Ada satu peristwa yang menarik saat saya mengadakan lomba permainan tradisional dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2023 yang lalu. Saat anak-anak asyik lain mengikuti berbagai kegiatan permainan lomba tradisonal, ada satu anak yang berdiam diri, memegang erat tangan saya, dan bersembunyi sambil mengintip-ngintip di belakang lenganku. Karena penasaran, akhirnya pun saya bertanya pada anak tersebut.
"Mas Echy, kenapa? Kok nggak ikutan main?"
"Enggak, Kak" jawab Echy anak yang baru berusia sekitar dua tahunan.
"Apa ada teman yang nakal?"
"Bukan."
"Lalu, apa dong?"
"Echy takut, Kak"
"Takut sama siapa?"
"Apa ada teman yang tidak mengijinkanmu ikut bermain?"
"Itu Kak." jawabnya sambil menunjukkan tangan mengarah ke sebuah balon.
"Kamu takut balon?
"Iya, Kak"
Setelah mengetahui hal itu, saya langsung menatap wajahnya dan memeluknya. Sesekali mencoba mendekatkan balon padanya tetapi Echy justru memelukku dengan sangat erat dan menjerit ketakutan.
Akhirnya, saya mencoba bertanya pada ibunya, ternyata anak itu pernah mengalami kejadian meletusnya balon saat bermain dengan kakaknya, sehingga dia trauma dengan suara letusan balon. Setelah kejadian itu, kalau melihat balon dari jauh saja sudah memeluk ibunya, kalau balonnya didekatkan malah menangis dan teriak-teriak.Â
Dari sini kita menjadi tahu bahwa anak ini mengalami glophobia (istilah untuk orang yang takut balon) semasa bermain besama kakaknya. Lalu kenapa glophobia ini bisa terjadi?
Glophobia biasanya terjadi karena sebuah kejadian yang sangat mengejutkan, atau menimbulkan ledakan emosi yang berlebihan, seperti rasa takut yang akut misalnya.
Selain itu dalam tahap perkembangan anak, usia dua tahunan merupakan masa-masa dimana anak cenderung memiliki rasa takut yang tidak masuk akal, sebab pengalaman anak terhadap peristiwa yang ada di sekelilingnya belum mencapai kematangan berpikir.Â
Mengapa bisa demikian?Â
ebelumnya kita perlu tahu bagaimana pikiran seorang anak bekerja. Misalnya, saya masih ingat betul saat sedang berada di bangku sekolah, tiba-tiba tanpa persiapan apapun, saya dipanggil oleh guru bahasa Indonesia untuk maju ke depan kelas. Apa yang saya rasakan saat itu? Terkejut, keringat bercucuran dan perasaan takut salah.
Dari situ saya selalu ingat momen-momen tersebut yang seringkali peristiwa tersebut jadi cerita-cerita lucu antar teman di setiap kali berjumpa.
Dari ilustrasi tersebut, secara sekilas menjelaskan bagaimana cara kerja pikiran anak merekam sebuah informasi. Pikiran anak mampu "merekam" dan "mengunci" informasi yang masuk secara ekstrim, yaitu yang terlebih dahulu mengalami lonjakan emosi atau terkejut. Hasil "rekaman" momen dan "kuncian" perasaan yang terjadi itu, akan kembali "diputar ulang" ketika ada kejadian atau hal-hal serupa kembali terjadi.
Secara sederhana, kita dapat simpulkan bahwa ketika anak sangat emosional, atau sangat terkejut, maka apapun yang dilihat, didengar, dan dirasakan, akan mengalir seperti air bah, masuk ke pikiran bawah sadar anak. Secara refleks pikiran bawah sadar akan mengeluarkan jejak rekaman peristiwa dan perasaan tersebut kembali ketika anak berada pada situasi atau peristiwa yang serupa. Inilah konsep terjadinya trauma pada diri anak.Â
Lantas apakah glophobia semacam ini bisa disembuhkan? Glophobia merupakan sebuah trauma yang sifatnya wajar dan natural, sehingga bisa disembuhkan. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan cara yang tepat, yaitu tidak menakut-nakuti anak, tidak mengancam dengan hal yang dia takuti, tetapi tetap dengan pendekatan seorang anak, yakni bermain. Tujuannya adalah agar anak tumbuh menjadi peibadi yang merasa secure terhadap lingkungannya dan lebih tangguh menghadapi ancaman yang datang dari lingkungannya.
Berikut cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi glophobia dengan pendekatan bermain.
Pertama, bisa kita mulai dengan memainkan balon yang masih kempes. Ajak anak bermain dengan balon kempes tersebut. Berilah kesempatan pada anak untuk sekedar memegang balon kempes dahulu serta berilah pengertian dalam pikiran bawah sadar anak bahwa balon bukanlah benda yang berbahaya dan bisa menciderainya selagi itu bukan balon gas. Selanjutnya berdayakan akal anak untuk menyaksikan kenyataan bahwa tidak semua balon akan Meletus.
Kedua, tiuplah balon di depan anak dengan berisi sedikit udara dan ajaklah anak berdiskusi untuk membuat percobaan bersama-sama. Lepaskan balon (berisi sedikit udara) tersebut, biarkan balon terlempar sedikit.
Selanjutnya bersama-sama melakukan percobaan kalau balon (yang berisi sedikit udara) itu, ditusuk dengan jarum. Ia akan pecah dengan suara yang kecil. Lakukan ini berulang-ulang hingga anak berani mencoba meniup dan menusuk balon tersebut dengan jarum.
Ketiga, setelah anak mulai terbiasa, tambahkan kembali intensitasnya, dengan udara sedikit lebih banyak. Lakukan kembali seperti yang sebelumnya dilakukan.
Begitu seterusnya hingga anak dapat meniup balon dengan ukuran besar. Selanjutnya, cobalah untuk menusuknya kembali dengan jarum bersama-sama dan beri tahu anak agar menutup bagian telinga untuk meredam suara balon yang meletus. Selain itu juga agar anak menjadi tahu saat ada peristiwa yang sama ia akan mengetahui apa yang akan dilakukan.
Keempat, berilah apresiasi saat anak berhasil mencoba dan ceritakan dari buku yang mengandung gambar balon, ceritakan betapa senangnya saat mendapatkan sebuah balon. Sehingga dengan apresiasi ini, selain anak akan merasa senang karena berhasil melampaui ketakutannya juga merasa bangga.
Kelima, yang perlu diperhatikan adalah bersabarlah saat bermain, karena jika terburu-buru, justru tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, yaitu justru traumanya terhadap balon tersebut akan dirasakan kembali dan ketakutannya akan muncul.
Jika ini terjadi, maka prosesnya harus kita mulai lagi, dan mungkin akan sedikit lebih sulit untuk membujuk anak untuk mau melakukannya kembali sebab memori anak mengulang kembali atau ingat terhadap apa yang akan dilaluinya pernah mengalami kecelakaan kecil.
Dari sini, maka kita menjadi tahu bahwa cara terbaik melawan takut atau menumbuhkan keberanian dalam diri seorang anak adalah dengan memberikan tantangan.
Jika anak berhasil melampaui tantangan maka anak akan mendapatkan kebanggaan (rasa puas) tersendiri dan jika tidak berhasil maka tugas orang tua selanjutnya adalah bersama-sama kembali untuk mencobanya hingga bisa.
Dari keberhasilannya melampaui rasa takut inilah, anak juga akan terbiasa untuk berhasil melampaui berbagi persoalan hidup di masa mendatangnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI