Mohon tunggu...
Hanzizar
Hanzizar Mohon Tunggu... Pengamatiran

Pengamat sosial, penulis, pembelajar yang ikut mengajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kenapa Negara Agama Cenderung Lebih Korup dan Tak Aman?

29 April 2025   14:00 Diperbarui: 29 April 2025   14:00 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ketenangan (Sumber: Awarenessexpanding.com)

Hidup di negeri yang tidak menjadikan keyakinan spiritual sebagai bendera utama, anehnya, justru terasa lebih damai, lebih sunyi dari gemuruh ketekutan yang absurd. Ini bukan sekadar anomali; ini adalah fakta yang membentangkan ironi telak di depan mata kita semua. 

Di negara-negara yang mengibarkan kesucian sebagai identitas politik, mengapa justru lebih banyak penderitaan yang terasa? Bukankah nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh semua kepercayaan---yang secara etimologis bermakna "tidak kacau"---seharusnya menjadi jembatan yang mengangkat manusia dari gelap ke terang, dari kacau ke harmoni? 

Namun kenyataannya getir: di negara-negara sekular yang tidak mengagung-agungkan atau mempolitisasi keyakinan, justru kehidupan berjalan lebih manusiawi, lebih bermartabat.

Sementara di negeri-negeri yang menjadikan nilai kesucian sebagai senjata politik dan simbol kekuasaan, ketakutan menjadi udara sehari-hari. Setiap langkah terasa seperti menari di atas ranjau: kapan saja, siapa saja bisa dijemput paksa, diminta "sumbangan wajib" oleh organisasi kemasyarakatan berlabel suci tapi bertangan licin. 

Lihat saja fenomena umum di negeri kita---ormas-ormas yang berkeliling dari toko ke toko, dari rumah ke rumah, meminta "kontribusi" kepada warga yang bahkan berbeda keyakinan setiap menjelang hari besar keagamaan. Dengan dalih "toleransi" dan "kerukunan", mereka memaksa orang lain untuk membayar "pajak" informal yang tak pernah jelas peruntukannya.

Pejabat-pejabat berwajah saleh, mengucapkan kata-kata suci dengan fasih, ternyata licik merampok masa depan bangsanya sendiri. Mereka bahkan tidak malu untuk menyuap penegak hukum, seolah hukum Yang Maha Kuasa bisa dibeli dengan receh dunia. 

This is crazy but real. Dan jangan lupa, negara-negara yang kini bergolak, bermandikan darah dan air mata, mayoritas mengibarkan panji kesucian di tiangnya. Ironi semacam ini bukan lagi satire; ini tragedi yang dibiarkan membusuk di tengah peradaban.

Bandingkan dengan beberapa negara Eropa yang sering dicap "ateis". Di sana, warga negara rela membayar pajak tinggi karena transparansi penggunaannya jelas---untuk pendidikan gratis berkualitas, layanan kesehatan universal, transportasi publik yang efisien, dan jaminan sosial yang menyentuh semua lapisan masyarakat. 

Tidak ada "pungutan liar" berkedok kesucian. Tidak ada pemaksaan nilai. Tidak ada diskriminasi berdasarkan identitas spiritual dalam mencari pekerjaan atau mendapatkan pelayanan publik. Kartu identitas mereka bahkan tidak mencantumkan afiliasi spiritual!

Barangkali, seperti yang pernah diucapkan oleh Lao Tzu, "Semakin banyak larangan dan aturan, semakin banyak orang miskin. Semakin banyak senjata, semakin banyak kekacauan. Semakin banyak hukum, semakin banyak pencuri dan perampok." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun