjurusan di SMA: Sebuah Langkah Maju Atau Kemunduran

17 April 2025   11:59 Diperbarui: 17 April 2025   11:59 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pernyataan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, tentang rencana menghidupkan kembali penjurusan di SMA telah memicu perdebatan.  Penghapusan penjurusan di era Menteri Nadiem Makarim, yang digantikan dengan sistem "pilihan", bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dan memfokuskan pembelajaran sesuai minat siswa. Namun, rencana ini kini dipertanyakan, apakah langkah ini benar-benar kemajuan atau justru kemunduran bagi sistem pendidikan Indonesia?

Sistem penjurusan di SMA, yang dimulai sejak Kurikulum 1975, telah lama menjadi bagian integral dari pendidikan menengah.  IPA, IPS, dan Bahasa menjadi pilihan yang seolah-olah telah ditetapkan, seringkali didominasi oleh keinginan orang tua dan sekolah, bukan minat dan bakat siswa.  Sistem ini, meskipun bertujuan untuk memfokuskan pembelajaran,  menciptakan ketidakadilan, terutama karena kecenderungan orang tua untuk memilih jurusan IPA.

Penghapusan penjurusan dan penggantiannya dengan sistem "pilihan" diharapkan dapat mengatasi masalah ini.  Siswa diberikan kebebasan untuk memilih mata pelajaran sesuai minat dan cita-cita,  sehingga pembelajaran lebih terfokus dan relevan.  Namun, realitas di lapangan mungkin berbeda.  Apakah sistem "pilihan" benar-benar memberikan kebebasan memilih bagi semua siswa?  Akses informasi dan bimbingan konseling yang memadai sangat krusial dalam sistem ini.  Tanpa itu, siswa mungkin tetap terjebak dalam pilihan yang tidak sesuai dengan minat dan kemampuan mereka.

Rencana menghidupkan kembali penjurusan perlu dikaji secara mendalam.  Jika tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan,  maka sistem yang diterapkan haruslah lebih inklusif dan memperhatikan keberagaman minat dan bakat siswa.  Bukan sekadar kembali ke sistem lama yang telah terbukti menimbulkan ketidakadilan.  Kemendikbudristek perlu memastikan bahwa sistem penjurusan yang baru, jika diterapkan,  benar-benar didasarkan pada minat dan bakat siswa,  dengan dukungan sistem konseling dan informasi yang komprehensif.

Pertanyaan yang perlu dijawab adalah: bagaimana memastikan sistem penjurusan yang baru tidak akan mengulang kesalahan masa lalu?  Bagaimana menjamin kesetaraan akses bagi semua siswa, terlepas dari latar belakang sosial ekonomi mereka?  Bagaimana memastikan bahwa sistem ini tidak hanya menguntungkan siswa dari keluarga yang mampu?

Perlu adanya diskusi publik yang lebih luas dan partisipatif untuk membahas rencana ini.  Melibatkan para ahli pendidikan, guru, orang tua, dan siswa sendiri sangat penting untuk merumuskan sistem penjurusan yang lebih adil, efektif, dan berorientasi pada pengembangan potensi siswa secara optimal.  Hanya dengan demikian, rencana menghidupkan kembali penjurusan di SMA dapat menjadi langkah maju yang sesungguhnya bagi pendidikan Indonesia.

Penjurusan di SMA: Ego Sektoral dan Ketimpangan Akses Pendidikan

 

Sistem penjurusan di SMA seringkali dikritik karena dianggap kaku dan mengedepankan ego sektoral masing-masing jurusan.  Praktik ini menciptakan ketimpangan, terutama dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB), di mana jurusan IPA seringkali lebih diuntungkan.  Siswa IPA memiliki akses lebih luas ke berbagai program studi, termasuk di bidang IPS, sementara siswa IPS pilihannya lebih terbatas.  Kondisi ini menjadi salah satu latar belakang penggantian istilah "penjurusan" dengan "peminatan" dan "lintas minat" dalam Kurikulum 2013.

Kurikulum 2013 berupaya mengatasi permasalahan ini dengan menawarkan tiga kelompok peminatan: Matematika dan Ilmu Alam (MIPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Bahasa dan Budaya.  Pemilihan kelompok peminatan didasarkan pada berbagai faktor, termasuk nilai rapor, rekomendasi guru BK, hasil tes pendaftaran, dan tes minat bakat.  Sistem ini juga memungkinkan siswa mengambil mata pelajaran lintas minat, memberikan fleksibilitas yang lebih besar.  Harapannya, pemilihan program studi di perguruan tinggi pun menjadi lebih leluasa, tidak lagi terikat oleh kelompok peminatan di SMA.

Namun,  pertanyaan kritis tetap muncul.  Apakah sistem peminatan di Kurikulum 2013 berhasil mengatasi ketimpangan akses pendidikan yang selama ini terjadi?  Apakah semua siswa memiliki akses yang sama terhadap informasi, bimbingan konseling, dan tes minat bakat yang berkualitas?  Akses terhadap sumber daya dan kualitas layanan konseling yang berbeda di berbagai sekolah dapat tetap menciptakan ketidaksetaraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun