Duh, tentunya ini akan menyulitkan pariwisata di Sulawesi Selatan sulit berkembang. Tapi lagi-lagi saya hanya bisa memaklumi. Di sini aksesnya masih terbatas, tidak selancar dari Makassar ke Toraja. Jadi masuk akal kalau semua hal dijual mahal.
Hingga pagi hari, kami akhirnya sampai di Kendari. PO Bus Icha agak jauh dari pusat kota, sehingga mau tidak mau saya minta diantarkan ojek setelah selesai sarapan untuk mencari penginapan.Â
Syukurnya di perjalanan ke arah pelabuhan, di Jalan I Made Sabara, saya menemui Hotel Dragon Inn, yang cukup murah, hanya Rp 300 ribu dengan tanda rekomendasi dari Trip Advisor. Fasilitas TV, kamar mandi dengan air hangat, wifi dan AC sangat sebanding.
Sambil bertanya-tanya kepada orang sekitar rekomendasi makanan apa yang bisa dinikmati di Kendari, saya berjalan-jalan dengan panduan Google Map.
"Coba dulu Sinonggi," Kata Pak Imam yang saya tanya di sepanjang jalan. Ia menunjuk ke arah selatan. Di sana ada deretan warung dan ruko makanan.
"Yang di Cobek-Cobek enak sinongginya," Saran Pak Imam. Saya ikuti saja dan masuk ke warung ini. "Mau ikan apa?" Tanya penjaganya menawarkan. Ternyata mayoritas masakan di Kendari adalah ikan. Beda dengan Toraja yang mayoritas daging babi dan kerbau. Cukup aman bagi yang muslim, selain memang di sini mayoritas penduduknya juga muslim.
"Saya mau pesan sinonggi," Jawab Saya. Disambut dengan tatapan heran penjualnya.
Oh iya, saya lupa. Sinonggi ini ternyata setelah saya search adalah semacam papeda juga. Makannya tentu tidak bisa begitu saja karena rasanya hambar sekali. Harus dengan ikan berkuah. Jadi memang semua orang ke sini makan sinonggi, tapi yang harus dipesan mau pakai apa ikan untuk menemaninya.
"Ikan apa yang ada?" Saya bertanya.
"Paling enak pakai ikan sunu," Jawabnya menunjuk ikan ukuran sedang, sekitar setengah kilo. Saya tanya harganya. "Empat puluh lima ribu"
Waw. Mahal betul ya. Rp 90 ribu per kilonya. Tapi mengingat ini sebenarnya jenis ikan kerapu berwarna merah, memang pantas kalau harganya mahal.Â