Dalam kehidupan keluarga, persoalan pembagian harta warisan bisa menjadi pemicu perselisihan antar saudara, apalagi jika pewaris meninggalkan hibah-wasiat yang tidak sesuai dengan prinsip waris dalam hukum Islam. Lantas, bagaimana hukum mengatur soal ini?
Duduk Kasus
Kami empat bersaudara terdiri dari 2 perempuan dan 2 laki-laki. Ayah kami wafat pada tahun 2022. Namun, jauh sebelum wafat, tepatnya tahun 2005, beliau telah membuat akta hibah-wasiat di hadapan notaris.
Isi surat hibah-wasiat tersebut menyatakan bahwa apabila rumah beliau dijual, maka hasil penjualannya dibagi rata kepada keempat anaknya tanpa membedakan jenis kelamin.
Namun kini, kedua saudara laki-laki kami menolak isi hibah-wasiat tersebut. Mereka berkeras bahwa pembagian harus mengikuti hukum waris Islam, yaitu anak laki-laki mendapat dua bagian dibanding anak perempuan (2:1). Lalu, apakah hibah-wasiat tersebut masih sah dan bisa dijalankan? Atau harus dibatalkan demi menjalankan pembagian secara faraidh?
1. Tinjauan dari Hukum Perdata
Pasal 957 KUHPerdata menjelaskan bahwa hibah wasiat adalah suatu penetapan khusus, di mana pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu atau seluruh jenis tertentu, yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Maksud dari pasal ini adalah hibah-wasiat merupakan bentuk pemberian yang bersifat posthumous yakni berlaku setelah pewaris meninggal dan diatur secara sah melalui akta notaris.
Pasal 903 KUHPerdata menyatakan bahwa suami-istri hanya boleh menghibah-wasiatkan barang-barang dari harta kekayaan persatuan mereka sekadar barang itu menjadi bagian mereka masing-masing dalam persatuan itu. Bila yang dihibahkan bukan milik pewaris, penerima hanya berhak atas penggantiannya.
Pasal 913 KUHPerdata menyebutkan bahwa legitieme portie adalah bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap mana si pewaris tidak boleh menetapkan sesuatu baik sebagai pemberian hidup maupun wasiat.
Artinya, meskipun hibah-wasiat sah, namun jika isinya mengurangi bagian waris mutlak para ahli waris, maka dapat dimintakan pembatalan di pengadilan oleh ahli waris yang dirugikan. Namun penting dicatat, pelanggaran terhadap legitieme portie tidak membuat hibah-wasiat otomatis batal demi hukum (neitigheid), tetapi hanya dapat dibatalkan melalui permohonan hukum.