Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Wajah Luka Ibukota

24 Februari 2019   04:01 Diperbarui: 24 Februari 2019   04:03 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Daun daun rumah kaca akarnya menjalar lewati jendela yang terbuka, menghisap racun ibukota, menghisap udara penuh warna. Sampah-sampah pabrik mengalir gatal di kulit, bedeng-bedeng kumuh penuh sesak berisikan penyakit, embun-embun pagi batuk darah, burung-burung pergi entah kemana, bau menyengat bangkai tikus, bau menyengat terasa ke dalam mulut.

Ulat-ulat enggan menjadi kepompong, kupu-kupu tak lagi bersayap. Kecoa-kecoa terbang santai memenuhi segala ruang, belatung-belatung jadi santapan masa depan. Duhai pawang hujan, pawang banjir, pawang kemacetan, kotaku kian tak tertahan terbawa arus peradaban jaman. Tak sempat berpikir untuk berhenti atau istirahat tubuhnya di paksa menampung beban-beban berat.

Sungai-sungai kotor tersumbat pikiran-pikiran yang tak paham reaksi alam. Air menggenang, sampah menumpuk, lumpur hitam bagai lapis kotoran tak habis-habisnya di keruk. Kesadaran masyarakat tak pernah di pupuk demi menjaga lingkungan, di sekolah dasar tak di ajarkan, di perguruan tinggi ya cuma sekedar mencari ijazah tuk pekerjaan. Ini kota kalian, tempat kalian istirahat, tempat kalian cari makan setidaknya sedikit perduli tak ada salah bagi kelangsungan hidupnya.

Lihatlah di jalan-jalan kota orang-orang bertaruh nyawa mati sia-sia. Rambu-rambu lalu lintas bagai hiasan bukan aturan. Sedikit yang mentaati selebihnya bagai orang-orang tak yang tak punya akal dan tak berbudi. Di jalan-jalan marah, salip kanan serobot kiri, adu jotos, unjuk gigi. Macet, polusi, wajah ibukota terus di lindas tak ada harga diri.

Oh trotoar-trotoar yang telah alih fungsi, pedagang-pedagang kaki lima bunga-bunga yang tak pernah mati, oh motor-motor yang sok gagah berani, oh mobil-mobil dengan sirene yang katanya pejabat tinggi, mengisi ruang wajah ibukota yang kian terluka. Lalu hotel-hotel di bangun, apartement-apartement di bangun, entah untuk siapa sedang aku yang lahir dan besar tinggal di sini semakin ke belakang menyingkir.

Wahai ibukota yang telah lama membesarkanku, kini waktunya kita berpisah. 

Handy Pranowo

Parung 240219

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun