Mohon tunggu...
Hamim Fauzi
Hamim Fauzi Mohon Tunggu... Mahasiswa universitas nahdlatul ulama indonesia

Mahasiswa universitas nahdlatul ulama indonesia fakultas hukum prodi ilmu hukum

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Refleksi Dua Dunia: George H. Smith dan Ibnu Khaldun dalam Membingkai Negara Ideal

31 Desember 2024   15:51 Diperbarui: 31 Desember 2024   15:51 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Konsep negara bukan hanya tentang batas wilayah atau kekuasaan politik, tetapi juga tentang bagaimana sebuah bangsa diatur dan dirawat. Dari Barat hingga dunia Islam, pemikir besar telah menawarkan pandangannya yang unik. George H. Smith dan Ibnu Khaldun, dua tokoh dari tradisi yang berbeda, memberikan perspektif yang menarik untuk dipahami, terutama dalam konteks Indonesia. Bagaimana kita dapat memadukan pemikiran mereka untuk membangun negara yang kokoh dan adil?

George H. Smith: Negara Sebagai Pelayan Hukum

Dalam teori negara yang ditawarkan oleh George H. Smith, supremasi hukum menjadi landasan utama. Negara, menurutnya, bukanlah alat kekuasaan semata, tetapi instrumen untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan. Smith menolak absolutisme kekuasaan dan menegaskan bahwa hukum harus rasional dan netral, bebas dari intervensi moralitas subjektif atau kepentingan politik.

Gagasan Smith relevan dalam konteks negara modern seperti Indonesia. Sebagai negara demokratis yang mendasarkan diri pada konstitusi, supremasi hukum adalah pilar utama. Namun, dalam praktiknya, tantangan besar seperti korupsi, nepotisme, dan ketidakadilan struktural masih menguji komitmen kita pada prinsip ini. Pandangan Smith mengingatkan bahwa tanpa hukum yang kuat dan transparansi, negara akan mudah terjebak dalam otoritarianisme terselubung.

Ibnu Khaldun: Negara dan Jiwa Sosial

Sebaliknya, Ibnu Khaldun menawarkan perspektif yang lebih sosiologis melalui karyanya, Muqaddimah. Baginya, negara adalah entitas yang hidup, tumbuh, dan bertransformasi. Konsep asabiyah atau solidaritas sosial adalah inti dari stabilitas negara. Tanpa solidaritas, negara mudah runtuh meskipun memiliki hukum yang sempurna.

Pandangan ini menyoroti pentingnya hubungan sosial antara penguasa dan rakyat. Kepemimpinan yang adil dan kepercayaan masyarakat menjadi modal utama sebuah negara untuk bertahan menghadapi tantangan. Dalam konteks Indonesia, asabiyah relevan untuk menjawab masalah disintegrasi sosial, polarisasi politik, dan ketimpangan ekonomi yang semakin akut.

Menyelaraskan Hukum dan Solidaritas

Smith dan Ibnu Khaldun mungkin berasal dari tradisi pemikiran yang berbeda, tetapi keduanya sepakat bahwa legitimasi kekuasaan adalah kunci keberlanjutan negara. Smith melihat legitimasi melalui supremasi hukum, sementara Ibnu Khaldun menekankan pentingnya legitimasi sosial. Perbedaan ini bukanlah penghalang, melainkan peluang untuk saling melengkapi.

Dalam konteks Indonesia, kedua pandangan ini dapat dijadikan pedoman. Supremasi hukum harus ditegakkan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, sementara solidaritas sosial harus dipupuk untuk menjaga persatuan di tengah keberagaman. Hanya dengan kombinasi keduanya, Indonesia dapat menjadi negara yang tidak hanya kuat secara struktural, tetapi juga harmonis secara sosial.

Pelajaran untuk Masa Depan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun