Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Di Takengon, Setelah Menemukan Kopi Gayo, Aku Bertemu dengan-Mu Tuhan

15 Agustus 2018   07:20 Diperbarui: 15 Agustus 2018   14:35 1208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin ini adalah bagian paling religius dan sekaligus penuh perenungan dari seluruh tulisan saya mengenai #1000kmJKW. Sebuah perjalanan yang begitu panjang, melelahkan, namun sekaligus paling bermakna dari semua fragmen. 

Ya, saya bisa mengerti mengapa Pak Jokowi begitu mencintai Tanah Aceh Gayo. Karena Aceh adalah negeri Serambi Mekah, Aceh adalah negeri ke mana Tuhan menghadap. Dan di sanalah saya menemukan Dia.

Meulaboh menuju Takengon
Meulaboh menuju Takengon
Tak ada penyerahan diri tanpa rasa pasrah. Pasrah dalam kondisi titik nadir, seperti juga kita membaca dari sejarah dan berbagai kitab, bahwa banyak sekali tokoh agama, nabi, bahkan seorang Buddha sekalipun menjatuhkan titik kehidupan di titik terdalam sebelum mencapai pencerahan. Karena pencerahan adalah sebuah ujung dari penyerahan total kepada kondisi apapun, tanpa syarat.

dokpri
dokpri
Kopi, di satu sisi, adalah minuman paling religius. Sejarahnya ia bukanlah minuman para hipster. Kopi sudah lama dimanfaatkan oleh para sufi untuk mempertahankan kesadaran dari rasa kantuk. Wine, sebaliknya dari pengaruh kehidupan Bangsa Eropa dan Mesir, adalah minuman beralkohol yang berujung kepada rasa mengantuk dan ketidak sadaran. 

Kopi dan wine, walau bertolak-belakang, sama-sama mengarah kepada trance, sama-sama sebenarnya soal pencarian akan Tuhan dan sama-sama dimanfaatkan oleh orang yang tenggelam dalam Agama.

dokpri
dokpri
"Coba lewat ke Takengon untuk mencari kopi, di situ sumber terbaik Kopi Aceh Gayo," kata seorang penjaga warung kopi saat saya tanya di mana sumber kopi Aceh. 

"Takengon itu sumbernya nenek moyang orang Gayo, di sanalah peradaban Aceh Tengah berasal." Dan benar saja, saat akhirnya saya sampai ke Danau Lot Tawar di Takengon, saya menemukan jalan masuk menuju kumpulan artifak di Aceh, gua berisi tulang belulang dan rumah primitif nenek moyang mereka. Sayang saya tidak punya banyak waktu untuk menjelajahinya.

dokpri
dokpri
Danau Lot Tawar sendiri subur luar biasa. Banyak daerah bisa mengklaim penghasil kopi Aceh Gayo, namun tak ada yang bisa menyaingi rasa kopi dari Takengon. Daerahnya tidak terlalu tinggi, sehingga tidak menghasilkan kadar asam terlalu tinggi di kopinya. Namun juga masih cukup subur dan tinggi sehingga rasanya masih kaya. 

Jalan Menuju Takengon, dokpri
Jalan Menuju Takengon, dokpri
Walau demikian, di sekitaran perbukitan Takengon, masih ada penjemur dan pedagang biji kopi yang masih nakal mencampurkan beberapa varietas dan kualitas biji kopi yang kurang baik, sehingga konsistensinya belum terbentuk. 

Seorang petani yang saya temu setelah melewati Hutan Lindung, menuju Tekengon, menawarkan biji kopi yang cukup murah, hanya Rp 40 ribu per kilogramnya. 

Namun setelah saya bawa ke penggilingan kopi di Coffee Boutiqe di Jalan Antasari, terbukti kualitasnya pun mencerminkan harganya, asal-asalan, dari berbagai varietas yang tidak konsisten, dan bercampur banyak kerikil. Hasilnya kopi yang juga kurang keruan rasanya.

dokpri
dokpri
Barulah di Takengon saya bisa menemukan sebuah kafe yang memberikan kualitas biji kopi ekspor. Tentu dengan harga yang juga tidak main-main, Rp 100 ribu per kilogram. Kopinya sudah disortir, semuanya arabica, dan sudah sangat kering, jadi susutnya hanya sedikit. 

Seperti inilah Kopi Gayo yang mendunia, yang tahun ini mencapai harga tertinggi sepanjang masa, berkat pembinaan dan kedisiplinan petani kopi dan para pedagang pengumpulnya.

Nah Kopi Aceh Gayo ini yang sering dipromosikan oleh Pakde Jokowi ke mana-mana. Bahkan kopi kini menjadi semacam alat diplomasi "resmi" yang dipertukarkan dengan bangsa lain saat ada kunjungan luar negeri.

Lalu di mana pengalaman religiusnya? Jadi begini, menjelang Aceh pun mobil saya yang Toyota Calya Matic mulai menunjukkan gejala aneh, lampu dashboard mulai redup saat setir ditarik ke kanan kiri atau rem diinjak. 

Mobil ini mengandalkan electric power braking dan electric power steering, sehingga rakus dengan daya baterai. Maka saat akinya mulai soak, maka daya pun tersedot ke dua fasilitas tersebut, sehingga lampu pun meredup saat keduanya aktif. 

Pertanda lain adalah air aki terlihat seperti mendidih, bila dibuka uapnya akan keluar dan aki berkali-kali kering. Gejala ini mirip dengan Agya Matic yang dulu juga pernah saya miliki.

Dasar bandel, saya bukannya segera mengganti baterai, namun malah terus memicu laju mobil melewati Betung Ateuh, yang ternyata benar-benar dilarang dari pendirian rumah, dan anehnya Warga Aceh begitu patuh. 

Dari sejak pintu masuk Betung Ateuh hingga 10 kilometer menjelang Takengon, memang tidak ada sama sekali rumah tinggal. Sekedar WC umum pun tak adaRencana saya sih tidak akan mematikan mobil hingga sampai di Medan, karena asumsi saya membeli di Takengon akan mahal sekali karena daerah pedalaman. Cukup dengan tidak pernah menstarter ulang, harusnya aman. Harusnya..

Tapi semua rencana kan dibuat saat masih waras dan dalam lingkup pikiran sadar. Saat kebelet kencing sudah ditahan selama 3 jam, barulah pikiran bawah sadar bekerja. Tak juga menemukan toilet, maka mau tak mau pipislah di jalanan, ketemu sudut yang agak tertutup di puncak Singgah Mata, sekitaran Nagan Raya. Syuuur...

Hutan Beutong
Hutan Beutong
"Ah nikmat.. pemandangannya juga indah luar biasa." Ya, karena di puncak tertinggi disekitaran Aceh Tengah, maka mata saya leluasa memandang hampir keseluruhan Aceh Tengah, mereview kembali perjalanan berat yang telah dilewati. 

Dari atas, saya bisa lihat kembali jalan berkelok-kelok dan tanjakan naik turun yang tadi sudah susah payah saya lalui dengan kecepatan rendah. Walaupun nyetir mobil matic, tapi ngegasnya dan remnya justru lebih berat ketimbang sekedar menginjak kopling.

Nah errornya adalah, saat menahan terkencing-kencing tadi, tanpa sadar saya memutar kunci ke kiri dan mencabut kuncinya! Waktu balik baru tersadar kalau mesin sudah dalam keadaan mati, tak bisa distarter lagi... 

Gobl....!

Namanya mobil matic pasti tidak bisa didorong. Kalau sudah mogok karena aki soak ya sudah mogok saja, pasrah sampai ada yang bisa memberi bantuan. 

Alhamdulillah saya selalu membawa peralatan darurat minimal, yaitu kabel jumper, karena sudah memprediksi hal seperti ini pasti suatu saat terjadi di tengah perjalanan.

Maka terdiamlah saya di tengah-tengah puncak Singgah Mata, dengan suasana hening, hanya semilir angin yang menusuk. Menunggu dan menunggu.. selama 2 jam. Namun terus terang saya menikmati kesendirian itu, memandangi indahnya tanah Aceh Gayo dari ketinggian... Saya mulai merasa yakin bahwa Tuhan akan menolong saat kita berserah diri, tak lagi mengkhawatirkan diri akan selamat atau tidak.

Hingga akhirnya mobil pickup yang mengantar logistik ke Takengon lewat, dan setengah heran ia bertanya "Bapak sendirian ke sini Dari mana?". "Dari Jakarta," jawab saya yakin. 

Saya masih belum mengerti apa yang salah dengan pergi ke Takengon sendirian. "Bawa barang?" Tanyanya. Ya tentu saja dengan polos saya jawab, "Ya bawalah." tanpa mengerti maksudnya. Si Abang supir itu tertawa dengan muka takjub "Hati-hati lah ya kalau gitu." Ia pun meminjamkan akinya untuk sekedar jumper agar bisa start lagi.

Di Takengon, masih setengah bandel, saya berusaha sekedar mengganti air aki dengan air keras, atas saran seorang tukang dinamo. Menurutnya, paling tidak baterai masih bisa bertahan beberapa kali pakai sebelum distarter lagi. 

"Nanti beli aja di Medan, Bang. Tapi jangan lebih jauh dari itu ya. Saya takut akinya mendidih seperti ini lama-lama meledak." Ya sudah, saya ikuti sarannya dan mengajak mobil tersebut jalan-jalan sebentar keliling Danau Lot Tawar, mancing, dan mandi. Beberapa kali starter saat berkeliling, masih normal.

dokpri
dokpri
Begitu menjelang malam, saya berhenti di belakang rumah seorang petani dan pedagang kopi gayo dari Jakarta, namanya Hamdani. Anaknya jadi PNS dan iseng membuka pertanian yang cukup luas di tanah gayo. 

Sambil bertukar cerita, dia terkaget-kaget pula mendengar cerita bahwa saya hanya berdua dari Lampung ke Medan, lalu nyetir sendirian sejak dari Kuala Namu, berputar-putar keliling Aceh, lalu menyeberang ke Sabang, lalu balik lewat Meulaboh, hingga akhirnya ke Takengon.

"Apa tujuannya itu jalan-jalan" tanya Pak Hamdani.

"Ya iseng saja Pak, cari petualangan," sahut saya sekenanya. "Wah sama juga seperti saya itu. Senang juga jalan-jalan bawa anak cucu jalan-jalan," tukas Pak Hamdani. "Tapi saya sih senangnya coba-coba beberapa jalur tidak biasa, Pak," saya memotong.

Pak Hamdani melihat saya sejenak. Tampak bingung dan heran. "Ajaib nih orang," Mungkin begitu pikirnya. Dan entah kenapa, tiba-tiba matanya berbinar dan tersenyum bijak, "Kalau ingin mencoba bertualang, cobalah jalur tengah ke Kutacane," Sarannya.

"Di mana itu, Pak?" Saya kebingungan.

"Susuri Danau Lot Tawar ini, memutar sampai ke selatan. Lalu ikut saja sampai nanti di Kutacane, masuk ke wilayah perkebunan sekitar Karo, keluar-keluar di Sidikalang." Kata Pak Hamdani. Karena tertarik mengumpulkan berbagai jenis kopi, maka tak ragu saya sambut petunjuknya.

Memang petualangan yang saya cari.

Namun ternyata petualangan yang dimaksud Pak Hamdani bukan petualangan yang biasa saya dapat di Pulau Jawa. Pak Hamdani tidak mengatakan sama sekali kondisi di Jalur Tengah Aceh. Memang jalannya bukan kerikil lagi, tapi sudah diaspal mulus sejak zaman Jokowi. 

Ada sedikit longsor di kanan kiri, sehingga bila tidak konsentrasi atau mengantuk, kita bisa masuk jurang seketika. Di sanalah saya mulai berserah diri, untuk kali pertama menyetir hanya mengikuti jalan tanpa analisa apapun. 

Soalnya biasanya kalau nyetir pikiran saya melayang-layang menganalisa ini dan itu. Kali ini beda, saya menyerahkan diri kepada Allah sang maha pencipta.

 Belok kanan ya ikuti kanan, belok kiri ikuti kiri, lurus ya lurus. Tanpa banyak berpikir. Toh ga ada gunanya berpikir melewati jalanan sejauh dan sesunyi itu. Sama sekali tidak ada rumah, masid, atau toilet umum. Hanya keheningan, dan sesekali hewan liar menyeberang.

Ngomong-ngomong jarak, hingga mulai keberangkatan, saya masih mengira akan banyak rumah penduduk, warung makan, dan SPBU di jalanan menuju Kutacane. Maka setelah sebentar mencari Bandara Rembele dan foto-foto, saya berputar ke selatan, dalam keadaan bensin sudah habis dua strip, saya pikir tenang saja paling tidak nanti akan ada Pertamini atau warung penjual bensin botolan seperti biasa saya temui di Sabang.

Nyatanya keliru.

Bandara Rembele, dokpri
Bandara Rembele, dokpri
Setengah perjalanan, saya mengecek bensin. Masih ada untuk 190 KM. Di dashboard Calya memang ada pengukur range perjalanan mobol berdasarkan sisa bensin. 

Praktis sekali untuk perjalanan jauh. Tapi saya lupa mengecek jarak dari Takengon ke Kutacane. Sambil menikmati indahnya matahari terbenam di Bukit Barisan, warnanya persis seperti di film Hollywood, warna warni kontras, saya baru tersadar.

Petunjuk Google Map menyatakan saya masih harud berjalan 220 KM lagi.. minus 30 kilometer. Sementara untuk balik ke Takengon terus terang saya malas. Buang-buang waktu...

Panik, saya coba cari SPBU di sepanjang jalan menuju Kutacane. Nihil. Ada di sekitar Blangkejeren. Tapi dari perkiraan ETA (estimated time of arrival), keduanya akan tutup saat saya sampai di sana. 

Maka saya putuskan putuskan berhenti di Blangkejeren menunggu pagi hari, mengisi perut dulu dengan membakar udang galah yang saya beli murah seharga Rp 30 ribu sekilo di Danau Lot Tawar.

dokpri
dokpri
Di sana, abang penjual sate bertanya karena heran melihat saya bawa mobil sendirian, plat B pula. "Dari mana, Bang? Kok bisa sampai sini?" Tanyanya menyelidik. "Dari Jakarta. Iseng-iseng aja bertualang sampai Aceh. Beberapa hari lalu malah sampai Sabang," Jawab saya bangga. 

Dia menatap saya agak lama. "Wah hati-hati lah, Bang. Di depan itu ada pos pemeriksaan." Ia lalu bercerita bahwa jalur tengah ini memang sering menjadi tempat menyelundupkan ganja dari Aceh ke Provinsi lain di Indonesia, dan ada kemungkinan saya bisa dijebak dengan menyisipkan narkoba di antara barang-barang yang dibawa. Tentu saja saya tidak percaya, tapi jelas kepikiran juga.

"Terus solusinya bagaimana?" Tanya saya cemas.

"Begini saja, usahakan saja bapak lewat di depan kantor jam 2 subuh, biasanya petugasnya tidur. Ini kan jam 11. jangan menunggu lama-lama. Kalau beruntung, bisa lewat dengan aman. Tapi kalau sudah siang jelas diperiksa."

Maka saya punya dua pilihan, jalan dengan bensin hanya cukup separuh jalan, minus 30 KM, soalnya di Google Map tertulis 100 km, sementara dashboard menunjukkan tinggal 70 KM. Atau menunggu SPBU Blangkejeren buka dan meresikokan diri tertangkap, difitnah, dan kena ancaman hukuman mati sebagai pengedar.

Saya pilih menyerahkan diri kepada Tuhan, saya pilih yang pertama.

Dengan dag dig dug, saya putar kunci starter mobil. "Kalau memang Allah mengizinkan, mau minus 100 KM pun, pasti sampai. Dan kalau Allah tidak mengizinkan, cukup pun bensinnya, akan kena jebakan di pos di depan." Sisanya bismillah...

Maka sekitar seratus kilometer ke depannya, yang saya ingat cuma berserah diri. Membiarkan keputusanNya mengambil alih seluruh analisa dan pemikiran saya.

Di tengah perjalanan dari Takengon menuju Kutacane, saya akan bertemu denganNya. Tentu saja bukan dalam konotasi negatif alias meninggal. Tapi sebuah pengalaman relijius dan spiritual. Berawal dari seliter bensin.

Hingga 10 KM terakhir perjalanan, bensin tinggal untuk 1 KM saja, atau kurang lebih kalau dikonversi ke volume bensin, tinggal seliter. Lampu kuning peringaatan bergambar stasiun pengisian bensin berkedip-kedip. 

Sungguh, tidak masuk akal sama sekali saya bisa sampai ke Kutacane. Tapi saya tidak hendak menyerah. Mobil hanya berputar langsam, memgandalkan jalan menurun, menukarkan seluruh energi potensial jadi energi mekanik. Saya membiarkan tangan Tuhan yang bekerja.

dokpri
dokpri
Dan perlahan, mobil mendekati Kutacane. 5 kilometer terakhir, range bensin menunjukkan angka 0 KM. Kadang saya pasang gigi N supaya mobil benar-benar lancar menggelinding.  

Saya sadar mobil ini hanya menggunakan tetes-tetes terakhir BBM yabg masih tersisa di tangki. Terus menggelinding dan menggelinding, mengiringi doa dan kecemasan saya setiap detiknya.

Hingga akhirnya, tepat si depan SPBU Kutacane, mobil berhenti bergerak. Benar-benar kehabisan tetes bensin. Alhamdulillah...]

dokpri
dokpri
Untuk kesekian kalinya Doa saya didengar Tuhan. Saya menemuiNya dengan doa, dan ia menjawabnya tepat seperti yang saya mintakan. Benar bahwa Ia ternyata lebih dekat dari urat leher. Buktinya tak satupun permintaan saya sejak awal perjalanan yang tidak dikabulkan. Tak satupun..

Kelelahan, usai memvideokan gerak terakhir mobil saya di depan SPBU sambil tertawa-tawa, akhirnya saya tertidur sampai pukul 8:30 pagi. Suara klakson becak motor yang terhalang membangunkan saya. 

Setelah mengisi bensin kembali dan tertawa keras saat petugasnya mengucapkan "Mulai dari Nol  ya pak...", saya meneruskan perjalanan hingga warung sarapan terdekat, menghabiskan sisa udang galah yang masih tersisa 3/4 nya dan mencoba durian setempat yang disajikan. Tak lupa secangkir kopi Gayo yang saya bawa sebagai sampel dari Takengon. 

Slurptt... ahhh..

dokpri
dokpri
Alhamdulillah..itu adalah sarapan paling nikmat yang pernah saya nikmati sepanjang umur yang saya habiskan di permukaan planet bumi. Udangnya begitu lezat, tanpa bumbu apapun selain sedikit garam. Kopi Gayonya juga otentik, tidak terlalu asam dan pahit, lebih mirip bau karamel, dan rasanya juga enak. Membuai saya hingga seruput terakhir. 

Maka setelah menemukan Kopi Gayo di Takengon, aku menemukanMu di Jalur Tengah Aceh, Tuhan...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun