Seharusnya saya sudah pulang hari ini ke Jakarta, tapi entah kenapa ada godaan yang terlalu kuat untuk lebih jauh menjelajahi Sulawesi. Sebelumnya saya sudah pernah ke Morowali, Sulawesi Tengah, dan kemarin sudah puas berkeliling Toraja, Sulawesi Selatan.Â
Masa iya sudah sejauh ini main ke Sulawesi, hanya untuk menelusuri Toraja yang sudah banyak dikunjungi orang?
Jiwa penasaran saya tidak mau berdamai. Walaupun godaan naik bus Primadona ke Makassar juga sangat kuat.
"Bus Primadona itu ada yang tipe double decker Scania, di bagian atas ada yang benar-benar pakai kasur," Info Zed Parenta, yang sudah hapal betul naik bus karena tiap tahun pulang-balik Jakarta-Makassar-Toraja.Â
Terbayang asiknya tidur pulas sepanjang perjalanan naik bus executive yang benar-benar memanjakan.
Tapi saya kekeuh. Pokoknya harus ada satu provinsi lagi yang berhasil saya jelajahi. Maka berkelilinglah saya mencari PO Bus yang mau mengantarkan kalau tidak ke Polewali, Sulawesi Barat, ya ke Kendar, Sulawesi Tenggara.Â
Tapi sebelumnya makan dulu di Warung Umum Sup Kikil di Jalan Diponegoro, tepat di sebelah PO Primadona. Bukan sup kikilnya yang mau saya nikmati, tapi tumis telur ikan dengan sambal khas Toraja, Katakkon.
Selain itu selingan sambal dengan lombok katokkon membuat mulut saya terus menari-nari dalam buaian rasa yang melenakan. Ini masakan rumah orang-orang Toraja. Simpel, tidak terlalu banyak bumbu karena hanya ditumis, tapi sungguh enak.
"Bagus, pikir saya, setidaknya lebih manusiawi dibanding Jakarta," Pikir saya.
Sebenarnya Rantepao hanya kota kecil dengan satu jalan besar. Sehingga dengan sigap ia mengantarkan saya hanya dengan ongkos lima ribu saja. Tapi apes, saya sudah terlambat. Hanya bus ke Makassar yang tersedia setelah pukul 12:00.
"Kalau ke Kendari baru ada besok lagi, datang pagi-pagi," Kata Ibu penjaga di PO Icha. Wah, rugi sekali ya tadi saya makan siang terlalu lama, pikir saya.Â
Apa boleh buat, akhirnya saya mencari penginapan kecil di sekitar PO Icha, tepat di sebelah Kafe Aras. Lumayan, malamnya saya masih bisa mengikuti pelatihan menulis The Writersnya Om Budiman Hakim yang melegenda itu.Â
Sambil iseng mengerjakan tugas-tugas pelatihan, saya menyempatkan melihat menu. Ada satu lagi yang belum saya coba dari kuliner Toraja, yaitu sayur pakis. Lagi-lagi berbeda dengan seni masak di Sumatera Barat yang juga mengenal sayur pakis.Â
Kalau di Sumatera Barat pakis biasanya digulai, maka di sini sayuran pakis dijadikan tumisan berkuah kental, mirip sayur cah kangkung. Dan rasanya juga jauh berbeda.Â
Jika gulai pakis yang pernah saya coba di Padang Panjang lebih kuat rasa asamnya, maka di sini rasanya manis berminyak, bahkan cenderung bergelinyir, seperti dilumuri sagu papeda.
Setelah Kafe Aras tutup, saya masih menyempatkan diri mengunjungi Warung Teras Bambu yang menyajikan bebek palekko. Setelah saya icipi, ini mirip dangkot namun kuahnya lebih pedas, cair, dan tidak pakai cabe hijau.Â
Potongan-potongannya juga mirip daging cincang, kecil dengan banyak tulang. Palekko adalah teknik masak khas Bugis yang memang terkenal agak pedas.Â
Keesokan hari, sedari pagi saya segera bergegas kembali ke PO Icha. Untung tidak telat bangun, jadi sambil membuat mi instan dalam kemasan mangkuk sytrofoam, saya terbirit-birit mengejar bis Icha yang menuju Kendari.Â
Awalnya saya ragu dengan harga tiketnya yang cuma Rp 250 ribu untuk jarak sejauh itu, sekitar 700 kilometer di Google Map. Kira-kira sama jauhnya dengan Jakarta -- Surabaya. Saya tanya, "Ini busnya eksekutif apa biasa saja bu?"
Si Ibu tersenyum simpul, "Ya naik saja apa yang tersedia. Adanya Icha, itu sudah."
Dan benar saja, setelah saya lihat dari dekat, busnya ternyata bus kecil, lebih mirip kopaja di Jakarta. Tapi syukurnya tempat duduknya empuk dan bisa diturunkan hingga mirip posisi tidur.Â
Dan namanya bus transportasi rakyat, lagi-lagi saya harus mengulangi pengalaman saat berjalan-jalan di Pantai Selatan, tidur di sebelah ayam! Dan tidak cukup ayam, kali ini ada kotak berisi anak anjing yang sibuk melolong-lolong sepanjang perjalanan.
Hingga perlahan angin yang masuk melalui jendela yang terbuka dan buaian bus yang berbelok ke kanan dan ke kiri, mengantarkan saya ke alam tidur...
Sekitar pukul sebelas, kondektur menjawil saya. Saya lihat sekeliling sudah kosong. Ternyata sudah waktunnya makan siang. Saya lihat ke kanan kiri, gerimis dan nyaris tidak bisa melihat apapun selain jalan dan kendaraan dari arah berlawanan. Dingin sekali.
Di sini kita tidak bisa memilih menu. Hanya ada nasi, bakso, atau pop mie. Dan untuk sajian nasi, ayam goreng, telur, sayur, dan sedikit potongan ayam di dalam kuah gulai, harganya Rp 30 ribu! Beruntung kondisi saya sudah lapar berat dan masakannya juga lumayan enak walaupun sederhana.
Fiuh, kok jadi serba mahal begini, ya. Akhirnya saya membatalkan beli piong walau tergoda ingin tahu rasanya.
Di kiri kanan saya lihat rumah-rumah masih seperti gubuk, dengan dinding kayu dan atap seng, terkadang rumbia. Seringkali jalanan rusak dan sepi sekali, hanya satu atau dua mobil berpapasan setiap jamnya. Mirip kondisi dulu saat saya mencoba jalur Takengon-Kutacane.
Di sekitar Malili, saya menyaksikan sunset yang sebenarnya cukup indah. Sayangnya di sini infrastruktur belum terbangun dengan baik. Hanya sekilas saya lihat pemandangannya, karena nyaris semuanya tertutup pohon.Â
Padahal ini bagian teluk dengan bagian tengahnya tepat menghadap barat. Alangkah bagusnya dibangun wisata pantai.
"Plak! Plak! Plak!" Penumpang mulai menggerutu dan anak-anak menangis. Kaki saya gatal sekali, tapi untuk membungkuk menggaruknya, rasanya malas. Ya sudah obatnya hanya tidur saja. Kondisi yang menyulitkan saat di kiri kanan ada kotak ayam dan anjing yang juga berisik.
Duh..
Untungnya Tuhan masih sayang. Saya kembali diantar ke alam tidur yang pulas, tanpa mimpi. Hingga akhirnya waktu makan malam berikutnya, di Desa Majapahit, sebelum Lanipa.Â
Lagi-lagi di sini saya merasa berat dan mahal sekali makannya. Sepiring nasi, dangkot ayam, dan kuah mi instan yang sedikit sekali mie nya, harus ditebus dengan harga Rp 30 ribu. Tapi lagi-lagi tidak ada pilihan lain karena tidak ada rumah makan lain di sekitarnya. Fanta pun Rp 10 ribu sebotol kecil.
Duh, tentunya ini akan menyulitkan pariwisata di Sulawesi Selatan sulit berkembang. Tapi lagi-lagi saya hanya bisa memaklumi. Di sini aksesnya masih terbatas, tidak selancar dari Makassar ke Toraja. Jadi masuk akal kalau semua hal dijual mahal.
Hingga pagi hari, kami akhirnya sampai di Kendari. PO Bus Icha agak jauh dari pusat kota, sehingga mau tidak mau saya minta diantarkan ojek setelah selesai sarapan untuk mencari penginapan.Â
Syukurnya di perjalanan ke arah pelabuhan, di Jalan I Made Sabara, saya menemui Hotel Dragon Inn, yang cukup murah, hanya Rp 300 ribu dengan tanda rekomendasi dari Trip Advisor. Fasilitas TV, kamar mandi dengan air hangat, wifi dan AC sangat sebanding.
Sambil bertanya-tanya kepada orang sekitar rekomendasi makanan apa yang bisa dinikmati di Kendari, saya berjalan-jalan dengan panduan Google Map.
"Coba dulu Sinonggi," Kata Pak Imam yang saya tanya di sepanjang jalan. Ia menunjuk ke arah selatan. Di sana ada deretan warung dan ruko makanan.
"Yang di Cobek-Cobek enak sinongginya," Saran Pak Imam. Saya ikuti saja dan masuk ke warung ini. "Mau ikan apa?" Tanya penjaganya menawarkan. Ternyata mayoritas masakan di Kendari adalah ikan. Beda dengan Toraja yang mayoritas daging babi dan kerbau. Cukup aman bagi yang muslim, selain memang di sini mayoritas penduduknya juga muslim.
"Saya mau pesan sinonggi," Jawab Saya. Disambut dengan tatapan heran penjualnya.
Oh iya, saya lupa. Sinonggi ini ternyata setelah saya search adalah semacam papeda juga. Makannya tentu tidak bisa begitu saja karena rasanya hambar sekali. Harus dengan ikan berkuah. Jadi memang semua orang ke sini makan sinonggi, tapi yang harus dipesan mau pakai apa ikan untuk menemaninya.
"Ikan apa yang ada?" Saya bertanya.
"Paling enak pakai ikan sunu," Jawabnya menunjuk ikan ukuran sedang, sekitar setengah kilo. Saya tanya harganya. "Empat puluh lima ribu"
Waw. Mahal betul ya. Rp 90 ribu per kilonya. Tapi mengingat ini sebenarnya jenis ikan kerapu berwarna merah, memang pantas kalau harganya mahal.Â
Lagipula dari sinonggi dan ikan sunu masak palumara yang tersaji, masih plus nasi, sebenarnya masakan ini bisa disantap tiga atau empat orang. Jadi total sebenarnya hanya Rp 15 ribu per orang. Masih masuk akal ketimbang makanan di Desa Majapahit tadi malam.
Saya rasa ada tambahan penggunaan garam dalam pembuatan sinonggi, walaupun tidak banyak, hanya sedikit menghilangkan rasa mual yang terjadi saat kita menelan cairan kental sagu. Tambahan sambal mangganya membuat rasa asamnya makin kentara.
Di sini disajikan parende, teknik memasak yang memang berasal dari Sulawesi Tenggara, atau lebih tepatnya Pulau Buton, beda dengan palumara yang sebenarnya cara memasak ikan dari Makassar.
"Tidak mau pakai sinonggi?" Tanya mba pelayannya keheranan. "Tidak, saya sudah makan. Mau cicipi saja." Jawab saya.
Parende ikan, sebenarnya lebih mirip soto, sebab banyak kuahnya coklat keruh dengan bau bawang goreng yang tajam. Ikannya juga dimasak cukup lama sehingga dagingnya jadi agak keras berserat. Saya lihat di Google, rasa asamnya didapat dari penggunaan belimbing wuluh atau jeruk nipis.
Nah, sudah puas saya menikmati masakan khas Sulawesi Tenggara yang sebenarnya, maka saya memutuskan kembali ke Dragon Inn.Â
Dari berbagai petualangan saya hari ini, melihat beberapa rumah makan dan menu yang disajikan, bisa saya tarik kesimpulan, Kendari ini sebenarnya melting pot kekayaan kuliner bagian timur Indonesia.Â
Mulai dari masakan Ambon, Menado, Toraja, Makassar, bahkan Papua bisa kita temukan di satu kota ini saja, walaupun tentunya tidak akan sama persis dengan daerah asalnya. Lidah dan keahlian masak masyarakat Kendari tentu menambahkan ciri tersendiri.Â