Sehingga informasi yang dicari adalah informasi yang sifatnya mengkonfirmasi sesuai dengan jalan pikirannya. Bertemunya antara rasa benci dengan berita yang dipelintir di media sosial bagaikan ruas ketemu buku.
Kemudian perasaan berada dalam suatu kelompok yang mempunyai pendapat sama seolah-olah telah menemukan kebenaran atas dugaan-dugaan negatif yang sudah mengakar selama ini.Â
Eksistensi dalam kelompok menimbulkan percaya diri dan menambah semangat serta kekuatan untuk melampiaskan rasa benci yang terpendam.Â
Kelompok pertama ini tidak terbatas kepada masyarakat awam, mereka bisa jadi para pakar, akademisi, pensiunan pejabat baik sipil militer, pegawai, buruh, advokat, swasta, dan lain sebagainya dalam beragam profesi dan berbagai strata.Â
Ciri dari gerakan mereka adalah mengusung kelemahan atau kekurangan suatu isu tanpa perlu melihat secara keseluruhan, bahkan cenderung membesar-besarkan masalah.Â
Untuk melampiaskan kebencian yang sudah ada dalam dirinya, kalau diperlukan ditambahkan dengan informasi berita bohong (hoaks) untuk membuat dampak lebih besar dan luas.Â
Prinsip "bad news is good news" merupakan pegangan kuat dari kelompok ini. Mereka dengan suka rela bersedia menjadi "buzzer" gratis untuk menyuarakan konten-konten yang diyakininya adalah kebenaran.
Kelompok ini mempunyai populasi yang cukup besar untuk bisa membuat keresahan. Pengikut-pengikutnya militan karena "di-brain wash" dengan "jargon-jargon" dan "labelling" oleh agitator dan provokator yang lihai.Â
Isu-isu yang rumit bisa dijelaskan oleh provokator dengan alasan yang masuk akal secara sederhana dengan arti seperti apa yang diinginkannya.Â
Pihak penerima informasi tidak sadar telah disesatkan, bahkan sangat percaya bahwa mereka sedang memperjuangkan kebenaran.
Korban luka bahkan meninggal dalam unjuk rasa yang chaos biasanya adalah pengikut yang seperti ini, yang kadang-kadang tidak tau makna apa yang diperjuangkannya. Mereka militan, berani mati karena mereka percaya dengan agitasi dan provokasi pemimpin-pemimpin mereka.