Mohon tunggu...
Fathul Hamdani
Fathul Hamdani Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Tak penting dimana kita terhenti, namun berikanlah penutup/akhir yang indah

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Kasus Ferdian Paleka Bukan Hanya Persoalan Keadilan

16 Mei 2020   18:43 Diperbarui: 19 Mei 2020   15:22 2435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
YouTuber Ferdian Paleka saat berada di Mapolrestabes Bandung, Jumat (8/5/2020).(KOMPAS.com/ AGIE PERMADI)

Dari permasalahan tersebut, maka berangkat dari pertanyaan dasar, adakah budaya dalam penjara dan jika "ada" bagaimana kehidupan sosial dalam masyarakat penjara itu bekerja? Menurut sejumlah literatur, budaya penjara menggambarkan munculnya kesepakatan-kesepakatan (informal) dalam masyarakat penjara sebagai akibat keterbatasan dan deprivasi selama di penjara. 

Pengertian secara literatur ini dikemukakan Donald Clemer (1940) melalui konsep prison commnunity (inmates subculture), Gresham M Sykes (1958) dengan konsep society of captives, Irwin & Cressey (1964) dengan prison subculture, Ellis Finskelstein (1993) dalam rules of relationship (prison rules). 

Dari sejumlah konsepsi ini, diperoleh kejelasan bahwa masyarakat penjara terdiri dari sejumlah terhukum yang membentuk budaya penjara karena lilitan keterbatasan dan deprivasi. Kehidupan sosial di Lapas yang serba terbatas dan dibatasi, memungkinkan pula terjadi perlawanan (resistensi), sebagaimana dikemukakan Scott (1985: 29), resistensi sebagai bagian perjuangan sehari-hari. 

Bagi narapidana bisa berlangsung seperti berpura-pura taat, mengelabui (modus), mencuri kecil-kecilan, purapura bodoh, membuat keributan, sampai menyelundupkan barang terlarang, melarikan diri, bahkan melawan petugas.

Dari konsepsi diatas kita kemudian berpikir bahwa bagaimana budaya penjara itu terbentuk, bagaimana kehidupan sosial dalam penjara tersebut berjalan. 

Merujuk pada apa yang dijelaskan oleh beberapa ahli diatas, secara sederhana bahwa adanya keterbatasan kemudian rasa tidak puas yang kemudian memungkinkan terjadinya perlawanan, kemudian akhirnya membentuk budaya penjara. 

Berkenaan dengan konteks perundungan yang dialami oleh Ferdian Paleka dengan merujuk pada pendapat Scott terkait bagaimana kondisi yang terjadi di dalam penjara, bagaimana keadaan di dalam penjara seperti keributaan dll, pada akhirnya membentuk suatu paradigma bagaimana perundungan itu sebagai akibat dari adanya keterbatasan dan bagaimana bentuk perlawanan itu berjalan. 

Apakah ini hanyalah satu kasus yang terangkat ke permukaan diantara kasus lainnya yang mungkin tidak pernah disentuh terkait bagaimana kehidupan di dalam penjara. 

Maka setelah memahami konsepsi di atas, baru kemudian kita bisa beranjak kepada pertanyaan, mengapa kasus pembulian dan perundungan yang di alami oleh Ferdian Paleka bisa terjadi? Sejauh mana penegakan hukum di Indonesia mampu memberikan perlindungan terhadap setiap tersangka dan bagaimana asas praduga tak bersalah tersebut ditegakkan.

Kita bisa saja beropini bahwa perlakuan yang diterima oleh Ferdian Paleka di dalam rutan tersebut sebagai sebuah siklus social terkait bagaimana budaya penjara itu bekerja dan bagaimana budaya itu terbentuk. 

Namun bukan berarti kemudian kita membenarkan siklus sosial itu terjadi, melainkan bagaimana kita melihat sebab timbulnya perlawanan dalam bentuk keributan dan lain sebagainya bisa terjadi, yakni sebagai akibat dari kebebasan yang dibatasi di dalam penjara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun