Marco Polo membuat catatan ekspedisinya di Sumatera, saat berkunjung ke Pasai tahun 1292, ketika dikuasai Raja Pasai ke-12, Sultan Abdul Jalil al-Malikul Saleh (tahun 1276-1300). Namun kisahnya yang paling menarik justru temuannya tentang "unicorn" di Pulau Sumatera atau Andalas itu. Padahal yang sebenarnya dilihat Marco Polo di Pasai adalah Dicerorhinus Sumatrensis alias Badak Sumatera.
Jumlahnya yang dulu lumayan banyak menyebabkan spesies "langka" itu masih bisa ditemukan di banyak tempat di Sumatera. Tapi seiring fragmentasi lingkungan yang terus terjadi menyebabkan populasinya kian merosot.
Nasib yang sama juga dialami oleh Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang kini masuk dalam kategori status critically endangered (sangat terancam punah). Bahkan keberadannya bercampur antara mistis dan mitos. Si macan loreng raksasa, dalam buku Sumatra: Its History and People karya Edwin M. Loeb (1935), dianggap sebagai makhluk mistis.
Sebutannya juga beragam, misalnya dalam naskah kuno Melayu, harimau disebut rimau atau datuk rimba. Jadi spesies itu tidak hanya sekadar predator, tapi juga simbol kekuatan, penjaga hutan, bahkan leluhur yang harus dihormati.
Namun semuanya kini berubah total, jika dulu mitos lokal memberi warna. Kini, posisi itu terancam bergeser---dari makhluk nyata menjadi sekadar mitos dalam sejarah.
Habitat yang Terfragmentasi
Sewaktu berkunjung ke rumah teman di Jantho, di tahun 2023 kami secara tidak sengaja melihat seekor induk harimau betina dan anaknya sedang berjemur di tengah jalan di areal transmigrasi lokal. Kejadian itu sangat langka, mengingat populasinya di Sumatera sudah sangat jarang bisa ditemukan.
Berbeda dengan dulu ketika sebaran harimau sangat luas di seluruh Sumatra, kini kenyataannya pahit. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) adalah subspesies harimau terakhir di Indonesia, setelah harimau Bali (Panthera tigris balica) punah pada 1937 dan harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) punah sekitar 1980-an.
Maka wajar jika IUCN Red List menempatkan si "datuk raja rimba" dalam status critically endangered (sangat terancam punah). Fragmentasi habitat, perburuan, serta konflik manusia-satwa menjadi penyebab utama.
Menurut data Kompas di tahun 2025, di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), kawasan konservasi terbesar di Sumatra, menyimpan sekitar 115--130 ekor harimau liar.
Ruang jelajah sebagai habitat alami harimau Sumatera sebenarnya mencakup hutan hujan tropis dataran rendah, hutan rawa gambut, dan hutan pegunungan hingga ketinggian 3.000 mdpl. Harimau jantan memiliki daerah jelajah rata-rata 150--200 km, betina sekitar 50--100 km.
Dengan semakin meluasnya area yang dialihfungsikan menjadi jalan, kebun sawit, hutan tanaman industri (HTI), hingga tambang, membuat harimau terisolasi, sulit bertemu pasangan, dan pada akhirnya menurunkan keragaman genetik. Fragmentasi menciptakan perubahan yang dramatis.
Menurut penuturan masyarakat di Jantho, menurunnya populasi harimau juga terkait dengan makin langkanya sumber makanannya, seperti rusa sambar, kijang, dan babi hutan.
Ancaman Perburuan dan Penyelamatan Sekaligus
Seperti halnya badak yang diburu karena cula, harimau diburu karena kulit, taring, dan tulangnya. Selain sebagai asesoris, hiasan yang bergengsi, bagian lain tubhu harimau masih dipakai beberapa pengobatan tradisional, terutama di pasar gelap internasional.
Larangan dari CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memperdagangkan bagian tubuh harimau, dalam praktik ilegal tetap marak, masih kalah pamor dari godaan uangnya yang menggiurkan. Satu lembar kulit harimau bisa bernilai puluhan juta rupiah di pasar gelap.
Sebenarnya upaya untuk menjaga spesiesn ini sudah sejak lama dilakukan. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah merancang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera (SRAK) sejak 2007.
Mulai dari Patroli hutan oleh RPU (Rapid Response Unit) untuk menemukan dan menghancurkan jerat. Memasang kamera jebak (camera trap) untuk memantau populasi, termasuk mengenali individu harimau lewat pola belang uniknya. Begitu juga dengan melakukan translokasi harimau yang masuk terlalu jauh ke pemukiman agar tidak dibunuh warga.
Usaha lainnya dengan membangun kemitraan masyarakat, dengan cara memberi alternatif ekonomi seperti ekowisata dan hasil hutan non-kayu agar tidak bergantung pada perambahan.
Namun yang paling menarik adalah solusi penangkaran ex-situ di beberapa kebun binatang dan pusat konservasi, walaupun masih diperdebatkan efektivitasnya.
Memilih Solusi In-Situ vs Ex-Situ
Harimau Sumatera adalah predator puncak. Hilangnya harimau dari ekosistem berarti ledakan populasi herbivora, rusaknya regenerasi hutan, dan hilangnya keseimbangan alam. Ini ancaman yang membuat kita harus berpikir keras.
Perdebatan antara solusi In-Situ vs Ex-Situ masih terjadi. Tentu saja banyak pertimbangannya. Para konservasionis masih sering memperdebatkan. Apakah fokus pada pelestarian in-situ (di habitat asli) cukup, atau perlu lebih banyak ex-situ (di luar habitat, seperti penangkaran)?
Dengan semakin kritisnya jumlah populasi harimau saat peluang jantan dan betina bertemu semakin jarang. Satu individu bisa menempati ribuan hektare. Akibatnya, ada risiko inbreeding (perkawinan sedarah) yang menurunkan kualitas genetik.
Jika kita kaji secara sederhana, pilihan solusi ex-situ, atau di luar habitat, seperti program pembiakan di kebun binatang atau pusat konservasi, memang bisa menjaga stok genetik. Tapi cara-cara yang tidak alami bisa berisiko membuat hewan menjadi sangat tergantung pada manusia. Sehingga saat dilepasliarkan kembali kemungkinan untuk bisa bertahan di alam liar menjadi rentan. Apalagi jika berkonfrontasi dengan spesies liar.
Solusi In-Situ (Pelestarian di Habitat Asli)
Meskipun solusi ex-situ menarik daripada in-situ, karena dapat membantu mengembangbiakan dengan cara yang "aman", namun juga penuh risiko. Bagaimanapun memaksa campur tangan manusia agar mereka tidak benar-benar punah tidak se-ideal yang kita harapkan hasilnya.
Kita perlu mendorong lebih intens pada masalah yang lebih substansial terlebih dahulu. Agar solusi in-situ dapat kita lakukan. Caranya dengan bagaimana mendorong pelestarian ekosistem hutan. Mengapa?. Ketika hal itu kita lakukan, sebagai solusi melindungi harimau artinya juga ikut melindungi ratusan spesies lain. Langkah ini juga mempertahankan relasi alami dalam ekosistem.
Jika ancaman habitat masih terus terjadi, pembalakan liar, ekspansi lahan, konflik manusia-satwa. Pengawasan dan penegakan hukum masih lemah di banyak wilayah. Maka upaya untuk melakukan in-situ juga akan terus mengalami gangguan.
Solusi Ex-Situ (Pelestarian di Luar Habitat Asli)
Bayangan yang mudah untuk memahaminya adalah seperti penangkaran, kebun binatang, atau pusat pembiakan.
Karena semua dilakukan dalam kontrol dan kendali kita termasuk dari gangguan alam dan manusia, maka proses ini dapat dilakukan secara ideal. Keuntungannya adalah proses pembiakan ex-situ bisa membantu meningkatkan peluang reproduksi. Pasangan jantan-betina bisa dipertemukan dengan mudah.
Dengan kontrol yang ketat, kita bahkan bisa melindungi genetik populasi. Program breeding bisa membantu menjaga keragaman genetik. Kita bisa memastikan untuk bisa melakukan pembiakan untuk jenis spesies tertentu secara lebih tepat dan terukur. Berbeda dengan di alam liar, bisa saja harimau berbeda genetiknya melakukan breeding. Sehingga menghasilkan keturunan yang bergenetik silang-tidak murni dari satu jenis spesies tertentu.
Dengan kemudahan bisa melakukan breeding secara terkontrol, kita bisa menyimpan cadangan "bibit" hariamu yang langka tersebut,s ehingga bisa membantu secabagai back-up jika cadangan populasi terjadi kepunahan liar.
Jika solusi ex-situ dipilih, terlepas dari faktor risikonya, solusi ini membutuhkan biaya tinggi dan memerlukan sumber daya besar, baik ketersediaan pakar, laboratorium yang khusus, dan berbagai prosedur pemeliharaan sebagai dukungan agar proses pembiakan berjalan lebih mudah.
Namun seperti dikemukakan para pakar, proses ex-situ dapat berakibat hilangnya perilaku alami spesies karena ketergantungan pada manusia yang meningkat.
Ketika kita memutuskan untuk melakun reintroduksi (pelepasan kembali ke alam), prosesnya juga akan lebih sulit karena mereka tidak siap menghadapi alam liar. Dan kekuatiran kita terbesar adalah, kualitas hidup hewan seringkali lebih rendah dibanding hidup di alam.
Apapun yang di proses secara "instant" dan tidak alami sering berisiko memiliki sisi lemah dibandingkan dengan pembiakan yang alami, in-situ (Pelestarian di Habitat Asli).
Jadi Mana yang Lebih Efektif Sebagai Solusi?
Merujuk pada banyak kajian ilmiah dan pengalaman di lapangan, solusi In-Situ dianggap lebih efektif dalam jangka panjang untuk konservasi harimau sumatera. Mengapa.?
Tentu saja solusi itu juga berkaitan dengan terjaganya keseimbangan ekosistem secara alami. Harimau bukan hanya spesies yang harus kita dilindungi, tetapi sebagai penjaga ekosistem hutan, keberadaannya juga menjadi penjaga struktur populasi hewan lain dan regenerasi hutan. Di poin ini, tidak bisa dicapai melalui solusi ex-situ.
Spesies hasil reintroduksi dari ex-situ sangat sulit dan berisiko ketika keluar dari penangkaran dan dilepasliarkan ke alam bebas. Risiko gagal bertahan ketika dilepas ke alam sangat besar karena kurangnya keterampilan berburu dan menghindari konflik.
Faktanya meskipun jumlahnya kecil, populasi liar yang stabil dan terlindungi secara genetik lebih kuat secara adaptif dibanding populasi hasil penangkaran.
Sebuah konservasi habitat adalah sebuah konservasi yang multispesies. Ketika kita menyelamatkan harimau dengan cara in-situ, bukan hanya menyelamatkan harimau, tapi juga menyelamatkan seluruh ekosistem hutan tropis Sumatera, termasuk spesies endemik lainnya.
Jadi solusi ex-situ bukan tidak penting, namun jika dipilih sebagai jalan keluar dalam solusi pembiakan harimau sebagai spesies yang kondisinya sangat kritis dari kepunahan hanya bisa sebagai pelengkap, bukan solusi utama.
Paling tidak, peran strategis Ex-Situ, sebagai bank genetik untuk memastikan keberagaman DNA. Cadangan populasi darurat jika populasi liar sangat kritis. Serta sarana edukasi dan kampanye konservasi ke masyarakat umum. Untuk mendukung penelitian medis dan reproduksi yang bisa diterapkan pada konservasi.
Solusi in-situ menjadi pendekatan yang paling efektif dan berkelanjutan dalam jangka panjang untuk menyelamatkan harimau sumatera. Terutama merujuk pada kekuatan pembiakan alami yang lebih mudah beradaptasi dengan alam liar.
Tapi, kombinasi strategis in-situ dan ex-situ (integrated approach) menjadi pilihan yang lebih baik mengingat berbagai masalah kritis yang sedang dihadapi spesies harimau kita yang sudah sangat kritis dari ancaman kepunahan. In-Situ sebagai tulang punggung konservasi, dan Ex-Situ sebagai dukungan genetik dan edukatif. Pemilihan solusi yang tepat bagi penyelamatan harimau menjadi semacam Hope for the Wild, ketiak inovasi teknologi atau aksi nyata kita bisa memberi harapan baru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI