Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Kendari, Melting Potnya Kuliner Timur Indonesia

17 Oktober 2019   20:17 Diperbarui: 17 Oktober 2019   22:01 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seharusnya saya sudah pulang hari ini ke Jakarta, tapi entah kenapa ada godaan yang terlalu kuat untuk lebih jauh menjelajahi Sulawesi. Sebelumnya saya sudah pernah ke Morowali, Sulawesi Tengah, dan kemarin sudah puas berkeliling Toraja, Sulawesi Selatan. 

Masa iya sudah sejauh ini main ke Sulawesi, hanya untuk menelusuri Toraja yang sudah banyak dikunjungi orang?

Jiwa penasaran saya tidak mau berdamai. Walaupun godaan naik bus Primadona ke Makassar juga sangat kuat.

"Bus Primadona itu ada yang tipe double decker Scania, di bagian atas ada yang benar-benar pakai kasur," Info Zed Parenta, yang sudah hapal betul naik bus karena tiap tahun pulang-balik Jakarta-Makassar-Toraja. 

Terbayang asiknya tidur pulas sepanjang perjalanan naik bus executive yang benar-benar memanjakan.

Tapi saya kekeuh. Pokoknya harus ada satu provinsi lagi yang berhasil saya jelajahi. Maka berkelilinglah saya mencari PO Bus yang mau mengantarkan kalau tidak ke Polewali, Sulawesi Barat, ya ke Kendar, Sulawesi Tenggara. 

Tapi sebelumnya makan dulu di Warung Umum Sup Kikil di Jalan Diponegoro, tepat di sebelah PO Primadona. Bukan sup kikilnya yang mau saya nikmati, tapi tumis telur ikan dengan sambal khas Toraja, Katakkon.

DOKPRI
DOKPRI
DOKPRI
DOKPRI
Beda dengan gulai telur ikan dalam kuliner Sumatera Barat, di sini telurnya kecil dan masih terbungkus kantung telur ikan aslinya. Saat mampir ke lidah, rasanya smooth sekali, mirip gulai otak. 

Selain itu selingan sambal dengan lombok katokkon membuat mulut saya terus menari-nari dalam buaian rasa yang melenakan. Ini masakan rumah orang-orang Toraja. Simpel, tidak terlalu banyak bumbu karena hanya ditumis, tapi sungguh enak.

DOKPRI
DOKPRI
Setelah berpamitan kepada Ibu pemiliknya, saya kembali ke PO, terbayang-bayang kembali perjalanan lebih jauh ke provinsi tetangga.

DOKPRI
DOKPRI
"Ayo kak, carikan saya PO yang bisa antarkan ke Polewali atau Kendari," Kata saya kepada seorang pembawa becak motor. Di sini, nyaris tidak ada becak. Transportasi yang dikayuh dengan tenaga kaki manusia ini hanya dipakai untuk menjemput sampah botol. Untuk manusia, hanya ada pilihan becak motor.

"Bagus, pikir saya, setidaknya lebih manusiawi dibanding Jakarta," Pikir saya.

Sebenarnya Rantepao hanya kota kecil dengan satu jalan besar. Sehingga dengan sigap ia mengantarkan saya hanya dengan ongkos lima ribu saja. Tapi apes, saya sudah terlambat. Hanya bus ke Makassar yang tersedia setelah pukul 12:00.

"Kalau ke Kendari baru ada besok lagi, datang pagi-pagi," Kata Ibu penjaga di PO Icha. Wah, rugi sekali ya tadi saya makan siang terlalu lama, pikir saya. 

Apa boleh buat, akhirnya saya mencari penginapan kecil di sekitar PO Icha, tepat di sebelah Kafe Aras. Lumayan, malamnya saya masih bisa mengikuti pelatihan menulis The Writersnya Om Budiman Hakim yang melegenda itu. 

Sambil iseng mengerjakan tugas-tugas pelatihan, saya menyempatkan melihat menu. Ada satu lagi yang belum saya coba dari kuliner Toraja, yaitu sayur pakis. Lagi-lagi berbeda dengan seni masak di Sumatera Barat yang juga mengenal sayur pakis. 

Kalau di Sumatera Barat pakis biasanya digulai, maka di sini sayuran pakis dijadikan tumisan berkuah kental, mirip sayur cah kangkung. Dan rasanya juga jauh berbeda. 

Jika gulai pakis yang pernah saya coba di Padang Panjang lebih kuat rasa asamnya, maka di sini rasanya manis berminyak, bahkan cenderung bergelinyir, seperti dilumuri sagu papeda.

Setelah Kafe Aras tutup, saya masih menyempatkan diri mengunjungi Warung Teras Bambu yang menyajikan bebek palekko. Setelah saya icipi, ini mirip dangkot namun kuahnya lebih pedas, cair, dan tidak pakai cabe hijau. 

Potongan-potongannya juga mirip daging cincang, kecil dengan banyak tulang. Palekko adalah teknik masak khas Bugis yang memang terkenal agak pedas. 

bebek palekko, dokpri
bebek palekko, dokpri
Setelahnya, saya kembali ke Wisma Sarla. Wisma ini menyediakan kamar murah seharga Rp 175 sampai Rp 200 ribu. Tapi ya begitulah, tidak ada AC, dan terlihat sudah tua. Tapi daripada buang-buang uang untuk menunggu sehari lagi, saya putuskan lebih baik menginap di sini. 

Keesokan hari, sedari pagi saya segera bergegas kembali ke PO Icha. Untung tidak telat bangun, jadi sambil membuat mi instan dalam kemasan mangkuk sytrofoam, saya terbirit-birit mengejar bis Icha yang menuju Kendari. 

Awalnya saya ragu dengan harga tiketnya yang cuma Rp 250 ribu untuk jarak sejauh itu, sekitar 700 kilometer di Google Map. Kira-kira sama jauhnya dengan Jakarta -- Surabaya. Saya tanya, "Ini busnya eksekutif apa biasa saja bu?"

Si Ibu tersenyum simpul, "Ya naik saja apa yang tersedia. Adanya Icha, itu sudah."

Dan benar saja, setelah saya lihat dari dekat, busnya ternyata bus kecil, lebih mirip kopaja di Jakarta. Tapi syukurnya tempat duduknya empuk dan bisa diturunkan hingga mirip posisi tidur. 

Dan namanya bus transportasi rakyat, lagi-lagi saya harus mengulangi pengalaman saat berjalan-jalan di Pantai Selatan, tidur di sebelah ayam! Dan tidak cukup ayam, kali ini ada kotak berisi anak anjing yang sibuk melolong-lolong sepanjang perjalanan.

DOKPRI
DOKPRI
Lengkap sudah penderitaan ini, sudahlah tak ada AC, bau, dan berisik pula. Hahaha. Tapi saya berusaha menikmati pemandangan di luar yang luar biasa. Penuh kabut dan pegunungannya ada di kanan kiri. 

Hingga perlahan angin yang masuk melalui jendela yang terbuka dan buaian bus yang berbelok ke kanan dan ke kiri, mengantarkan saya ke alam tidur...

Sekitar pukul sebelas, kondektur menjawil saya. Saya lihat sekeliling sudah kosong. Ternyata sudah waktunnya makan siang. Saya lihat ke kanan kiri, gerimis dan nyaris tidak bisa melihat apapun selain jalan dan kendaraan dari arah berlawanan. Dingin sekali.

DOKPRI
DOKPRI
Pondok makan di sini mirip di Lubuk Bangku, Sumatera Barat, menjelang Kelok Sembilan. Suasananya dingin sekali dan merangsang nafsu makan. Tapi jangan kaget dengan harganya. 

Di sini kita tidak bisa memilih menu. Hanya ada nasi, bakso, atau pop mie. Dan untuk sajian nasi, ayam goreng, telur, sayur, dan sedikit potongan ayam di dalam kuah gulai, harganya Rp 30 ribu! Beruntung kondisi saya sudah lapar berat dan masakannya juga lumayan enak walaupun sederhana.

DOKPRI
DOKPRI
Sebelum bus beranjak, saya masih sempat memesan baje', semacam wajik khas toraja. Rasanya manis sekali dan lebih keras daripada wajik yang saya coba di Sumatera. Porsi gula enaunya lebih banyak ketimbang ketannya. Rasanya yang manis, saat dibungkus daun jagung ternyata membuat aromanya makin kaya.

DOKPRI
DOKPRI
Selain itu saya masih sempat memfoto piong. Mirip dengan pa'piong yang sudah saya coba di Hotel Pison. "Ini dari ketan dan santan. Enak. Tapi kalau mau beli harus semuanya. Lima puluh ribu!" Si Ibu mengacungkan kelima jarinya. 

Fiuh, kok jadi serba mahal begini, ya. Akhirnya saya membatalkan beli piong walau tergoda ingin tahu rasanya.

piong ketan. dokpri
piong ketan. dokpri
Bus kembali berjalan menembus kabut. Saya cek Google Map, walaupun sinyal nyaris tidak ada, daerah ini namanya Palopo. Walaupun cukup terkenal, ternyata banyak sudut Palopo masih belum mendapat akses telepon selular, jangankan internet. 

Di kiri kanan saya lihat rumah-rumah masih seperti gubuk, dengan dinding kayu dan atap seng, terkadang rumbia. Seringkali jalanan rusak dan sepi sekali, hanya satu atau dua mobil berpapasan setiap jamnya. Mirip kondisi dulu saat saya mencoba jalur Takengon-Kutacane.

dokpri
dokpri
Kasihan juga ya? Saya jadi bisa maklum mengapa di sini dagangan menjadi mahal.

Di sekitar Malili, saya menyaksikan sunset yang sebenarnya cukup indah. Sayangnya di sini infrastruktur belum terbangun dengan baik. Hanya sekilas saya lihat pemandangannya, karena nyaris semuanya tertutup pohon. 

Padahal ini bagian teluk dengan bagian tengahnya tepat menghadap barat. Alangkah bagusnya dibangun wisata pantai.

DOKPRI
DOKPRI
Beberapa kali jalan rusak dan bahkan sampai bus harus dua kali ganti ban, membuat perjalanan jadi lebih lama dari seharusnya. Menjelang Malili, udara sudah mulai panas, sehingga tidak adanya AC di bus ini mulai menyiksa. Apalagi saat berhenti pintu dan jendela terpaksa dibuka, nyamuk dari hutan pun menyerang dengan ganas.

"Plak! Plak! Plak!" Penumpang mulai menggerutu dan anak-anak menangis. Kaki saya gatal sekali, tapi untuk membungkuk menggaruknya, rasanya malas. Ya sudah obatnya hanya tidur saja. Kondisi yang menyulitkan saat di kiri kanan ada kotak ayam dan anjing yang juga berisik.

Duh..

Untungnya Tuhan masih sayang. Saya kembali diantar ke alam tidur yang pulas, tanpa mimpi. Hingga akhirnya waktu makan malam berikutnya, di Desa Majapahit, sebelum Lanipa. 

Lagi-lagi di sini saya merasa berat dan mahal sekali makannya. Sepiring nasi, dangkot ayam, dan kuah mi instan yang sedikit sekali mie nya, harus ditebus dengan harga Rp 30 ribu. Tapi lagi-lagi tidak ada pilihan lain karena tidak ada rumah makan lain di sekitarnya. Fanta pun Rp 10 ribu sebotol kecil.

Duh, tentunya ini akan menyulitkan pariwisata di Sulawesi Selatan sulit berkembang. Tapi lagi-lagi saya hanya bisa memaklumi. Di sini aksesnya masih terbatas, tidak selancar dari Makassar ke Toraja. Jadi masuk akal kalau semua hal dijual mahal.

Hingga pagi hari, kami akhirnya sampai di Kendari. PO Bus Icha agak jauh dari pusat kota, sehingga mau tidak mau saya minta diantarkan ojek setelah selesai sarapan untuk mencari penginapan. 

Syukurnya di perjalanan ke arah pelabuhan, di Jalan I Made Sabara, saya menemui Hotel Dragon Inn, yang cukup murah, hanya Rp 300 ribu dengan tanda rekomendasi dari Trip Advisor. Fasilitas TV, kamar mandi dengan air hangat, wifi dan AC sangat sebanding.

Sambil bertanya-tanya kepada orang sekitar rekomendasi makanan apa yang bisa dinikmati di Kendari, saya berjalan-jalan dengan panduan Google Map.

"Coba dulu Sinonggi," Kata Pak Imam yang saya tanya di sepanjang jalan. Ia menunjuk ke arah selatan. Di sana ada deretan warung dan ruko makanan.

"Yang di Cobek-Cobek enak sinongginya," Saran Pak Imam. Saya ikuti saja dan masuk ke warung ini. "Mau ikan apa?" Tanya penjaganya menawarkan. Ternyata mayoritas masakan di Kendari adalah ikan. Beda dengan Toraja yang mayoritas daging babi dan kerbau. Cukup aman bagi yang muslim, selain memang di sini mayoritas penduduknya juga muslim.

"Saya mau pesan sinonggi," Jawab Saya. Disambut dengan tatapan heran penjualnya.

Oh iya, saya lupa. Sinonggi ini ternyata setelah saya search adalah semacam papeda juga. Makannya tentu tidak bisa begitu saja karena rasanya hambar sekali. Harus dengan ikan berkuah. Jadi memang semua orang ke sini makan sinonggi, tapi yang harus dipesan mau pakai apa ikan untuk menemaninya.

"Ikan apa yang ada?" Saya bertanya.

"Paling enak pakai ikan sunu," Jawabnya menunjuk ikan ukuran sedang, sekitar setengah kilo. Saya tanya harganya. "Empat puluh lima ribu"

Waw. Mahal betul ya. Rp 90 ribu per kilonya. Tapi mengingat ini sebenarnya jenis ikan kerapu berwarna merah, memang pantas kalau harganya mahal. 

Lagipula dari sinonggi dan ikan sunu masak palumara yang tersaji, masih plus nasi, sebenarnya masakan ini bisa disantap tiga atau empat orang. Jadi total sebenarnya hanya Rp 15 ribu per orang. Masih masuk akal ketimbang makanan di Desa Majapahit tadi malam.

DOKPRI
DOKPRI
Palumara boleh dibilang mirip ikan kuah kuning dari Papua. Tapi sedikit lebih asam dan asin. Selain itu ternyata sinonggi sedikit lebih gurih rasanya dibanding papeda. 

Saya rasa ada tambahan penggunaan garam dalam pembuatan sinonggi, walaupun tidak banyak, hanya sedikit menghilangkan rasa mual yang terjadi saat kita menelan cairan kental sagu. Tambahan sambal mangganya membuat rasa asamnya makin kentara.

DOKPRI
DOKPRI
Berjalan berputar-putar sebentar ke arah Jalan Abunawas, karena ada sup ubi di sana. Sayang saya tidak menemukan Rumah Makan Istana yang dimaksud. Akhirnya saya berputar dan menemukan RM Parende. 

Di sini disajikan parende, teknik memasak yang memang berasal dari Sulawesi Tenggara, atau lebih tepatnya Pulau Buton, beda dengan palumara yang sebenarnya cara memasak ikan dari Makassar.

"Tidak mau pakai sinonggi?" Tanya mba pelayannya keheranan. "Tidak, saya sudah makan. Mau cicipi saja." Jawab saya.

Parende ikan, sebenarnya lebih mirip soto, sebab banyak kuahnya coklat keruh dengan bau bawang goreng yang tajam. Ikannya juga dimasak cukup lama sehingga dagingnya jadi agak keras berserat. Saya lihat di Google, rasa asamnya didapat dari penggunaan belimbing wuluh atau jeruk nipis.

Nah, sudah puas saya menikmati masakan khas Sulawesi Tenggara yang sebenarnya, maka saya memutuskan kembali ke Dragon Inn. 

Dari berbagai petualangan saya hari ini, melihat beberapa rumah makan dan menu yang disajikan, bisa saya tarik kesimpulan, Kendari ini sebenarnya melting pot kekayaan kuliner bagian timur Indonesia. 

Mulai dari masakan Ambon, Menado, Toraja, Makassar, bahkan Papua bisa kita temukan di satu kota ini saja, walaupun tentunya tidak akan sama persis dengan daerah asalnya. Lidah dan keahlian masak masyarakat Kendari tentu menambahkan ciri tersendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun