Mohon tunggu...
Haniifah sadiyah
Haniifah sadiyah Mohon Tunggu... Penulis - Hanipeehhh

Lillahi ta'ala :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senyum di Bibir Kiai Maksum

11 Maret 2022   10:49 Diperbarui: 11 Maret 2022   10:51 1970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku sampai di pekarangan rumah Kiai Maksum lima menit menjelang shalat Ashar. Kiai Maksum meenyambutku di teras rumahnya. Aku kebanyakaan menundukkan kepala saat beliau berbicara denganku. Tak lama kemudian, aku mendengar suara kaki yang menginjak lantai keramik dari dalam. Aku mengangkat kepalaku sekilas. Ternyata Annisa yang muncul dari dalam rumah membawakakan minuman untuk kami. Aku sama sekali tidak berani mengangkat mukaku saat putri semata wayang Kiai Maksum itu meletakkan minuman di atas meja di hadapanku. Aku hanya bisa melihat wajahnya yang anggun yang memantul dari kaca meja. Hatiku berdesir halus saat itu. Jantungku juga mau copot. Aku tidak memungkiri kalau Annisa memang benar-benar jelita. Sayang, untuk memilikinya rupanya masih jauh dari panggan daripada api.

"Silakan diminum, Mas!" Kata Annisa dengan menutup bibirnya di balik ujung kerudungnya. Aih! Aih! Suaranya terasa ces di hati. Lembut bagaikan tetesan salju dari petala surga. Aku jadi teringat kala pertama kali aku bertemu dengannya saat mengajar di Madin milik pesantren Tebu Ireng dulu. Matanya. Aih sungguh bening! Tatapannya sampai menusuk ke ulu hati sehingga menyebabkas bekas luka yang mendalam. Dan luka itu menyebabkan aku jatuh hati padanya.

Setelah itu, Annisa kembali masuk ke dalam rumahnya. Saat gadis itu sudah hampir sampai di gorden yang terbentang di pintu tengah, aku mengangkat mukaku sehingga aku hanya melihat kerudung hijau pupusnya yang berkelebat. Lalu gadis yang mengenakan gamis hijau itu menghilang di balik gorden. Hatiku meronta-ronta memanggil namanya. Kemudian ganti menjerit-jerit meminta belas kasih Tuhan yang telah menciptakan gadis itu.

 

"Bagaimana dengan mabitmu tiga malam terakhir ini, Fik?" Tatapan Kiai Maksum tajam bersekongkol dengan nada suaranya. "Aku harap kamu berhasil melaksanakan mabitmu dengan khusyuk dan lancar tanpa gangguan apa pun."
Aku menundukkan kepalaku. Aku menekuri nasibku. Aku meratapi takdirku. Aku sadar bahwa diriku memang tidak pantas untuk bersanding dengan Annisa. Lalu aku teringat bagaimana ketika kali pertama kami saling bertemu. Sungguh Annisa telah menawan hatiku. Aku tidak bisa melepaskan dirinya. Namun apa yang musti aku lakukan untuk mendapatkan dirinya.
"Gagal, Kiai." Aku menjawab dengan menundukkan kepala.

Kiai Maksum menghela napas panjang. Lalu sepasang matanya menatap bola mataku seakan-akan hendak mencari sesuatu di balik sana. Aku tahu bahwa Kiai Maksum tidaklah sembarangan untuk melakukan ini. Beliau memang memiliki sebuah pertimbangan yang matang untuk menikahkan putrinya dengan seorang pemuda. Termasuk ujian yang diberikannya padaku.
"Kamu itu gimana, Fik? Padahal melakukan mabit kan sangat mudah? Kenapa musti gagal?" Kiai Maksum membenamkan ujung rokoknya ke dalam mulutnya lalu menghisapnya dalam-dalam.

Kemudian, dengan penuh penyesalan aku lantas menceritakan kegagalanku saat mabit selama tiga hari berturut-turut. Sebenarnya yang menyebabkan kegagalan dalam menyelesaikan mabitku bukan karena sebuah alasan yang tidak jelas, melainkan karena berkaitan dengan hubungan antar sesama manusia agar saling tolong-menolong. Namun aku yakin apa pun alasannya, Kiai Maksum tidak akan menerima semua ini.

---

Tiga hari yang lalu aku minta izin sama ayahku untuk ikut mabit di masjid yang jaraknya hanya 20 meter dari rumah. Rumah yang berada di tengah permukiman penduduk itu biasanya ramai jika ada pengajian majelis taklim. Jamaahnya akan membeludak bahkan sampai ke pekarangannya sebab biasanya pengurus takmir mengundang kiai yang mengasuh Pesantren Tambak Beras maupun Pesantren Tebu Ireng. Ayah-ibuku juga akan hadir dalam acara pengajian itu. Namun bukan karena kiainya yang humoris melainkan karena ceramahnya yang penuh dengan nasihat-nasihat indah. Kiai itu menyampaikan nasihatnya dengan diselipi guyonan khas kiai Nahdhiyin.

"Tumben kamu ikutan mabit, Fik? Biasanya kamu selalu mengatakan sibuk dengan tugas-tugas kuliahmu dan tugas-tugas muridmu yang mesti kamu nilai," ujar Ayah menggodaku.
"Iya, Pak. Sekarang aku baru sadar bahwa urusan duniawi dengan urusan ukhrawi itu sama-sama pentingnya. Tidak boleh timpang salah satunya. Kita musti harus bekerja di dunia agar kita bisa bertahan hidup. Sebab dengan begitu kita dapat mengabdi kepada Yang Mahahidup," sahutku.

Saat ini aku masih menyelesaikan pendidikan S1-ku di Universitas Hasyim Asyari yang masih satu yayasan dengan Pesantren Tebu Ireng. Selama kuliah aku selalu mendapatkan nilai B+ setiap kali mengerjakan tugas dari dosen sehingga aku diminta oleh keluarga ndalem agar mengajar di MA. Tebu Ireng. Baik putra maupun putri. Rupanya ini adalah takdir dari Tuhan yang mempertemukan aku dengan kekasih pujaan hatiku. Sebagai seorang guru aku harus bersikap profesional. Selama memberikan pelajaran aku harus menatap ke arah siswiku. Termasuk menatap langsung wajahnya Annisa. Hal ini tentu saja berbeda dengan di luar kelas. Aku sama sekali tidak berani menatap muka gadis ayu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun