Mohon tunggu...
Hanzizar
Hanzizar Mohon Tunggu... Pengamatiran

Pengamat sosial, penulis, pembelajar yang ikut mengajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjawab Fenomena Quiet Quitting, Tetaplah Menyala!

28 Mei 2025   07:57 Diperbarui: 28 Mei 2025   07:57 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fenomena di banyak tempat, quiet quitting (AI Generator)

Nenek moyang kita sudah tahu sejak dulu: urip iku urup. Hidup itu menyala.

Bukan menyala dalam arti berkoar-koar atau pamer prestasi. Tapi menyala dalam arti memberi hangat. Memberi terang. Menjadi alasan kenapa orang lain masih mau percaya bahwa kebaikan itu nyata.

Seorang guru yang menyala bukan yang selalu ceria di depan kelas, tapi yang tetap sabar mendampingi murid yang paling lambat---bahkan di hari-hari ketika ia sendiri sedang patah hati. Seorang staf administrasi yang menyala bukan yang selalu ramah, tapi yang tetap melayani dengan ikhlas---bahkan ketika gajinya telat turun. Bahkan petugas kebersihan yang bekerja dalam diam, tanpa ada yang melihat, bisa menjadi api yang menerangi sudut-sudut gelap gedung perkantoran.

Nyala bukan soal posisi. Nyala soal keputusan.

Saya tidak akan bohong dan bilang bahwa menyala itu mudah. Ada malam-malam ketika saya duduk di tepi ranjang, menatap cermin, dan bertanya pada diri sendiri: "Masih sanggup tidak besok bangun dan berpura-pura kuat?"

Ada saat-saat ketika saya merasa seperti orang bodoh yang masih menyalakan lilin di tengah angin kencang. Semua orang sudah menyerah, kenapa saya masih bertahan?

Tapi kemudian saya ingat: api yang kecil sekalipun, kalau konsisten, bisa menghangatkan seluruh ruangan. Dan mungkin, di suatu tempat, ada orang yang butuh kehangatan itu untuk bertahan satu hari lagi.

Kita sering terjebak menunggu---menunggu atasan yang lebih pengertian, menunggu sistem yang lebih adil, menunggu lingkungan yang lebih sehat. Padahal, justru di tengah kegelapan inilah cahaya sekecil apa pun jadi sangat berarti.

Menunggu atasan yang lebih pengertian? Sudah lah. Selesai saja dengan diri Anda. Atasan yang lebih pengertian itu mitos. Jangankan pengertian terhadap karyawan, karena atasan pun terlihat kebingungan waktu ambil kebijakan.

Menunggu sistem yang lebih adil? Sudah lah, realistis saja. Jangankan menunggu sistem yang lebih adil, ketika pucuk pengendali sistem itu, punya masalah yang tidak diselesaikan dan jadi aib yang digosipkan di kantor, sambil dia masih planga-plongo ngomongin teologi keren-keren dan biar terkesan dalam.

Menunggu lingkungan yang lebih sehat? Sudah lah. Jangankan menunggu lingkungan sehat, ruangan kantor meski di basement, masih tidak dikasih ventilasi. Cukupkan keluhan-keluhan ini. Karena jikalau mau komentar, banyak sekali yang menyesakkan dan bikin misuh-misuh dan bikin kita bukan lagi quiet quitting, tapi quit the job betulan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun