Kebijakan impor terbuka tanpa kuota merupakan langkah yang berisiko tinggi. Â Pemerintah perlu mempertimbangkan secara matang dampaknya terhadap ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani dan peternak. Â Mekanisme pengawasan dan pengendalian yang efektif sangat diperlukan untuk mencegah potensi penyalahgunaan dan memastikan bahwa kebijakan ini tidak merugikan sektor pertanian dalam negeri. Â Transparansi dan keterlibatan para pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan sangat penting untuk memastikan kebijakan ini berjalan sesuai dengan tujuannya.
Kebijakan Impor Terbuka: Respons atas Tarif Resiprokal AS?
Â
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang mendorong penghapusan kuota impor dengan kalimat "Siapa saja boleh impor. Mau impor apa, silakan buka saja," telah memicu perdebatan. Kebijakan ini diklaim sebagai respons terhadap pengenaan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat (AS) sebesar 32 persen atas produk-produk Indonesia.
Â
Menurut Presiden, kebijakan kuota impor yang sebelumnya diterapkan justru menguntungkan segelintir perusahaan yang ditunjuk. Dengan menghapus kuota, pemerintah berharap dapat menciptakan persaingan yang lebih terbuka dan memberikan kesempatan bagi lebih banyak pihak untuk terlibat dalam kegiatan impor. Presiden juga optimis bahwa rakyat Indonesia mampu bersaing dalam pasar yang lebih terbuka.
Â
Namun, kebijakan ini juga dikritik karena berpotensi menimbulkan dampak negatif, terutama bagi sektor pertanian dan peternakan dalam negeri. Banjir impor dapat menekan harga komoditas lokal dan mengancam keberlangsungan usaha para petani dan peternak.
Â
Estimasi Perdagangan Nasional (NTE) 2025 yang diterbitkan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) memang menilai Indonesia menghambat perdagangan melalui kebijakan kuota impor, impor berdasarkan neraca komoditas, dan penugasan impor melalui Perum Bulog. Pemerintah Indonesia tampaknya berupaya mengatasi penilaian tersebut dengan membuka keran impor secara lebih luas.
Â