Mohon tunggu...
Hari Sutra Disemadi
Hari Sutra Disemadi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Faculty of Law, Diponegoro University

Selanjutnya

Tutup

Money

Peran Merek dalam Investasi di Indonesia

12 Agustus 2019   19:14 Diperbarui: 12 Agustus 2019   19:30 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Persaingan bisnis memerlukan keunggulan yang menonjol, yang unik berkarakter dapat melesatkan reputasi perusahaan. Bagi dunia investasi, merek tentu merupakan simbol reputasi, yang bisa mengangkat dan mempromosikan produk dan perusahaannya. 

Pada dasarnya merek dibedakan menjadi merek dagang dan merek jasa serta merek kolektif [4]. Merek pun sudah digunakan sejak lama untuk menandai produk dengan tujuan menunjukkan asal-usul barang, perlindungan hukum atas merek pun makin meningkat seiring majunya perdagangan dunia. 

Demikian juga, merek makin berperan untuk membedakan asal-usul barang dan kualitasnya serta untuk menghindari peniruan. 

Menurut Hariyani, merek juga mencerminkan tingkat kepercayaan konsumen terhadap suatu barang dan/atau jasa. Produk dengan merek terkenal lebih mudah dipasarkan sehingga mendatangkan keuntungan. 

Perlindungan hukum terhadap hak merek dibutuhkan untuk: 1). menjamin kepastian hukum bagi para penemu merek, pemilik atau pemegang merek; 2). mencegah teijadinya pelanggaran dan kejahatan atas hak merek; dan 3). memberi manfaat kepada masyarakat banyak agar lebih terdorong mendaftarkan merek [1].

Peraturan merek yang pertama kali diterapkan Inggris adalah hasil adopsi dari Perancis tahun 1857, dan kemudian membuat peraturan tersendiri yakni Merchandise Act tahun 1862 yang berbasis hukum pidana. 

Tahun 1883, berlaku Konvensi Paris mengenai hak milik industri (paten dan merek) yang banyak diratifikasi negara maju dan negara berkembang. Kemudian tahun 1973 lahir pula perjanjian Madrid, yakni perjanjian internasional yang disebut Trademark Registration Treaty. 

Di Indonesia, terdapat pengaturan mengenai merek yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahub 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis, dengan menyesuaikan terhadap TRIPs.

Merek hanya merupakan suatu tanda yang dilekatkan pada suatu barang yang berfungsi sebagai daya pembeda dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa [4]. 

Tanda ini sangat berkaitan berkaitan dengan kualitas barang atau jasa yang diperdagangkan, karena meskipun merek hanyalah penanda suatu produk komersil, akan tetapi maksud merek diumumkan, dipromosikan adalah untuk menggambarkan "apa yang diberi tanda tersebut" mencerminkan brand suatu barang atau jasa, yang akan menghasilkan opini publik tentang kepercayaan terhadap kualitas produk dan pembangunan suatu reputasi [5].

Pada hakikatnya, suatu merek digunakan oleh produsen atau pemilik merek untuk melindungi produknya baik berupa jasa atau barang dagang lainnya. 

Jadi, suatu merek memiliki fungsi sebagai berikut: 

1). Fungsi pembeda, yakni membedakan produk satu perusahaan dengan produk perusahaan lain; 

2). Fungsi jaminan reputasi, yakni selain sebagai tanda asal usul produk juga secara pribadi menghubungkan reputasi produk bermerek tersebut dengan produsennya, sekaligus memberi jaminan kualitas akan produk tersebut; 

3). Fungsi promosi, yakni merek juga digunakan sebagai sarana memperkenalkan produk baru dan mempertahankan reputasi produk lama yang diperdagangkan, sekaligus untuk menguasai pasar; 

4). Fungsi rangsangan investasi dan pertumbuhan industri, yakni merek dapat menunjang pertumbuhan industri melalui penanaman modal baik asing maupun dalam negeri dalam menghadapi mekanisme pasar bebas [2].

Dalam rangka memberi kepastian hukum pada penggunaan merek, maka di samping penerapan regulasi yang tepat, juga perlu dibarengi penegakan hukum. 

Menurut Soekanto, faktor-faktor penegakan hukum terdiri atas: 1). faktor hukumnya sendiri; 2). faktor penegak hukumnya; 3). faktor sarana dan fasilitas penegakan hukum; 4). faktor masyarakat; dan 5). faktor kebudayaan.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan erat, oleh karenanya merupakan esensi dari penegakan hukum yang juga merupakan tolok ukur efektivitas penegakan hukum. 

Selain itu, penggunaan merek dalam dunia bisnis selayaknya menggunakan iktikad baik, oleh karena merek bisa menjadi obyek perjanjian, misalnya dalam waralaba karena menggunakan alas hak lisensi merek. 

Perjanjian dalam dunia bisnis harus dilaksanakan dengan iktikad baik sesuai dengan Pasal 1338 Ayat 3 KUHPerdata, yang menurut Subekti norma ini merupakan salah satu sendi terpenting dari hukum perjanjian [3].

MEREK CERMIN REPUTASI

Reputasi dalam dunia perdagangan dianggap sebagai tolok ukur kesuksesan atau kegagalan dari suatu perusahaan. Pebisnis dengan sengaja memasang iklan untuk membangun reputasi produk maupun untuk mengenalkan produk baru di pasaran dan mempertahankan reputasi produk yang sudah ada sebelumnya. 

Passing off melindungi pemilik reputasi dari pihak-pihak yang akan membonceng keberhasilan mereka, sehingga para pembonceng tidak dapat lagi menggunakan merek, kemasan atau indikasi lain yang bisa mendorong konsumen yakin bahwa produk yang dijual mereka dibuat oleh orang lain. 

Seorang penggugat dalam hal ini harus dapat membuktikan bahwa penggugat memiliki reputasi, tergugat menipu konsumen untuk berasumsi bahwa produk itu miliknya dan bukan milik penggugat dan penipuan itu berakibat menimbulkan kerugian terhadap penggugat.

Terhadap merek yang telah habis masa perlindungannya dapat diajukan perpanjangan, perpanjangan mana dapat ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal milik orang lain. 

Untuk merek terkenal ini persamaannya tidak hanya terbatas pada barang/jasa sejenis, tetapi juga terhadap barang/jasa yang tidak sejenis. 

Dalam arti bila terdapat merek yang sama dengan merek terkenal walaupun digunakan pada barang atau jasa yang tidak sejenis, tetap dilarang berdasarkan undang-undang.

Seiring berkembangnya perdagangan internasional, terwujudlah persetujuan TRIPs yang memuat norma standar perlindungan hak atas kekayaan intelektual termasuk di dalamnya tentanghak Merek [7]. 

Indonesia pun telah meratifikasinya pada tahun 1997. Setiap revisi UU Merek Indonesia dimaksudkan untuk selalu mengikuti perkembangan global khususnya dalam perdagangan internasional, khususnya dalam perdagangan internasional, menyediakan iklim persaingan usaha yang sehat dan mengadaptasi konvensi-konvensi internasional.

Konvensi internasional tentang merek sebenarnya sudah ada sejak lama yakni The Paris Convention for the Protection of Industrial Property, yang kemudian terkenal dengan Konvensi Paris. 

Konvensi ini disusul dengan Perjanjian Madrid dan Konvensi Hague serta Perjanjian Lisabon. Dari seluruh konvensi tersebut yang menjadi dasar perlindungan merek adalah Konvensi Paris. 

Pada tahun 1934 ketika Indonesia masih dijajah kolonial Belanda sebenarnya Hindia Belanda telah menjadi anggota Uni Paris [1]. Dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia, maka Indonesia tidak secara otomatis tetap menjadi anggota Konvensi Paris. 

Pada tahun 1953 Indonesia kembali menjadi anggota Uni Paris setelah mengadakan permohonan atau pernyataan tertulis secara sepihak untuk turut serta pada Konvensi tersebut. 

Namun demikian, pada saat itu, Indonesia mengadakan reservasi terhadap pasal-pasal pen ting sehingga kemudian reservasi tersebut dicabut pada tahun 1997.

Sangat penting dalam hukum merek untuk diperhatikan adalah perlindungan terhadap merek terkenal. Economic interest atas merek terkenal diakui dalam perjanjian internasional WIPO treaty, yang juga diatur kemudian oleh negara-negara Amerika, Australia, Inggris, dan Indonesia. 

Ciri spesifik dari merek terkenal adalah bahwa reputasi dari nama merek tidak terbatas pada produk tertentu atau jenis tertentu, misalnya Marlboro yang tidak hanya digunakan sebagai produk rokok tetapi juga digunakan pada pakaian; Panther tidak hanya untuk jenis kendaraan tetapi juga produk minuman. 

Jadi perlindungan diberikan dalam hubungan pemakaian secara umum dan tidak hanya berhubungan dengan jenis barang-barang di mana merek didaftarkan [1].

Jika kita kembali mengamati masyarakat awam, misalnya masyarakat pengrajin batik dalam hal ini adalah pengusaha home industry secara perorangan dan keluarga, yang memproduksi dan menjual batik baik berupa kain dan baju batik di rumahnya sendiri, berjumlah ratusan orang disetiap daerahyang belum tersentuh dengan merek terkenal, bahkan jarang yang memiliki merek terdaftar. 

Namun seiring berjalannya waktu, terdapat jenis batik yaitu batik Pekalongan mengalami perkembangan pesat dibandingkan dengan daerah lain [6]. 

Di daerah ini batik berkembang di sekitar daerah pantai, yaitu di daerah Pekalongan kota dan daerah Buaran, Pekajangan serta Wonopringgo, Wiradesa, Pesindon, dan Kauman, dan menyebar ke berbagai desa di sekitar Pekalongan. 

Batik Pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik Pekalongan dikerjakan di rumah-rumah [7].

Batik Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Batik Pekalongan adalah nafas kehidupan sehari-sehari warga Pekalongan. 

Batik Pekalongan menghidupi dan dihidupi warga Pekalongan. Apa yang dihadapi industri batik Pekalongan saat ini mungkin sama dengan persoalan yang dihadapi industri lainnya di Indonesia, terutama yang berbasis pada usaha kecil dan menengah. 

Persoalan itu, antara lain berupa menurunnya daya saing yang ditunjukkan dengan harga jual produk yang lebih tinggi dibanding harga jual produk sejenis yang dihasilkan negara lain. 

Padahal, kualitas produk yang dihasikan negara pesaing lebih baik dibanding produk pengusaha Indonesia. Penyebab persoalan ini bermacam-macam, mulai dari rendahnya produktivitas dan keterampilan pekerja, kurangnya inisiatif pengusaha untuk melakukan inovasi produk, hingga usangnya peralatan mesin pendukung proses produksi.

Di Indonesia pada umumnya, pengusaha kecil dan menengah terkait batik, baru sebagian kecil yang memiliki merek terdaftar, bahkan mereka sebagian besar belum memahami cara perolehan merek terdaftar/ cara mendaftarkan merek. 

Sangat dibutuhkan uluran tangan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan instansi terkait untuk membantu mendaftarkan mereknya dan mempromosikannya agar dapat diangkat karakteristik dan perlindungan hukumnya, khususnya memfasilitasi pendaftaran merek, dengan fasilitas khusus bagi UKM home industry, misalnya dengan fasilitas prodeo melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan maupun UMKM. 

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) juga diharapkan mampu menyosialisasikan dan mengutamakan perolehan merek bagi para pengrajin/pengusaha kecil ini [6].

Kampus diharapkan mampu menjembatani kesenjang anantara harapan pengrajin batik dengan kondisi yang ada dengan membantu sosialisasi HKI dan pendampingan dalam pendaftaran HKI utamanya merek, karena dari kebanyakan produk yang dijual seperti batik, tanpa ada merek terdaftar, bahkan tanda gambar atau cap pun belum tentu ada. 

Pengusaha hanya memasang nama pada tokonya saja, atau sebagian ditempelkan pada produk yang sudah berbentuk jadi, misalkan kemeja batik. 

Para pengusaha kecil dan menengah ini, belum memahami bagaimana membuat merek yang memiliki daya pembeda, meskipun kebanyakan nama tokonya telah berbeda satu sama Iainnya, yang biasanya diberikan nama pemiliknya.

Kurangnya pengetahuan dan kondisi budaya hukum masyarakat sehingga para pengusaha tidak mengetahui tentang cara perolehan merek dan pembuatannya [1]. 

Hal tersebut dapat diselesaikan dengan melakukan sosialisasi dan berbagai pelatihan [2]. Jika masyarakat telah sering diberikan sosialisasi, maka diharapkan pengetahuan hukum meningkat, budaya hukum untuk melindungi produk sendiri pun muncul, sehingga seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum pun maka jumlah merek terdaftar akan meningkat. 

Masyarakat harus dibekali tentang pentingnya merek bagi usahanya dan bagaimana mengelola bisnisnya agar selalu terlindungi hukum, pemahaman iktikad baik dalam pendaftaran merek dan pelaksanaan bisnisnya. 

Pendaftaran merek pun harus di lakukan dengan iktikad baik. Iktikad baik ini sangat penting dalam hukum merek karena berhubungan dengan persaingan bisnis dan reputasi pemilik merek. 

Menurut Pasal 4 dan Pasal 5 UU Merek Dan Indikasi Geografis, terdapat kualifikasi merek yang yang tidak dapat didaftar dan yang ditolak [5]. Merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beriktikad tidak baik, juga Merek tidak dapat didaftar bila merek tersebut mengandung salah satu unsur: 

(a) bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, 

(b) moralitas agama, 

(c) kesusilaan, 

(d) ketertiban umum, 

(e) tidak memiliki daya pembeda, 

(f) telah menjadi milik umum, 

(g) merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.

Pentingnya pendaftaran merek atas suatu produk dan/atau jasa selain untuk menjamin kepastian hukum bagi para pemilik merek namun bisa memberikan mamfaat ekonomi bagi pengusaha. 

Merek dapat dijadikan cerminan dari citra, identitas dan kualitas suatu produk dan/atau jasa  itu sendiri [1]. Adanya merek yang memiliki citra, identitas dan kualitas yang baik dimata konsumen, maka merek tersebut secara tidak langsung memiliki reputasi yang baik pula. 

Reputasi baik dari merek ini bisa mengangkat sekaligus mempromosikan produk dan/atau jasa suatu perusahaan, sehingga mampu menarik investor-nvestor untuk berinvestasi dengan sendirinya. 

Pentingnya membangun reputasi melalui merek yang terdaftar adalah karena reputasi merupakan efek dasar yang muncul sebagai faktor penting keputusan konsumen atau investor tentang sikap dan prilakunya terkait keberadaan produk dan/atau jasa.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Endang Purwaningsih,Muslikh &Nurul Fajri Chikmawati. (2019). Hak Kekayaan Intelektual dan Investasi. Jakarta: Setara Press.

[2] Endang Purwaningsih. (2012). Hak Kekayaan Intelektual Dan Lisensi. Bandung: Mandar Maju.

[3] R. Subekti. (2008). Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.

[4] Sri Mulyani. (2012). Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual sebagai Collateral (Agunan) Untuk Mendapatkan Kredit Perbankan di Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum 12.3.

[5] Rindia Fanny Kusumaningtyas. (2016). Perkembangan Hukum Jaminan Fidusia Berkaitan dengan Hak Cipta sebagai Objek Jaminan Fidusia. Pandecta: Research Law Journal 11.1.

[6] Shawn K. Baldwin. (1995) . To Promote the Progress of Science and Useful Arts: A Role for Federal Regulation of Intellectual Property as Collateral. University of Pennsylvania Law Review 143.5.

[7] Arianis Chan. (2010). Pengaruh ekuitas merek terhadap proses keputusan pembelian konsumen: Studi kasus bank Muamalat Indonesia cabang Bandung. Jurnal Administrasi Bisnis 6.1.

[8] Jisia Mamahit. (2013). Perlindungan Hukum Atas Merek Dalam Perdagangan Barang Dan Jasa. Lex Privatum 1.3.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun