Mohon tunggu...
Harfei Rachman
Harfei Rachman Mohon Tunggu... Freelancer - An Un-educated Flea

Aku, pikiran yang kamu takkan bisa taklukkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Babak 3: "Biru dan Arwah Lelaki Tua"

16 Agustus 2018   20:48 Diperbarui: 16 Agustus 2018   21:34 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya Baca: Babak 2: "Mayat Gadis Apatis dan Kisah Dari Selatan Jakarta."

Di sebuah kamar di rumah susun di tengah pemukiman Jakarta Barat, Lelaki berambut biru tengah bersiap. Parfumnya disemprotkan ke jas mahalnya, Jas itu satu-satunya barang mewah yang dia ambil saat kabur dari rumahnya, tujuh bulan silam. Dia bahkan tak pernah menyentuhnya sejak menaruh jasnya itu di lemari itu selama berbulan-bulan. Lalu dia memakai sepatu pantofelnya, dan bersiap.

Kini dia siap bergegas, bergegas ke arah kamar mandi, tanpa membuka jas mahalnya dan tanpa basa-basi dia menceburkan dirinya dalam bak mandi. Seluruh tubuhnya hingga kepala dia ceburkan ke dalam bak mandi. Demi membantu eksekusinya, dia mencoba menutup hidung dengan tangan kanannya. Semenit lebih dia mampu menahan nafasnya dalam situ. Namun tak beberapa lama, rambut birunya itu muncul ke atas permukaan.

“Aku tak bisa melakukan ini. Siaaaaal!” gerutu Biru. Sambil berdiri keluar dari bak mandi tersebut, Biru keluar dan berjalan ke arah keluar kamar mandi. Namun tak lama, dia segera kembali bersama sebuah obat nyamuk cair. Lalu dia membuka tutup botol tersebut dan berusaha untuk menengguknya. 

Namun ketika Biru mencoba menengguknya,bau obat nyamuk itu membuat nyali Biru menjadi ciut. Lelaki yang baru menginjak tiga puluh tahun ini membuang botol tersebut dan menangis di sudut kamar mandi. “Gue gak bisa melakukan hal mudah seperti ini. Lemah!” teriaknya sambil memukul-mukul kepalanya sendiri. 

Ketika dia menundukkan kepalanya, Biru menyadari sedari tadi bahwa dia tak sendiri di tempat itu. Lelaki itu mengangkat kepalanya, dan memandang sekitar. Tepat di samping pintu kamar mandi, seorang lelaki tua memandangi wajahnya sedari tadi. Wajahnya pasif, namun menghakimi. Biru terkaget dan berteriak. “SIAPA KAMU?!” tanya Biru sambil ketakutan. 

Sejujurnya, dia tak berharap lelaki itu akan menjawab pertanyaannya. Namun tatapan dingin lelaki tua itu berakhir dengan sebuah jawaban yang menggetarkan bulu kuduk Biru. “Aku penunggu disini, sudah ratusan tahun aku tinggal disini.” jawabnya singkat lalu lelaki itu tersenyum, sambil memperlihatkan gigi hitamnya. “Hihihi!” tawanya kembali menggetarkan seluruh kamar mandi. Biru sudah tak berdaya, kedua lututnya lemas, tak mampu digerakkan. Jantungnya berdegup kencang, kali ini dia berharap dirinya akan pingsan dan pergi jauh dari tempat tersebut. 

“Beratus-ratus tahun aku tinggal disini. Namun baru kali ini, aku melihat pencundang seperti kamu, Hiro. Namamu Hiro, bukan? Hihihi.” Biru terdiam mematung, mencoba menenangkan detak jantungnya pelan dan pelan. “Kau tidak tahu apa-apa tentang saya. Setan Bajingan!” seru Biru terbata-bata.

“Kenapa kau batalkan niat kamu, lemah? Kau terlalu cinta kepadanya. Wanita bernama Karmela itu telah merenggut segalanya dari kamu sejak pertama-kali kamu kenal dia. Aku tahu segalanya tentang kamu, Biru.” kata kakek tua itu diikuti tawa lengkingan tinggi. Biru mencoba mengatur nafasnya dan mencoba bangkit. "Kamu bilang apa, setan tua? Aku cinta dengan wanita murahan itu? Wahahaha!" Biru tertawa nanar. "

Wajah Lelaki tua tiba-tiba berubah membisu. "Kenapa kau tertawa, anak muda? Seharusnya kau yang harus menertawakan dirimu sendiri. Kau menyedihkan. Dan kau bahkan tidak berani mengakhiri hidupmu!" kata Pak Tua geram sambil memperlihatkan gigi hitamnya. 

"Buat apa aku melampiaskan hasrat setanmu, hey jin tua bangka! Hidupku sudah dipenuhi oleh oportunis-oportunis busuk kaya kamu. Hahaha." kata Biru. "Oportunis yang cuma bisa merengek dan menghujat sana-sini. Mencibir Pemerintah dan menghasut orang-orang untuk menunjukkan seakan-akan dirinya paling benar, padahal urus hidup dan keluarganya saja tak becus. Apa kau mau aku seperti itu, hey setan busuk!" seru Biru sarkas. "Tidak! Derajatku bila pun ku mati beberapa menit yang lalu tetap lebih baik dari mereka. Tetap lebih baik dari kau, jin hina! senyum Biru penuh dengan kemenangan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun