Mohon tunggu...
Fathul Hamdani
Fathul Hamdani Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Tak penting dimana kita terhenti, namun berikanlah penutup/akhir yang indah

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Kasus Ferdian Paleka Bukan Hanya Persoalan Keadilan

16 Mei 2020   18:43 Diperbarui: 19 Mei 2020   15:22 2435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
YouTuber Ferdian Paleka saat berada di Mapolrestabes Bandung, Jumat (8/5/2020).(KOMPAS.com/ AGIE PERMADI)

Belakangan ini sedang viral kasus terkait prank sembako berisi sampah dan batu bata kepada para Waria yang dilakukan oleh seorang youtuber bernama Ferdian Paleka bersama dua teman lainnya dan juga kasus perundungan yang ia alami di dalam Rutan. 

Beberapa pendapat dan opini kemudian bermunculan baik yang melihat dari sudut pandang hukum, sosial masyarakat maupun sudut pandang lainnya. Dalam tulisan ini penulis bermaksud untuk membahas kasus yang terjadi dan berupaya untuk memberikan pandangan dari beberapa aspek atau sudut pandang. 

Dalam tulisan ini penulis tidak bermaksud untuk membenarkan perbuatan yang dilakukan oleh Ferdian Paleka maupun perundungan yang ia alami, namun dalam hal ini penulis berupaya untuk mengkaji terkait Causes Zero (penyebab awal atau penyebab mendasar) mengapa hal tersebut bisa terjadi yakni dengan melihat dari beberapa aspek, yaitu bagaimana norma dalam kehidupan masyarakat itu bekerja, serta telaah atas budaya penjara. 

Kemudian penulis juga berupaya untuk membahas terkait bagaimana seharusnya perlindungan terhadap hak asasi tersangka yang dalam hal ini adalah Ferdian Paleka.

A. Bagaimana norma itu bekerja dalam kehidupan masyarakat

"Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai", setidaknya itulah pepatah lama yang langsung terlintas di benak saya ketika melihat video perundungan Ferdian Paleka bersama dua kawan lainnya di dalam rutan atas kasus candaan atau prank sembako berisi sampah dan batu bata kepada para Waria pada Jumat (1/5/2020). 

Namun menarik untuk dikaji terkait mengapa perundungan tersebut bisa terjadi dan bagaimana penegakan hukum Ferdian Paleka atas kasus yang dialaminya.

Manusia sebagai mahluk sosial membutuhkan norma dalam memenuhi kepentingan masing-masing. Utrecht menyatakan norma adalah himpunan petunjuk hidup, untuk memelihara kepentingan anggota masyarakat, dibuat petunjuk hidup, agar terciptanya ketertiban (Utrecht, 1983: 3). 

Maka dalam kehidupan bermasyarakat dibutuhkan norma-norma untuk memelihara kerukunan dan ketertiban satu dengan yang lainnya, baik itu norma social, norma hukum, norma agama, norma kesusilaan maupun norma lainnya.

Pelanggaran terhadap norma-norma tersebut yang kemudian melahirkan sanksi, sanksi tersebut bentuknya bisa bermacam-macam, misalnya sanksi sosial, maupun sanksi hukum.

Dalam kasus ini, setidaknya apa yang dilakukan oleh Ferdian Paleka bersama dua teman lainnya telah melanggar norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat itu sendiri, yakni norma kesusilaan maupun norma sosial. 

Lantas apakah perlakuan serupa yang didapatkan oleh Ferdian Paleka di dalam rutan oleh para napi lainnya merupakan sebuah keadilan? Rasanya masih terlalu jauh untuk membahas keadilan. Maka untuk sampai kepada pembahasan mengenai keadilan, kita perlu kembali kepada dasarnya yakni terkait bagaimana norma tersebut bekerja dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam masyarakat terdapat berbagai latar belakang, serta berbagai macam karakter masyarakat, karena iu dalam masyarakat terdapat petunjuk hidup baik yang berasal dari agama, kesusilaan, sosial, atau hukum. Perbedaannya terletak kepada sumber dan tujuan masing-masing. 

Norma agama berasal dari Tuhan agar manusia menjadi insan kamil (manusia yang sempurna). Begitu juga norma kesusilaan merupakan aturan sosial yang mengatur mengenai tentang cara manusia berperilaku yang secara umum bersumber dari hati nurani manusia. 

Oleh karena itu, tanpa memandang latar belakang dari masyarakat tersebut, ia harus diperlakukan secara sama atas dasar kemanusiaan walaupun dalam hal ini para waria sekalipun. 

Para waria yang menjadi korban prank Ferdian Paleka tersebut juga merupakan mahluk Tuhan dan mahluk sosial yang harus di hargai dan dihormati, maka apapun tujuan dari prank tersebut, walaupun untuk membuat para waria tersebut berhenti dan jera dari rutinitas dan aktivitasnya, seharusnya dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan bukan dengan melakukan prank dan mencari keuntungan dari konten yang dibuat sehingga malah menyakiti hati nurani mereka.

Lantas apakah perlakuan yang didapatkan oleh Ferdian Paleka di dalam rutan merupakan suatu hal yang pantas atas apa yang sebelumnya pernah dibuat? 

Untuk mengatakan pantas atau tidak, ini tentunya bisa menjadi penilaian subyektif setiap orang. Namun sebelum itu, yang patut untuk dicermati adalah terkait kepantasan atas setiap perbuatan yang dilakukan maupun yang dialami oleh Ferdian Paleka, sehingga dalam hal ini penulis ingin mempertegas kembali bahwa penulis tidak bermaksud untuk mengamini perundungan yang dialami Ferdian Paleka maupun Prank yang ia lakukan kepada Waria tersebut.

Untuk dapat mengatakan bahwa perundungan yang dialami Ferdian Paleka di dalam rutan merupakan suatu hal yang pantas atau tidak, kita mungkin bisa membuat suatu perbandingan. 

Sebagai contoh, sepasang kekasih diarak dan ditelanjangi di depan umum karena telah melakukan perzinahan, atas perbuatan yang mereka lakukan dan telah melanggar norma agama, norma kesusilaan maupun norma yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. 

Maka mereka kemudian diberikan sanksi sosial menurut aturan dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri, sanksi tersebut terbentuk atas kesepakatan bersama di dalam suatu masyarakat, begitupun dengan suatu kasus dimana seseorang dipotong tangannya karena terbukti melakukan suatu pencurian. 

Dalam kasus di atas sanksi tersebut cenderung bersifat ajek namun dapat juga berubah atas kesepakatan bersama sesuai perkembangan dalam kehidupan masyarakat tersebut. Ketika hal tersebut menjadi sebuah kesepakatan di dalam suatu masyarakat, maka ketika ada yang melanggar, ia harus siap dengan sanksi yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. 

Terkait begaimana sanksi itu dijatuhkan, sanksi tersebut adalah legal dan dibenarkan oleh masyarakat di tempat tersebut, dan tentu saja mereka yang memberikan sanksi mengetahui kesalahan yang telah diperbuat.

Oleh karena itu, bagaimana dengan kasus perudungan yang dialami Ferdian Paleka? Kita tidak dapat mengatakan bahwa perundungan yang dialami oleh Ferdian Paleka merupakan sanksi yang dibuat atas dasar legitimasi dan kesepakatan suatu mayarakat dalam penjara tersebut, sehingga perundungan yang dilakukan oleh para narapidana tersebut tidak lain didasarkan atas prilaku atau kebiasaan yang tidak memiliki legitimasi. 

Apakah perundungan tersebut terjadi memang karena napi yang lain tahu apa kesalahan Ferdian Paleka? Atau apakah semua napi yang melakukan perundungan tersebut karena murni atas kesalahan yang dilakukan Ferdian Paleka dan bukan karena provokasi napi yang satu dengan yang lainnya?

Oleh karena itu perundungan terhadap Ferdian Paleka sejatinya bukan hanya persoalan keadilan, namun juga realitas kebiasaan yang terjadi dalam penjara itu sendiri, yang perlu kita ketahui yakni bagaimana kebiasaan-kebiasaan narapidana yang satu dengan yang lainnya, katakanlah antara narapidana senior (yang sudah lama di penjara dan memiliki kekuasaan mendominasi) dengan narapidana junior (yang baru masuk sel tahanan).

Terkait bagaimana pengawasan internal itu terjadi, dari sudut pandang awam bahwa tidak dapat kita pungkiri persoalan yang sering kita dengar sebagai "authority dominated" atau kekuasaan yang mendominasi, dari narapidana senior terhadap narapidana junior. Hal tersebut terkadang di luar kontrol dari lembaga pengawas penegak hukum terkait kuantitas yang tidak berimbang antara narapidana dan petugas di dalam suatu Rutan maupun Lapas. 

Namun terkait bagaimana kekuasaan itu terjadi antara napi yang satu dengan napi yang lainnya baik di dalam Rutan maupun Lapas, bahwa perundungan bisa saja terjadi.

Persoalannya bukan untuk membenarkan atau menyalahkan. Melainkan melihat kenyataan atau kondisi yang memang terjadi dalam Rutan maupun Lapas yakni bagaimana kekuasaan di dominasi oleh napi senior yang melakukan perundungan terhadap napi junior.

Kemudian beberapa pendapat mengatakan bahwa seharusnya dalam hal ini kita menjunjung asas praduga tidak bersalah, hukum pada dasarnya memanusiakan manusia dan biarlah keadilan ia dapatkan di persidangan, dan berbagai macam pendapat lainnya.

Dalam hal ini yang di duga melakukan perundungan kepada Ferdian Paleka adalah narapidana yang berada dalam lapas itu sendiri, maka yang harus ditanyakan adalah apakah mereka memahami apa itu asas praduga tidak bersalah? Apakah mereka memahami terkait keadilan dan bagaimana seharusnya keadilan itu di dapatkan Ferdian Paleka? Dalam hal ini, sebagian masyarakat berpendapat bahwa Ferdian Paleka bersalah maka ia harus menerima ganjarannya. 

Namun yang belum dapat dibedakan masyarakat adalah terkait sifat sanksi yang diberikan, serta bagaimana dan siapa yang sepantasnya memberikan sanksi tersebut, seperti contoh kasus perzinahan dan pencurian yang telah disebutkan di atas.

Oleh karena itu dengan melihat bagaimana kehidupan sosial itu bekerja, maka diperlukan unsur lain sebagai fungsi control, seperti halnya aparat hukum atau penegak hukum.

B. Telaah atas konsepsi budaya penjara atas perundungan yang dialami Ferdian Paleka

Dari permasalahan tersebut, maka berangkat dari pertanyaan dasar, adakah budaya dalam penjara dan jika "ada" bagaimana kehidupan sosial dalam masyarakat penjara itu bekerja? Menurut sejumlah literatur, budaya penjara menggambarkan munculnya kesepakatan-kesepakatan (informal) dalam masyarakat penjara sebagai akibat keterbatasan dan deprivasi selama di penjara. 

Pengertian secara literatur ini dikemukakan Donald Clemer (1940) melalui konsep prison commnunity (inmates subculture), Gresham M Sykes (1958) dengan konsep society of captives, Irwin & Cressey (1964) dengan prison subculture, Ellis Finskelstein (1993) dalam rules of relationship (prison rules). 

Dari sejumlah konsepsi ini, diperoleh kejelasan bahwa masyarakat penjara terdiri dari sejumlah terhukum yang membentuk budaya penjara karena lilitan keterbatasan dan deprivasi. Kehidupan sosial di Lapas yang serba terbatas dan dibatasi, memungkinkan pula terjadi perlawanan (resistensi), sebagaimana dikemukakan Scott (1985: 29), resistensi sebagai bagian perjuangan sehari-hari. 

Bagi narapidana bisa berlangsung seperti berpura-pura taat, mengelabui (modus), mencuri kecil-kecilan, purapura bodoh, membuat keributan, sampai menyelundupkan barang terlarang, melarikan diri, bahkan melawan petugas.

Dari konsepsi diatas kita kemudian berpikir bahwa bagaimana budaya penjara itu terbentuk, bagaimana kehidupan sosial dalam penjara tersebut berjalan. 

Merujuk pada apa yang dijelaskan oleh beberapa ahli diatas, secara sederhana bahwa adanya keterbatasan kemudian rasa tidak puas yang kemudian memungkinkan terjadinya perlawanan, kemudian akhirnya membentuk budaya penjara. 

Berkenaan dengan konteks perundungan yang dialami oleh Ferdian Paleka dengan merujuk pada pendapat Scott terkait bagaimana kondisi yang terjadi di dalam penjara, bagaimana keadaan di dalam penjara seperti keributaan dll, pada akhirnya membentuk suatu paradigma bagaimana perundungan itu sebagai akibat dari adanya keterbatasan dan bagaimana bentuk perlawanan itu berjalan. 

Apakah ini hanyalah satu kasus yang terangkat ke permukaan diantara kasus lainnya yang mungkin tidak pernah disentuh terkait bagaimana kehidupan di dalam penjara. 

Maka setelah memahami konsepsi di atas, baru kemudian kita bisa beranjak kepada pertanyaan, mengapa kasus pembulian dan perundungan yang di alami oleh Ferdian Paleka bisa terjadi? Sejauh mana penegakan hukum di Indonesia mampu memberikan perlindungan terhadap setiap tersangka dan bagaimana asas praduga tak bersalah tersebut ditegakkan.

Kita bisa saja beropini bahwa perlakuan yang diterima oleh Ferdian Paleka di dalam rutan tersebut sebagai sebuah siklus social terkait bagaimana budaya penjara itu bekerja dan bagaimana budaya itu terbentuk. 

Namun bukan berarti kemudian kita membenarkan siklus sosial itu terjadi, melainkan bagaimana kita melihat sebab timbulnya perlawanan dalam bentuk keributan dan lain sebagainya bisa terjadi, yakni sebagai akibat dari kebebasan yang dibatasi di dalam penjara.

Sehingga dari realitas atau kondisi yang terjadi kita bisa melihat bagaimana penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari apa yang di cita-citakan.

Dalam konferensi yang pertama di Lembang Bandung pada tanggal 27 April 1964 dirumuskan lebih lanjut dengan berisi, di antaranya:

"Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat; negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/Iebih jahat daripada sebelum ia masuk penjara; Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya; Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila; Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun telah tersesat, narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan."

Maka dari kasus tersebut, menjadi sebuah cerminan terkait bagaimana sejauh ini lembaga pemasyarakatan (Rutan) sebagai lembaga yang dijadikan untuk membina para tahanan bekerja, tidak kemudian dengan berada dalam rutan mereka menjadi orang yang lebih buruk dari sebelum ia masuk penjara, bagaimana psikologis tersangka itu terbentuk dari sejak mereka masuk dalam rutan. 

Jika kita melihat ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagaimana termuat dalam Pasal 2 yang berbunyi:

"Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh Iingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab".

Melihat ketentuan di atas terkait bagaimana tujuan dari sistem pemasyarakatan itu diselenggarakan, maka dengan melihat realitasnya saat ini dimana masih banyak permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam Lapas misalnya terkait penyelundupan narkoba yang masih saja terjadi, banyak napi yang melakukan suap kepada petugas. 

Oleh karena itu, berkaitan dengan kasus perundungan yang dialami Ferdian Paleka di dalam Rutan dimana hal tersebut mencerminkan antara apa yang di idealkan dengan realitas yang terjadi di lapangan. 

Maka yang menjadi pekerjaan dalam proses penegakan hukum kita adalah bagaimana mewujudkan tujuan mulia dari lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan sebagaimana tercantum dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Kemudian berupaya untuk menciptakan budaya masyarakat dalam penjara yang taat akan hukum dan norma-norma yang berlaku dan menjadi manusia yang seutuhnya, melalui pembinaan, edukasi hukum, dan pendidikan karakter serta moral.

Sehingga budaya yang terbentuk pun yakni budaya-budaya yang membawa mereka pada cara pandang dan cara hidup yang lebih baik dan memahami tujuan mereka yakni bagaimana belajar untuk memanusiakan manusia.

C. Perlindungan Hak Asasi Tersangka

Presumption Of Innocent atau yang dikenal dengan Asas Praduga Tak Bersalah, diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam KUHAP ketentuannya terdapat pada butir 3 bagian c yakni:

"Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap".

Asas Praduga Tak Bersalah secara tersirat juga terdapat didalam ketentuan Magna Carta 1215 yang dianggap sebagai cikal bakal lahirnya HAM dilingkup Internasional. Menurut Living Stone Hall, Pasal 39 dalam Magna Carta menentukan bahwa:

"Tidak seorangpun boleh dikurung dirampas miliknya, dikucilkan atau diambil nyawanya, kecuali melalui hukuman yang sah oleh hukum negaranya". 

Secara sederhana tujuan dari asas praduga tak bersalah yakni untuk melindungi hak, harkat dan martabat tersangka agar ia tidak diperlakukan semena-mena dan tidak di berikan hukuman sebelum ia diputus bersalah oleh Hakim.

Setelah jauh kepada pembahasan di atas, maka kini kita sampai kepada suatu pertanyaan terkait keadilan yang seharusnya didapatkan oleh Ferdian Paleka?

Menelaah Konsep keadilan yang diungkapkan oleh Aristoteles yaitu, Justitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribunes (keadilan adalah kehendak yang tetap dan tak ada akhirnya, untuk memberi pada tiap-tiap orang, apa yang menjadi haknya) dan juris praecepta sunt heac: honeste vivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (peraturan-peraturan dasar dari hukum adalah: hidup dengan patut, tak merugikan orang lain, memberi pada orang lain apa yang menjadi haknya) (L.J. Van Apeldoorn, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht, 2000:67).

Untuk sampai kepada jawaban apakah ini adalah sebuah keadilan yang harus di dapat oleh Ferdian Paleka atau tidak atas kasus yang dibuatnya, maka kita harus menjawab esensi dari hak itu sendiri terkait bagaimana hak itu diberikan dan bagaimana hak itu dicabut? 

Ketika Ferdian Paleka saat ini statusnya masih tersangka dan belum ditetapkan bersalah oleh hakim atau belum terdapat putusan yang bersifat tetap (inkracht) maka ia harus dipandang sama dan tidak boleh diperlakukan semena-mena apalagi mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. 

Asas praduga tak bersalah merujuk pada suatu konsep dasar terkait hak tersangka untuk diangap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang mengatakan ia bersalah. 

Oleh karena itu, ketika asas praduga tak bersalah masih melekat kepada tersangka, maka siapapun tidak memiliki hak atau wewenang untuk menjatuhkan suatu hukuman kepada si tersangka.

Frasa "siapapun" merujuk kepada setiap orang/lembaga/institusi yang secara hukum tidak memiliki hak untuk memberikan sebuah penghukuman ataupun sanksi sebelum adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. 

Sehingga ketika lembaga penegak hukum sekalipun tidak boleh memberikan sanksi atau hukuman sebelum adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, apalagi hukuman itu diberikan oleh narapidana yang lain maka sudah barang tentu hal tersebut tidak dapat dibenarkan. 

Oleh karena itu, dengan tidak menapikkan kesalahan yang telah diperbuat, maka biarlah hakim yang menyatakan keadilan baginya, sanksi apa yang nantinya akan di dapatkan, karena begitulah negara hukum bekerja.

Sebagai penutup, Penulis ingin mengatakan bahwa konstruksi keadilan yang tetap dan tak ada akhirnya sebagaimana diungkapkan oleh Aristoteles tidak bisa di dapat hanya dengan melihat permukaannya semata tanpa mampu menyelam ke dasar permasalahannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun