Mohon tunggu...
Harfei Rachman
Harfei Rachman Mohon Tunggu... Freelancer - An Un-educated Flea

Aku, pikiran yang kamu takkan bisa taklukkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Babak 1: "Abu Kelabu Pemuja Jingga yang Tengah Memudar"

26 Juli 2018   21:26 Diperbarui: 14 Agustus 2018   13:49 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya Karmela, gadis itu sering dipanggil Lala. Sejak SMP, kami selalu bersama tapi tak pernah bersama. Sejak kepindahanku ke sekolah itu, aku tak pernah menatap matanya secara dekat, apalagi berbicara. Jarak bangkuku dengannya hanya dua baris, tapi jarak pergaulanku dengannya terlampau jauh. Lala menikmati berbicara dengan teman-temannya, terutama terhadap lelaki-lelaki hidung belang pemuja wajah orientalnya.

Dalam kurun waktu selama 5 tahun masa-masaku sekolah dengannya, Lala sudah empat kali bergonta-ganti kekasih. Banyak teman-teman wanitaku yang mencibir, dan bahkan menganggapnya wanita murahan. Tapi Lala seperti mawar tak berduri, dia sudah kebal dengan gosip semacam itu. Hingga lulus SMA, selama dua bulan itu aku tak pernah dengar kabar Lala. Hingga suatu malam di malam inisiasi kampus, gadis itu kembali dan menatapku tajam dan salah satu seniorku menyuruhku untuk menemaninya jurit malam lalu..

"Lalu apa?" tanya Arnold. seorang jurnalis senior kepada Alisa, sang wartawati yang baru saja tiga bulan berkerja sama di redaksi Jejak.com. "Tidak ada terusannya, robekan kertas ini menjadi saksi bisu terakhir kali gadis itu sebelum.. tiada." jawab Alisa parau. 

Arnold mengernyitkan dahinya sambil menyetir jalan. Kali ini mobil yang ia setir, masuk ke jalur lambat. "Aku tak mengerti, ini benar-benar gila. Anak Pejabat bunuh diri di kamarnnya tanpa barang bukti satu pun. Aku masih terbayang muka-muka Polisi tersebut. Ada yang mengernyitkan dahi, dan parahnya, gadis tersebut tidak tinggal bersama kedua orang-tuanya setelah gadis itu memutuskan kuliah di kota ini."

Alisa hanya termenung dalam lamunannya, dia berpikir keras dan mencoba menjawab tabir misteri ini. "Aku tahu!" seru Alisa yang membuat Arnold terkejut dan hampir menabrakkan mobilnya dengan kendaraan lain. "Alisa, kamu gila ya?" kata Arnold. "Maaf-maaf bang." seru Alisa sambil melihat pengemudi yang melotot ke arah mereka.

"Di depan ada Kafe bagus, katanya ada Kopi Toraja yang terenak di kota ini. Mending kita kesitu, dinginin kepala. Sekalian kita bisa ngerokok. Gimana?" tanya Alisa. Arnold masih bermuka masam, dia hanya mengangguk tanda ia setuju. Ketika masuk ke dalam kafe, mereka memesan dua kopi Toraja. Arnold sesekali menghisap cerutunya, satu demi satu. Sedangkan Alisa, sambil terdiam dan memainkan batang rokoknya di jari-jemarinya sambil menatap kosong Live Music di depan mereka.

"Bang, kayaknya kita lanjutin besok senin aja. Aku punya ide." seru Alisa. "Ide apa?" tanya Arnold. "Kita harus cari data tentang laki-laki itu. Pemuda itu mungkin bisa kita cari dari database SMP-SMA hingga Kampus mereka. "Boleh juga ide kau!" seru Arnold dan kembali semangat. Namun di hati Alisa, masih banyak kerumitan dalam kasus ini, dia mencoba mencerna dengan akal sehat, mencari keping demi keping petunjuk dalam kasus ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun