TERUNTUK KEMURKAAN DAN PAGI YANG TELANJANG
Pada pagi yang telanjang, ia betulkan pikirannya usai menyoroti sendirian kisah Calon Arang. Ia duduk-duduk di atas dipan lusuh. Dengan hati yang tak lagi sama.
Mendadak ia berdiri, hingga menimbulkan derit yang mengoyak telinga. Lalu berjalan jauh ke ujung dapur tanpa perlu membuka pintu. Sebab, di kamarnya yang nyaris gelap itu tak pernah benar-benar ada daun pintu.
Di dapur ia punguti jejak-jejak ibu--yang telah lama mati, mungkin dua-tiga tahun lalu--Ia mulai mengira-ngira lakon hidup ibu. Kemudian mempraktekkannya dengan ketabahan sawah yang kerontang.
"Akan kubetulkan isi kepalaku dengan bau ibu!" tegasnya, sembari merapihkan apa saja yang berserakan dalam pandangannya.
Ia terus menerus merapihkan, membetulkan, menggosok ini-itu, dan hendak menyamai bau ibu yang tertinggal di mana-mana.
Satu-dua tiga jam, ia sibuk melulu. Masih berkutat dengan dapur dan bau ibu. Tanpa sejenak pun berhenti. Pertanda ia sungguh-sungguh akan maunya yang hampir-hampir keliru itu.
"Ibu bantu aku, serupa Calon Arang yang kukuh," rintihnya, antara mengadu atau mengaduh keluh.
Sedang angin mulai berembus masuk melalui jendela--yang entah kapan sudah terbuka lebar--Embusannya menerpa kulit pucatnya. Membikin ngeri di kepala.
"Kau kah Ibu?" Ia menghentikan kegiatannya, dan menggantinya dengan langkah yang sunyi.
Hanya ada embusan angin di sana, yang bergerak sepoi-sepoi. Memainkan anak-anak rambutnya--ia yang terus menerus berpakaian lusuh--dengan lantang.
"Calon Arang, kah?" Ia mengganti pertanyaannya dengan kemurkaan yang ditahan-tahannya. Sedang angin masih saja berembus, kali ini dengan sedikit kencang. Hingga meruntuhkan apa-apa yang telah ia susun dan benahi.