Bali kini sedang "digoyang", beberapa waktu belakangan ini, fenomena Sampradaya dengan segala permasalahannya kembali mencuat, tensi masyarakat meningkat, bahkan mulai menyerempet sendi -sendi kehidupan beragama Hindu di Bali, sesungguhnya kita harus mulai menelisik apa saja faktor yang mendukung perkembangan  Sampradaya di Bali, berikut ulasan singkatnya :
A. Keberagamaan Yang Bercorak Arkais.[U1] [U2]
Apa yang dinyatakan oleh Robert. N. Bellah ( 2000 : 44 ) dalam bukunya yang berjudul Beyond Belief menyatakan, Ciri khas agama Arkais adalah munculnya pemujaan sejati dengan jaringan dewa - dewa, para imam, penyembahan, pengorbanan, dan dalam beberapa kasus, raja yang sekaligus memegang wewenanang kepemimpinan agama ( pandita- ratu) Di samping ciri di atas yakni adanya pembobotan pada pemujaan ( pelaksanaan ritual / divine or priestly kingship ). Kemudian ciri organisasi keagamaannya ( ibid : 47 ) dinyatakan masih menyatu dengan struktur lainnya. Kemunculan sistem dua klas, yang terkait dengan meningkatnya kepadatan penduduk yang dimungkinkan oleh agrikultur. Kelompok status atas, yang condong memonopoli kekuasaan militer dan politik, biasanya mengklaim status keagamaan yang lebih tinggi. Keluarga - keluarga ningrat bangga dengan garis keturunan mereka yang berasal dari dewa - dewa yang kerapkali memainkan peran - peran keimaman. Pandita Ratu ( divine king), yang merupakan penghubung utama antara rakyat dan para dewa.
Memasuki era global, dimana telah terjadi revolusi berpikir disemua belahan bumi ini, setiap yang dikerjakan menuntut suatu keefisienan serta kepraktisan. Demikian pula dalam kehidupan beragama, bagi sebagian orang yang lebih menekan pada rasionalisasi, keberagamaan model arkais tidaklah menjadi pilihan, atau bahkan secara perlahan - lahan mulai ditinggalkan. Agama tidak cukup didefinisikan secara substantif ( merekam agama dalam keadaan statis ),- apakah agama itu ? - bukan agama dalam geraknya- apa yang dilakukan agama ? Oleh karena itu orang - orang lebih menekankan hidupnya pada budaya nalar akan melirik agama dalam praktek yang lebih mengutamakan fungsionalnya.
Menurut Jalaluddin Rakhmat (2003 : 35) dalam bukunya yang berjudul Psikologi Agama Sebuah Pengantar menyatakan bahwa, definisi substantif suatu agama menghubungkan agama dengan Tuhan dengan konsep - konsep sejenis, definisi fungsional menghubungkan agama dengan upaya manusia menjawab masalah - masalah kehidupan, masalah eksistensial.
Adanya fenomena seperti yang ditunjukkan di atas, menyebabkan terjadinva konversi agama. Apakah konversi internal ataupun konversi eksternal. Banyaknya pengikut Sampradaya di Bali seperti Sai Baba, Hare Krsna. Ananda Marga, Brahma Kumaris, menandakan adanya konversi internal pada umat Hindu di Bali.
B. Â Rutinitas Keagamaan Yang Menjemukan.
Di samping factor di atas, factor lain yang menyebabkan umat Hindu melakukan konversi internal adalah untuk menghapus kejenuhan rutinitas yang berkepanjangan. Keaneka ragaman budaya rohani yang ditawarkan oleh sampradaya ini diharapkan mampu memberikan kegairahan hidup, seperti apa yang disampaikan oleh M.K Gandhi (dalam Wiana, 2003 : 12) bahwa, Hindu itu selalu harus tampil remaja dan sehat agar selalu memberikan hidangan spiritual pada umatnya dengan penuh gairah. Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh Sri Swami Siwananda (1996 : 138) dalam bukunya yang berjudul All About Hinduism ( Terj. Intisan Ajaran Hindu) menyatakan, Hinduisme menampung segala tipe manusia dan memberikan hidangan spiritual bagi setiap orang, sesuai dengan kemampuan dan pertumbuhannya masing masing. Hal itu merupakan keindahan dari Agama Hindu yang menarik hati ini, yang merupakan kemuliaan Hinduisme.
Adanya komitmen di dalam ajaran Hindu untuk menampilkan ajaran yang senantiasa remaja ( penuh gairah ) seperti apa yang disampaikan oleh M. K Gandhi sebagai akibat dari universalnya ajaran Hindu sebagai suatu brosur kehidupan manusia di bumi yang terdiri dari segala tipe, seperti apa yang dinyatakan oleh Sri Swami Siwananda Realita yang seperti ini akan membawa pada suatu konsekuensi timbulnya varian dalam ajaran Hindu. Varian inilah kemudian disebut dengan Sampradaya, yang merupakan kelebihan dari pada Hindu untuk selalu tampil menggairahkan dalam upaya mengeksiskan Hindu secara berkesimabungan.
Memindahkan pilihan dan satu sampradaya ke sampradaya lain yang oleh Clifford Geert disebut dengan "konversi internal". Lain lagi pendapat Rodney Stark (2003: 127 -128) Sosiolog yang ahli ilmu perbandingan agama dari universitas Washington, menyatakan perubahan dalam lingkungan budaya yang sama (perubahan internal) tidak diidentifikasi sebagai misionarisme (konversi agama) tetapi sebagai evanjelisme, yakni sebuah upaya untuk mengintensifkan komitmen publik terhadap agama (agama) konvensional dan suatu masyarakat. Hal ini merujuk pada kebangkitan kembali misi - misi Kristen yang bercorak sekterian.
C. Â Kebebasan Memilih Jalan Spiritual
Semangat ajaran Veda yang meresapi seluruh ajaran Hindu memiliki sifat Sanatana dan Anutana. Sanatana artinya kekal abadi, yang dimaksud disini adalah bahwa, dharma atau kebenaran isi Veda itu bersifat mutlak atau absolut. Kemudian Anutana artinya berubah, yang dimaksudkan dalam istilah ini adalah bahwa dalam penerapan ajaran Veda ini memiliki sifat relativitas, disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan zaman dan konsep ajaran Anutana inilah berkembang konsep Ista Devata dan konsep Adhikara. Dari konsep Ista Dewata berupa kebebasan yang diberikan oleh agama Hindu kepada para pemeluknya untuk memilih nama dan bentuk Tuhan, yang telah diterangkan oleh kitab Suci Veda, baik Personal God maupun Impersonal God, yang ingin mereka puja, disesuaikan dengan kesenangan dan kemantapan hati nuraninya ( atmanastusti ).
Konsep Ista Devata ini bukanlah ajaran yang direkayasa oleh Para Maha Rsi, hal tersebut memamg telah disuratkan dalam kitab Rg Veda I. 146. merupakan sabda suci Tuhan yang berbunyi sebagai berikut:
"Indram mitram Warunam Agnim ahur Atho divyah sa Suparno Garutman Ekam sat vipraa bahudhaa wadanti Agnim Yamam Maatarisvaanam ahuh."
Artinya :
" Mereka menyebut Indra, Mitra, Varuna, Agni dan Dia yang bercahaya, yaitu Garutman yang bersayap elok , Yang Maha Esa itu (Tuhan YME) oleh orang - orang bijaksana menyebutnya dengan banyak nama seperti : Agni, Yama, dan Maatarisvan" ( Titib, 1989 : 7 ).
Konsep pemujaan leluhur selaku kearifan local dihadapkan pada tantangan berat pada bagian ini. Konsep Ista Dewata memberi warna baru ditambah penggalan kitab Bhagavad Gita sebagai berikut :
Ynti deva- vrat devn pitn ynti pit-vrath, bhtani ynti bhtejy ynti mad-yajino'pi mm
(Bhagavad- Git IX-25)
Â
Terjemahannya :
     Yang memuja Devat pergi kepada para devat, kepada leluhur perginya yang memuja leluhur mereka, dan kepada roh alam perginya yang memuja roh alam; tapi mereka yang memuja-Ku, datang kepada-Ku.
     Kutipan sloka di atas sangat memberi pengaruh terhadap konsep pemujaan leluhur dikarenakan  adanya makna implisit yang merumuskan sebuah stratifikasi dalam tingkatan pemujaan spiritual yang sehingga ada semacam niatan masyarakat dalam mentransformasikan aktivitas pemujaan leluhur menuju pemujaan Ista Devata
Di zaman Purana penamaan Tuhan yang beraneka ragam itu tidak terbatas pada abhiseka di atas melainkan lebih berkembang lagi dan terfokus pada pemujaan dewa -- dewa Tri Murti, dari ajaran Adhi Kara, memberikan kebebasan kepada penganut agama Hindu untuk memilih disiplin, tatasusila dan tatacara yang sesuai dengan budaya, kemampuan dan kemantapan hatinya, dimana agama Hindu itu berkembang. Dalam konteks ini dimungkinkan mengakomudir budaya lokal dan kearifan lokal sehingga menimbulkan keaneka ragaman bentuk dan cara pelaksanaan ritual agama. Dengan demikian pemeluk Hindu senantiasa dimotivasi untuk terus berkreasi mengembangkan tradisi Weda. Kreasi dalam tradisi harus tetap membawa misi dan visi Weda. Terkait dengan tradisi yang sering dirancukan visi Veda, Mahatma Gandhi mengatakan , berenang di lautan tradisi adalah suatu kehindahan. Namun kalau sampai tenggelam di lautan tradisi adalah suatu ketololan (Wiana, 2003 : 3). Kreasi yang mengakomodasi tradisi yang bervarisi hanyalah sebagai jalan untuk memudahkan umat melakukan kebaktian kepada-Nya. Terhadap jalan ataupun tradisi yang bervariasi ini memang telah digariskan oleh kitab suci seperti yang tertuang dalam Pustaka suci Bhagavad Gita sebagai berikut:
" Ye yathaa maam prapadyante,
tamss tathai ' vaa bhajamy aham,
mama vartma 'nuvartante manushyah paartha sarvasah" ( B.G. IV. 11 )
Artinya:
"Jalan manapun ditempuh manusia ke arah-Ku semuanya Ku- terima dan mana - mana semua mereka menuju jalan-Ku oh Partha"( S. Pendit 1986 : 86 ).
" Yo-yo yaam - yaam tanum bhaktaah sraddhaya'rcitum, icchati,
tasya- tasvaa calam sraddham tam eva vidadhamv aham" (B.G. VII.21).
Artinya :
" Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, dengan bentuk apapun keyakinan yang tak berubah itu sesungguhnya Aku sendiri yang mengajamya" Â Â Â Â (G. Pudja, 1981 : 180).
Sangat jelas sekali kedua makna sloka di atas bahwa, Sri Krsna sebagai Purna Avatara memberi peluang untuk tumbuhkembangnya suatu bentuk keyakinan, sebagai suatu pilihan. Dengan demikian hadirnya bcrbagai sampradaya dalam Hindu menandakan suatu bukti bahwa keberagamaan seseorang merupakan sesuatu hal yang paling azasi dalam hidup manusia, yang tidak dapat dipengaruhi oleh orang lain.
Dengan konsep Ista Dewata dan Adhi Kara ini terlihat agama Hindu terdiri alas banyak sekte ataupun ideologi. Namun yang jelas, semua kreasi dan tradisi itu dianggap sebagai interpretasi yang berbeda atas satu Reality yang sama, yang pada hakikatnya semua kreasi dan tradisi yang berbeda itu merupakan jalan untuk mencapai goal atau tujuan yang sama.
2.2.3 Solusi Friksi Masyarakat terhadap Fenomena Sampradaya
Guna menghindari pertikaian antara penganut sampradaya yang dituding menerapkan doktrin indianisasinya versus penganut Hindu tradisional di Bali dengan corak Arkaisnya, merujuk pada pendapat Robert. N Bellah, harus diupayakan adanya pencerahan melalui pelembagaan            (institusionalisasi) yang utuh sesuai dengan teks dan konteks zamannya dari nilai - nilai (value) yang ada ada pada masing - masing faham atau sampradaya itu, mulai dari aspek cognitifnya, psikomotor, afektif dilanjutkan dengan pendalaman Dengan demikian tidak ada kata saling bunuh dalam pengamalan agama. Sehingga tujuan agama secara sosial benar - benar dapat mengaktualisasikan agama dalam difinisi operasional untuk mengarahkan manusia pada penciptaan moral luhur , mencintai kedamaian, saling mengasihi artinya tidak ikut membuat semakin runyamnya tatanan kehidupan, justru agama memberikan kontribusi positif terhadap permasalahan sosial yang dihadapan oleh manusia. Dengan cara seperti itu maka, setiap insan penganut sampradaya itu akan mempunyai kekebalan teologis, sehingga isu politik sebagai faktor eksternal tidak mampu membangkitkan kembali pandangan primordialisme yang memecah belah. Oleh sebab itu isu - isu agama tidak akan laku dijual untuk kepentingan politik. Kekebalan teologis ini dapat diwujudkan apabila masyarakat telah memiliki Religious Literacy.
Religious Literacy secara leksikal dapat diartikan sebagai keberaksaan beragama, yang secara maknawi dapat diartikan sebagai kemelakan atau kedewaan beragama. Mewujudkan Religious Literacy ini, tidaklah mudah, seperti membalikkan tclapak tangan, diperlukan suatu rencana strategis yang meliputi :
1. Pendalaman Ajaran Agama
Dewasa ini kehidupan beragama khususnya di Bali oleh sebagian orang yang ingin memperoleh pencerahan masih dirasakan sebagai suatu ruotinitas yang menjemukan. Dalam kaidah keberagamaan, mudah didapatkan contoh - contohnya, seperti kegiatan upacara yang marak dan meriah tanpa mengusik tingkat pemahaman umatnya dalam hal arti dan makna ritual tersebut. Kemeriahan acara, banvaknya tamu yang hadir, bila perlu dihadiri oleh pejabat nomor satu di vvilayah di mana upacara itu digelar, banyaknya dana yang dipakai menjadi ukuran kelas sosial baru serta kcbcrhasilan sustu upacara. Tempat - tempat suci selalu ramai dikunjungi umat sebagai dalih tirtha yatra, tetapi praktek asusila dan korupsi berjalan terus. Bersembahyangan untuk memohon rekomendasi agar Tuhan senantiasa mengokohkan jabatannya bagi yang telah menduduki jabatan. Situasi seperti itu rupanya sampai saat ini masih sedang, terus dan akan berlangsung.
Oleh karenanya dibutuhkan suatu tindakan dalam wujud pembenahan internal agama melalui pemaknaan pemaknaan ulang atau reinterpretasi agama yang dianggap anakronistik (tidak cocok dengan zaman) serta rekontruksi tafsir - tafsir fanatis dalam setiap ajaran sampradaya, sehingga tafsir itu dapat membangun rasa empati bukan antipati. Reinterpretasi dalam ajaran Hindu bukanlah suatu tindakan yang ditabukan. Adanya konsep Sanatana dan Anutana telah memberikan pengertian kepada kita bahwa Hindu tersebut bersifat Absolut / mutlak dan juga bersifat relatif . Mutlak dalam tataran konsep dan relatif dalam tataran implementasinya. Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh Gandi bahwa, Hindu harus tampil remaja dan sehat agar selalu memberikan hidangan spiritual pada umatnya dengan penuh gairah. Agama dalam sifatnya yang relatif imlah memberikan ruang adanya pemaknaan ulang, sehingga selalu tampil muda seperti kata Gandhi di atas.
Kejenuhan akan terjadi manakala agama selalu dimaknai sebagai sesuatu ajaran yang bersifat absolut semata , dan yang lebih celaka lagi terjadinya pola pikir memutlakan yang relatif. Artinya yang Anutana dx-Sanatana-kan. Bukti adanya rekontruksi tafsir serta interpretasi dalam ajaran Hindu dapat dilihat dari kitab Smerthi yang berbeda - beda pada masing- masing zaman. Manu Smerthi belaku pada zaman Krtha, pada Trita Yuga berlaku kitab Gautama Smerthi, Sankha Likita Smerthi bcrlaku untuk zaman Dwapara, kemudian di zaman Kali Yuga berlaku kitab Parasara Smerthi. Demikian pula dalam penerapannya , Rg Veda X.71:11 menyatakan :
"Sebarkanlah ajaran Veda ini dengan jalan cerita,
sebarkanlah dengan jalan bernyanyi,
sebarkanlah dengan jalan berjapa, dan sebarkanlah dengan jalan upacara " ( Jendra, 2002 : 11 )
Apa yang diterangkan oleh Rg Veda di atas memberikan landasan kepada Pancamo Veda bab IV, 11 dan VII, 21 untuk memberikan jaminan kepada Umat Hindu, bahwa setiap jalan yang dipilih ataupun ditempuh akan bermuara pada satu titik yang sama , yakni Tuhan. Kemudian secara terinci lagi seiring dengan pembagian zaman ( catur Yuga ) telah digariskan untuk menghadapi setiap tantangan zaman ada cara - eara teknis operasional yang tidak selalu sama, artinya selalu disesuaikan dengan situasi kontekstualnya. Hal itu dibuktikan, bahwa setiap zaman memiliki ciri atau cara operasional tersendiri, dapat dilihat dalam Srimad Bhagawatam XII.3 ; 51- 52 (dalam Jendra, 1997 : 56-7 ) sebagai berikut:
"Kaler dosa nidhe raajanam, asty hy eko mahan gunah kiirtanad eva Krshnasya muka, bandhah param vrajet"
Krte yad dhyayato Visnum, Tretayam yajato makhaih Dvapare pariciaryayam, kalau tad kiirtanat."
Artinya:
Hai sang raja walaupun Kali Yuga penuh dosa, namun memeiliki silat yang baik, yaitu dengan kirtana ( bernyanyi ) saja orang dapat mencapai moksa.
Hasil pada zaman Krta diperoleh dengan samadhi pada Wisnu, zaman Trita dengan Yajna, zaman Dvapara dengan pelayanan pada kaki padma, zaman Kali di dapat dengan kirtanam ( bernyanyi ).
Di dalam Kalisamtarana Upanisad, yang termasuk dalam kelompok Krsna Yajur Veda merupakan upanisad yang berisi ajaran pembebasan yang dikhususkan untuk zaman Kali. Maksud khusus dan upanisad ini adalah untuk melindungi manusia dari pengaruh buruk zaman Kali. Ciri - ciri buruk zaman Kali tersebut dapat dilihat pada kitab Bhagavata Purana I. 1 : 10, Hidup manusia sangat pendek , mereka suka bertengkar, malas, salah pimpin, tidak beruntung dan di atas segala-galanya, mereka selalu gelisah ( Dharmayasa, 1995 : 13 ).
Walaupun apa yang telah disajikan oleh Kalisamtara Upanisad maupun Srimad Bhagawatam telah demikian jelasnya, namun hal itu tidak lantas menimbulkan penilaian yang minor atau mempertentangkannya bagi umat Hindu yang masih menekuni upacara. Jalan yang dipilih oleh satu sampradaya tidaklah mutlak dan final bagi sampradaya lainnya. Pada masyarakat agraris, prilaku keagamaan dalam bentuk upacara masih dibutuhkan. Karena melalui upacara masyarakat petani dapat menumbuhkan emosi keagamaannya serta mengaktualisasikan keimanannya, yang perlu disadari dalam keberagamaan model ini tidak hanya berhenti pada simbol simbol itu saja, melainkan apa yang ada dibalik simbol itulah yang perlu diketahui. Sebab dalam faham Siva Tantris yang berkembang di Bali, upacara yang menggunakan banyak simbol merupakan visualisasi dari ajaran teologi dan moralitas faham Siwa yang dapat dirasionalisasikan di samping itu mengandung ajaran mistikisme sebagai hasrat pemenuhan manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan. guna mengimplementasikan ajaran mistik ini, maka setiap upacara mengandung lima unsur yang terpadu yang terdiri dari ; Mantra (doa -doa suci ), Yantra ( simbol - simbol yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual), Tantra ( pembangkitan kekuatan suci ), Yajna ( pengabdian yang tulus ikhlas) dan Yoga (penyatuan suci dengan Adi Kodrati ). Dengan adanya varian ini merupakan keindahan dari agama Hindu, yang mengundang daya tarik tersendiri. Sebab agama menurut Hindu tidak hanya sesuatu yang dapat ditangkap oleh rasio dan intelek (manas dan vijnana), namun sesuatu yang dapat membangkitkan emosi ataupun intuisi serta mengantarkan manusia pada kondisi Ananda (kebahagiaan batin). Kehadiran sampradaya sebagai suatu sistem relegi diharapkan mampu melembagakan ajaran agama secara utuh, sehingga terjadi proses transformasi mlai baik pada ranah kognitif maupun ranah afektif ataupun psikomotoriknya. Dengan demikian keberagamaan seseorang tidak saja menyangkut keyakinan yang benar pada Tuhan dengan segala dalilnya, yang dapat diterangkan dengan rasio dan nalar tetapi perbuatan seseorang. Hal - hal semacam inilah yang seyogyanya menjadi renungan dalam konteks pendalaman ini.
2.Kesediaan Mengadakan Dialog Keagamaan
Sudah merupakan suatu realita sejak zaman Upanisad, Hindu sebagai Sanatana Dharma ( dalam konsep ) dan Nutana Dharma ( dalam konteks ) melahirkan berbagai macam kreasi dan tradisi kerohanian yang disebut dengan Sampradaya. Dengan demikian dalam perspetif Hindu harus dipahami bahwa, di luar sampradayaku ada sampradaya lain. Dari kenyataan ini tidak dapat dihindari akan adanya pluralisme dan multi kultural di dalam Hindu. Guna mewujudkan universalitas religius intern Hindu ini, maka dialog antar sampradaya dalam Hindu ini semakin dirasakan untuk dilaksanakan. Mengingat dalam suatu sampradaya sering muncul sikap mengklaim kebenaran sebagai miliknya melalui gerakan - gerakan yang mengatasnamakan pemurnian (back to Vedic), dengan menyebut sampradaya lain sebagai suatu bentuk penyimpangan, akibatnya muncullah fanatisme dan eksklusivisme bahkan menghakimi sampradaya lainnya.
Realita tersebut di atas semestinya tidak terjadi di Indonesia khususnya Bali. Kita seharusnya belajar pada sejarah yang terjadi di masa lampau, dua paham (Hindu versus Budha ) di tanah kelahirannya India dapat hidup rukun berdampingan bahkan secara sinergi memberikan landasan moral bagi Kerajaan Majapahit, hal ini dibuktikan dengan hadirnya karya sastra Sutasoma gubahan Mpu Tantular. Dan semangat karya sastra itu dewasa ini, tidak hanya dimaknai dalam ranah teologis Hindu - Budha, tetapi lebih dari pada itu sebagai spirit pemersatu bangsa yang pluralis dan multi kultural.
Kemudian secara regional sejarah telah mencatat, kehadiran Mpu Kuturan di Bali yang berasal dari Daha ( Jawa Timur ) di abad X, telah membawa perubahan besar dalam tata keagamaan. Masyarakat Bali pada waktu itu yang bercorak sekterian telah disatukan Oleh Mpu Kuturan dengan mengakomudasi semua paksa - paksa itu dalam konsepsi Tri Murti di bawah paksa / sampradaya Siwa Siddhanta. Kesepakatan dari semua paksa - paksa itu merupakan keputusan politik keagamaan demi terciptanya masyarakat yang rukun dalam bernegara dan beragama. Spirit dari keputusan Mpu Kuturan ini hendaknya senantiasa direnungkan kembali, kemudian diangkat nilainya sebagai suatu bentuk kontribusi dalam kehidupan beragama intern Hindu dewasa ini.
Kesepakatan sampai berlanjut pada keputusan yang dihasilkan di zaman Mpu Kuturan tentunya tidak lahir begitu saja secara serta merta. Tentunya kita dapat memprediksikan hal itu sebagai suatu produk dari sebuah dialog idiologis dan teologis. Adakah kesepakatan semacam itu akan kita ulang kembali di zaman ini ?
Seperti apa yang ditawarkan penulis untuk mengelemenir kontlik intern Umat Hindu kesediaan untuk melakukan dialog keagamaan merupakan suatu kebutuhan yang bersifat urgen. Permasalahannya di sini terletak pada : Bahan yang di dialogkan, kemudian substansi yang didialogkan dan  strategi di dalam melakukan dialog
Dalam kepemimpinan paternalistik, seorang tokoh agama adalah figur pimpinan yang kharismatik , yang mampu mengobarkan atau meredam emosi keagamaan pengikutnya. Dalam mengelemenir kontlik intern Hindu ini pimpinan dari sampradaya inilah sebagai front terdepan yang semestinya memiliki kesiapan untuk melakukan dialog. Guna memperoleh hasil yang maksimal dalam suatu dialog maka, tokoh - tokoh sampradaya ini memerlukan tiga hal untuk menyiasati berhasilnya suatu dialog. Adapun ketiga hal itu adalah :
1.Kesiapan komunikator yaitu kemampuan menyampaikan sesuatu secara bijaksana dengan bahasa yang lugas tanpa menyertakan emosi yang berakibat pada ketersinggungan teman dialognya. Di samping itu konflik yang dihadapi adalah bersifat internal , maka dialog ini terjadi antara paham - paham yang lahir dari rahim agama yang sama dan bahasa yang sama pula yakni ; Hindu dan Sanskerta. Bisa saja timbulnya pemahaman yang berbeda akibat perbedaan interpretasi bahasa.
2) Kesiapan intelektual untuk meyakini secara obyektif nilai - nilai positif yang ada pada sampradaya yang lain. Ini tidak berarti dalam sebuah dialog, salah satu pihak yang terlibat menghapuskan pandangan teologis dan idiologisnya demi mendengar dan menerima pandangan teman dialognya. Namun yang paling mungkin dilakukan adalah menghindari diri agar peserta dialog tidak berada pada posisi berlavvanan dengan lawan dialognya.
3) Sikap apologetik ( ksamawan / pemaaf ) dalam keberagamaan untuk mencegah timbulnya pcndapat paham sampradayanya paling benar, dan resistensi terhadap nilai luar. Sebuah dialog tidak akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, sementara pelaku dialog tersebut masih dipengaruhi oleh pengaruh pikirannya maupun prasangkanya sendiri. Oleh karena itu peserta dialog hams keluar dari kegelisahan diri dan merdeka dari kumkungan jiwa dan mengubah subyektivitasnya agar dapat menyesuaikan diri dengan lawan atau penentangnya.
Kemudian menyangkut urgensi sebuah dialog terletak pada esensi dan pelaksanaannya.Berdasarkan pengamatan tema pokok yang dapat didialogkan adalah menyangkut hal - hal yang bersifat sakral berupa paham - paham ideologis dan bayang - bayang doktriner yang nihil dan menyesatkan dengan strategi politik tertutup dan tercipta untuk kepentingan intimidasi. Di samping itu bertukar pengalaman dan pengetahuan dalam aspek profan termasuk materi yang perlu didialogkan. Sebagai goal yang hendak dicapai dari dialog ini adalah adanva perubahan pandangan dan peran bagi peserta dialog menjadi seorang budayawan modern yang merenungkan urgensi risalah ke- Tuhan - an bagi dirinya sendiri melampaui eksistensi diri, kehidupan, realitas dan kemanusiaan, serta menciptakan faktor positif bagi din dan peran yang dimainkannya.
3. Menampilkan Prilaku Agama Yang Humanis
Kehadiran Hindu dengan kitab suci Vedanya sebagai brosur pertama manusia dalam sejarah dunia, telah menunjukkan pleksibilitas dan elastisitasnya, sehingga mampu bertahan sampai saat ini. Sementara sistem relegi yang lahir se/aman dengannya hanya tinggal sebagai kenangan. Survivalnva Hindu hingga kini sebagai akibat sifat Hindu yang senantiasa siap mengadakan pembenahan internal sesuai dengan tuntutan zaman. Demikian halnya dengan agama Hindu di Bali yang secara tradisional kita warisi secara turun temurun hingga kini, dalam strategi pembenahan internal ini, ternyata kita kalah start. Umat yang haus akan siraman rohani sesuai dengan perkembangan inteleknya kurang direspon. Karena banyak dari mereka menentukan pilihannva terhadap sampradaya yang baru berkembang sesuai dengan kebutuhan batinnya. Kehadiran sampradava - samparadaya baru di Bali lebih dirasakan memiliki kompetitif yang tinggi, hal ini dikarcnakan mengingat kchadirannya sebagai bentuk resistensi dari suatu kondisi sekuler pluralis dan ideologi kapital liberal. Situasi zaman dan persaingan ini memungkinkan sampradaya - sampradaya baru itu memakai metode - metode penyebaran yang dipakai oleh agama - agama semitis yang telah menguasai Eropa berabad - abad. Pengalaman sampai sekarang menunjukkan bahwa wajah dan nuansa keberagamaan mewujud pada tiga aspek, yakni; 1) agama yang membangun dunia ( world formalive religion ), 2) agama yang menghindari dunia ( world averiive religion ) 3) wajah agama yang radikalisme telologis - idiologis. Di era yang penuh kompetitif ini, jenis keberagamaan 2 dan 3 sama - sama memberikan dampak negatif, sehingga kurang cocok dalam menjaga kelangsungan masyarakat yang multi cultural seperti Indonesia. Kalau kita bermaksud mempertahankan eksistensi Hindu secara berkesinambungan sesuai dengan tuntutan zaman maka, pilihan nomor 1 adalah sangat ideal. Baik bagi sampradaya yang baru menyemaikan benihnya maupun bagi sampradaya yang telah tumbuh berkembang seperti sampradaya Siwa Siddhanta wajib merevitalisasi keimanannya melalui reposisi wajah keagamaanya. Karena dengan cara itu semua umat manusia akan memiliki tanggung jawab untuk menciptakan keselamatan dan perdamaian dunia beserta isinya secara integral ( lahir batin ).
Dalam situasi seperti ini semua sampradaya maupun agama diajak untuk berkompetitif mewujudkan wajah keberagamaan melalui tindakan yang saleh (godly behavior subha karma ). Dengan demikian inti dari wajah keberagamaan dalam aspek ini adalah lebih ditekankan pada dimensi kemanusiaannya dibandingkan dimensi teosentris maupun dimensi ritual simboliknya. Dimensi teosentris akan menjadikan agama itu melangit, sedangkan dengan aspek kemanusiaan menjadikan agama itu membumi berwajah anthroposentris ( Adiputra, 2003 : 4). Paham atau sampradaya di dalamnya, seperti paham fanatis, pandangan bahwa kebenaran hanya ada dalam agamaku / sampradayaku, yang paling sempuma adalah agamaku / sampradayaku, semua hanya simbol yang tidak patut dilakukan. Humanisme agama- agama / sampradaya akan melahirkan umat yang terbuka, toleran serta demokratis. Sebab pada semua agama / sampradaya, dimensi kemanusiaan merupakan sesuatu yang paling hakiki mengantarkan manusia pada kualitas kehidupan yang lebih baik. Tanpa mengedepankan dimensi humanisme agama / sampradaya, selalu akan muncul ke permukaan sikap ingin menang sendiri, dialog dan kerja sama sulit untuk diwujudkan. Segala bentuk simbol agama, secara arif tidak ditafsirkan secara dokriner; pemaknaan dari semua simbol itu diarahkan untuk melihat demensi humanisnya, sehingga muncul celah untuk merevisi bersama - sama supaya lebih partisipasif dan transformatif.
Guna mencari kesepahaman dan kesepakatan dalam konteks ini, maka semua sampradaya yang membangun Hindu itu harus kembali prda tataran konsep Sanatoria yang universal dimiliki Hindu, yakni Tat Twam Asi, merupakan Maha Wakya dari Chandogya Upanisad. Kemudian konsep ini direaktualisasikan dalam tataran etis oleh Sri Krsna dalam Bhagavad Gita XII. 13 dan 18 yang berbunvi sebagai berikut:
"Advesta sarva bhutanam, maitrah karuna eva cha,
nirmamo mrahamkara, sama duhkha sukhah kshami
Samah satrau cha mitre cha. tatha manapamanayoh Sitoshna sukhaduhkhesu, samah sangavivarjitah."
Artinya:
Beretikad baik terhadap semua mahluk, bersahabat dan kasih sayang, tidak merasa memiliki dan tidak angkuh, sama dalam suka dan duka, pemaaf.
Sama terhadap kawan dan lawan, sama dalam kehormatan dan kecemaran, sama dalam panas dan dingin, suka dan duka bebas dari semua keterikatan.
Jika semua sampradaya di Bali menjadikan Tat Twam Asi sebagai tataran konsep menjadi jiwanya serta dan mengkontekstualkan sebagai operasionalnya sesuai dengan sloka Bhagawad Gita di atas, niscaya wajah keagamaan akan bersifat humanis maka pertentangan antara sampradaya di Bali tidak akan terjadi dan persaingan untuk membangun Bali ke depan yang lebih baik senantiasa akan menjadi prioritas utama di kalangan sampradaya itu. Bali yang penuh kreasi dan dinamis akan mewujud. Bakta - bakta sampradaya bersaing dengan sehat serta hidup berdampingan dengan damai.
3. SIMPULAN
Agama merupakan sarana menghubungkan diri dengan Tuhan selaku sosok yang adikodrati. Cara menghubungkan diri ini dapat melalui proses pemujaan leluhur yang tatacaranya dapat diketahui melalui lontar Bhuana Mahbah
Timbulnya Sampradaya di Bali merupakan suatu warisan yang diletakkan oleh sejarah pada bali kun. Kemudian muncul nya sampradaya baru di era ini merupakan suatu bentuk konversi internal terhadap agama yang dilakoni bercorak arkais, keinginan memperoleh hidangan spiritual yang segar akibat kejenuhan mendorong masyarakat beralih pada jalan spiritual yang berkonsep Ista Devata
Solusi yang dapat ditawarkan untuk mengeleminir konflik tersebut melalui pendalaman ajaran agam, di samping mengadakan pebenahan internal pada setiap sampradaya melalui rekontruksi tafsir -- tafsir fanatic yang dianggap anakrotistik, kemudian kesediaan mengadakan dialog antar sampradaya itu yang diharapkan melahirkan sebuah kesepahaman yang akirnya mewujud pada kesepakatan, serta yang tidak kalah pentingnya adalah agar sampradaya itu dapat hidup dengan rukun dan damai, maka wajah keberagamaannya haruslah humanis
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI