Mohon tunggu...
Hanzizar
Hanzizar Mohon Tunggu... Pengamatiran

Pengamat sosial, penulis, pembelajar yang ikut mengajar

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Benarkah Mobil Listrik Cina Murahan dan Ringkih?

25 Juli 2025   13:58 Diperbarui: 25 Juli 2025   13:58 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mobil listrik (Sumber: CNBC)

Pernahkah Anda duduk di warung kopi dan mendengar obrolan seperti ini: "Ah, mobil listrik mah cepat rusak baterainya," atau "BYD itu kan barang sisa dari Cina, kok kita malah bangga-banggain?" Kalimat-kalimat seperti ini sudah jadi langganan di grup WhatsApp keluarga hingga kolom komentar video otomotif di YouTube. 

Yang menarik, mereka yang paling lantang bicara soal ini jarang punya data konkret. Bahkan lebih jarang lagi yang pernah benar-benar mencoba. Padahal, di tengah genjatan transisi energi yang sedang digeber pemerintah, persepsi keliru seperti ini justru lebih berbahaya daripada harga listrik yang naik-turun. Mengapa? Karena opini publik terbentuk jauh sebelum mereka sempat merasakan sendiri.

Mari kita jujur, wajar kok kalau ada keraguan terhadap teknologi baru. Kita baru benar-benar kenal mobil listrik dalam beberapa tahun terakhir. Yang tidak wajar adalah ketika keraguan berubah jadi stigma tanpa dasar. Banyak yang langsung cap mobil listrik "tidak awet" atau "bakal rongsok dalam hitungan tahun." 

Tapi coba lihat data globalnya: baterai lithium iron phosphate (LFP) yang dipakai BYD mampu bertahan tiga ribu hingga empat ribu siklus pengisian. Dalam pemakaian sehari-hari, itu setara sepuluh sampai lima belas tahun masa pakai. Tesla, Hyundai, Nissan, semuanya punya rekam jejak serupa. Di Norwegia, negara yang sudah lama adopsi mobil listrik, kendaraan generasi pertama masih asyik melaju setelah ratusan ribu kilometer. Fakta ini mudah dicari, tapi entah mengapa jarang yang mau tahu.

Nah, ini dia yang paling menarik: stigma "barang Cina jelek." Sepertinya kita masih terjebak trauma 1990-an ketika produk tiruan berkualitas rendah membanjiri pasar Indonesia. Tapi tunggu, ini sudah 2025, bukan 1995. 

Cina sekarang memimpin dunia dalam teknologi baterai, panel surya, dan mobil listrik. BYD bahkan sudah menyalip Tesla dalam penjualan global di tahun 2023--2024. Ironisnya, mobil yang kita anggap "dibuang" di Cina justru laris manis diekspor ke Eropa, Amerika Latin, dan Australia. Bus listrik BYD sudah melaju di jalanan London dan Los Angeles. Teknologi baterai mereka dipakai Toyota. Pabrik mereka jadi rujukan industri dunia. Jadi, siapa yang sebenarnya ketinggalan di sini?

Masalah lain ada pada cara industri EV berkomunikasi dengan publik. Selama ini mereka terlalu asyik lempar jargon teknologi tanpa menjawab ketakutan mendasar masyarakat. Orang biasa tidak peduli mobil listrik bisa menempuh 500 kilometer kalau mereka tidak tahu apakah baterainya awet. 

Mereka tidak butuh ceramah "ramah lingkungan" kalau bingung harus servis di mana nanti. Yang dibutuhkan adalah cerita nyata: pemilik BYD yang sudah menempuh 20 ribu kilometer tanpa drama besar, sopir taksi listrik yang hemat jutaan rupiah per bulan karena biaya operasional rendah, atau perbandingan sederhana biaya perawatan mobil bensin versus EV yang bikin orang langsung "aha!".

Untuk keluar dari jebakan mitos ini, kita perlu tiga pendekatan. 

Pertama, respons kilat untuk setiap hoaks. Setiap kali muncul kabar "baterai cuma tahan tiga tahun" atau "BYD gagal di Cina," langsung bantah dengan data resmi: garansi delapan tahun, laporan Consumer Reports, angka penjualan global. Jangan biarkan kebohongan berkeliaran lebih dari 24 jam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun