Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pemakaman Nyai Kubur

26 Agustus 2021   16:30 Diperbarui: 26 Agustus 2021   17:24 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto anjing hitam, pixabay.com

"Lailahaillallah, Lailahaillallah, Lailahaillallah" lantunan suara dzikir sayup-sayup terdengar menyelimuti jalan setapak menuju sebuah bukit kecil di ujung persawahan dekat mulut hutan pohon jati yang luas. 

Rombongan kecil itu terus bergerak membelah kesunyian malam, hawa dingin menerpa badan di cekam rasa takut yang sangat mendalam. 

Langit sebagian mendung, bulan tertutup awan, angin sesekali menggoyang ranting pepohonan di kanan kiri jalan. Suara-suara serangga serta burung-burung malam riuh berterbangan di atas kepala, seakan-seakan ikut serta dalam rombongan penguburan.

Sejatinya tak ada satu pun warga yang berani melewati jalan tanah setapak ini apalagi pada malam hari sebab menjadi jalur jalan ular-ular berbisa. 

Beberapa warga Dusun Meranti yang berada dalam rombongan pengantar jenazah tersebut tak ada yang berani berbicara satu sama lain. 

Tak ada ketakutan yang begitu sangat meneror mereka selain malam ini, mereka paham betul siapa sebenarnya jenazah yang sedang mereka bawa menuju bukit kecil untuk segera di kubur.

Di depan dua orang dengan lampu senter besar menerangi jalan, di bagian tengah empat orang memanggul keranda mayat di ikuti tiga orang di belakangnya yang seluruhnya para lelaki warga dusun Meranti.

Pak Sastro selaku kepala warga dan mbah Jiwo yang di kenal sebagai dokter pengobatan alternatif yang terkenal di dusun itu ikut serta dalam rombongan tersebut termasuk Ustadz Deden yang sedari tadi mengomandoi para pengusung keranda untuk tidak berhenti berdzikir sebelum sampai di tempat tujuan.

Ini adalah kesepakatan bersama para warga untuk memakamkan jenazah Nyai Kubur di sebuah bukit kecil di ujung persawahan yang jauh dari tempat tinggal mereka.

"Pokoknya saya nggak mau kalo Nyai Kubur di kuburkan di pemakaman warga" sahut salah seorang warga bernama Tio.

"Iya betul, nanti semua orang pasti takut bila hendak ziarah ke makam sanak saudaranya, mengingat Nyai Kubur matinya tidak wajar dan ia juga orang yang sangat aneh semasa hidupnya" bang Jamal pun ikut bersuara.

"Dengar-dengar ia mempunyai ilmu hitam, ia bisa saja bangkit dari kubur lalu meneror seluruh warga di sini" sambung Kang Dadang.

"Tetapi hendak di kuburkan di mana, bagaimanapun ia adalah warga kita, orang tuanya sangat berjasa terhadap kampung ini" sahut pak Sastro.

"Bagaimana bila Nyai kita kuburkan di bukit di ujung persawahan dekat hutan." kata mbah Jiwo sambil dahinya mengkerut seakan memikirkan sesuatu.

Seluruh warga diam, mereka saling melihat satu sama lain namun tak ada satu pun yang bersuara baik laki-laki atau pun perempuan.

**********

"Ingatlah Siti, balas dendam itu dilarang oleh ajaran agama mana pun terlebih lagi oleh ajaran kita, kamu harus sadar akibatnya sebelum kamu nekat dan berbuat kejam".

"Aku tak perduli, ia telah menyakti hatiku, ia telah merusak hidupku, ia yang menyebabkan aku berpikiran sejahat ini "

"Kamu yang tanggung akibatnya Siti, aku tak mau ikut terlibat "

" Ahh, sudah pasti aku yang akan menanggung semua ini, kamu dukun kok bodoh, penakut, sial kamu " umpat Siti merasa kesal kepada seorang dukun santet yang di temuinya hari itu.

"Baiklah kalau begitu, namun aku ingin terima dulu bayaranku, sebesar yang kita sepakati kemarin "

Siti mengambil sebuah tas berwarna coklat lalu membuka tas tersebut dan menaruhnya tepat di depan lelaki yang tengah duduk bersila tersebut. 

Lelaki itu mengenakan jubah dan peci hitam, kumis dan jenggotnya lebat hampir menutupi sebagian wajahnya.

"Ingat, apa yang kau inginkan ini akan mencelakai dirimu sendiri serta orang lain, sekarang pulanglah dan jangan lagi kamu datang ke tempat ini".

" Dan aku sarankan kamu untuk bersemedi di tengah hutan jati selama empat puluh hari empat puluh malam".

***********

"Bagaimana ibu-ibu apakah sudah selesai di mandikan" tanya pak Sastro.

"Sudah pak, tapi jenazahnya tak kuat kami angkat, berat sekali pak "

"Loh tadi kan bisa, Astagfirullah, matanya kenapa masih terbuka, tidak bisa di tutup memangnya, tolong bapak-bapak bantu angkat jenazah ini "

Pak Sastro pun meminta bantuan kepada warga untuk mengangkat jenazah Nyai agar segera di letakkan dalam keranda mayat. 

Ia pun kemudian mengambil sehelai sapu tangan miliknya untuk menutupi mata Nyai yang masih terbuka.

Nyai Kubur di temukan tergeletak mati di kamarnya dengan leher hampir terputus namun tak ada satu pun bekas sayatan benda tajam yang melukai lehernya tersebut. 

Tubuhnya masih utuh lengkap dengan baju yang di kenakannya, anehnya ada seekor anjing hitam tergeletak mati di samping tubuh Nyai padahal semasa hidupnya ia dan keluarganya tak pernah memelihara anjing. 

Entah kapan Nyai meninggal tak ada yang tahu persis sedangkan perihal kematian ini di ketahui karena ada laporan beberapa warga kerap mencium bau busuk apabila melewati rumahnya.

Hingga akhirnya warga memberanikan diri untuk membuka paksa rumah tersebut di dampingi oleh aparat desa setempat, hingga menemukan Nyai tergeletak di dalam kamarnya yang penuh bau menyan.

Pak Sastro tidak ingin berita ini sampai kepada pihak kepolisian takut nanti akan berbelit-belit lagian semua warga sudah tahu siapa Nyai, sejak ia di jadikan "mainan" oleh seorang Lurah kehidupannya semakin tak karuan bahkan ia senang sekali tidur di kuburan, semedi dan berbicara sendirian. 

Maka sejak itu ia di sebut Nyai Kubur. 

" Baiklah tidak ada waktu lagi sebelum larut malam kita harus sampai di tempat penguburannya, mengingat perjalanan menuju ke sana lumayan jauh dan rawan".

*******

Rombongan kecil itu pun hampir tiba di lokasi, suasana semakin gelap, jalan semakin menyempit di karenakan penuh rerimbunan alang-alang. 

Cahaya-cahaya lampu hanya bersumber dari beberapa senter yang di bawa warga dan satu lampu petromak yang di bawa pak Kirun.

Persis di pintu masuk jalan perbukitan nampak pak Kirun dan tiga warga lainnya yaitu Omang, Dodo dan Tarlim sedang duduk di sebuah batu besar menunggu rombongan pembawa jenazah datang. 

Sudah dari sore mereka di bukit tersebut untuk menggali kubur, terlihat sekali ketakutan di wajah mereka, keringat menderas bercampur tanah di baju. Mereka di tugaskan oleh pas Sastro dari sebelum maghrib untuk menggali tanah kuburan bagi Nyai.  

Memasuki jalan menanjak angin bertiup kencang dan anehnya tak terdengar lagi suara-suara burung malam yang sedari tadi riuh bersahutan ikut dalam perjalanan. Tiba-tiba terdengar suara anjing lirih melengking terdengar persis dari dalam hutan.

" Pak Kirun cepat mana tunjukan galian yang tadi kalian buat." teriak mbah Jiwo.

Pak Kirun pun memberi tahu di mana lubang galian tersebut tetapi sesampainya di sana lubang tersebut di temukan, ia pun bingung ke sana kemari mencari.

" Kamu benar di sini galiannya, kok tidak ada?" sahut Ustadz Deden.

" Betul tad, saya masih ingat, kami yang gali persis di sini"

Pak Sastro kemudian memerintahkan untuk berhenti dan menurunkan keranda mayat lalu membantu team penggali kubur mencari di mana lubang galian tersebut.

Setelah mengitari perbukitan tak di temukan pula lubang galian tersebut, semua warga mengeluh capek juga merasa sangat ketakutan bahkan Dodo dan Tarlim nekat pulang sebelum Nyai di kuburkan.

Tiba-tiba angin kencang datang dari arah hutan, membuat seluruhpepohonan jati bergoncang hingga daun-daunnya berterbangan. Cahaya lampu senter dan petromak seketika mati, bau amis darah lamat-lamat menusuk ke hidung. 

Samar-samar persis di pintu jalan menuju ke hutan nampak bayangan-bayangan hitam menghampiri para rombongan dan sekelompok anjing hitam menatap dengan mata merah menyala kepada mereka, garang hendak menerkam, air liurnya penuh menetes dari kedua mulutnya. Taring-taringnya yang tajam nampak menyeringai di bawah samar cahaya bulan.

**************

" Ya Allah, pak Eeeeeeee." teriak bu Sastro saat tengah malam membuka pintu rumahnya dan di dapati tubuh suaminya tergeletak bersimbah darah penuh cakar serta gigitan binatang buas. 

Dan pada malam tersebut di dusun itu tersebut pecah jerit dan tangisan para perempuan sebab di dapatinya para lelaki yang tadi mengantarkan jenazah Nyai Kubur satu persatu mengalami kejadian yang persis sama apa yang di alami oleh Pak Sastro. 

Mereka tergeletak tak bernyawa bersimbah darah di depan pintu rumahnya masing-masing. Penuh luka-luka di tubuhnya.

Handy Pranowo

26082021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun