Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kenapa Mantan Murid Lupa Sama Mantan Guru?

11 Januari 2019   10:01 Diperbarui: 11 Januari 2019   10:41 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : bobo.grid.id

"Masih ingat sama ibu?"

"Maaf, Bu. Saya lupa."

Percakapan di dalam kantor guru yang memiriskan. Kenapa saya bilang begitu? Karena berharap diingat, tapi ternyata dilupakan.

Yanto (bukan nama sebenarnya), mantan murid SD, datang ke SD-nya kembali setelah enam tahun tidak berkunjung. Lebih tepatnya, setelah lulus SMA, baru dia datang kembali. 

Tujuan? Sederhana. Ingin melegalisir fotokopi ijazah SD untuk mengikuti persyaratan Ujian Penerimaan CPNS. 

Bu Mintarsih (guru, juga bukan nama sebenarnya) yang kebetulan ada di depan pintu kantor guru, memulai percakapan dengan kalimat klise yang sudah basi, "Masih ingat sama ibu?"

Entah apa harapan sang ibu. Sepertinya dia berharap, mantan murid akan berkata, "Oya, Bu. Masih ingat." Sepertinya itu harapannya. Namun, harapan tinggallah harapan. Jawaban "Maaf, Bu. Saya lupa." membuyarkan harapan itu.

Terlihat ada raut kekecewaan di wajah. Dan memang terdengar kecewa waktu Bu Mintarsih berkata, "Masa sama ibu lupa ...."

Dari peristiwa ini, saya tergelitik untuk menuliskan artikel ini. Bukan apa-apa. Hanya sebagai pengingat bagi saya, supaya hal yang sama sekiranya tidak terjadi pada saya di kemudian hari.

Mengapa lupa?

Saya melihat tipikal guru seperti Bu Mintarsih dan beberapa guru lain yang mempunyai karakter yang kurang lebih sama dengannya, lalu saya mengambil kesimpulan bahwa ada sedikitnya tiga sebab kenapa para mantan murid lupa dengan mantan guru seperti Bu Mintarsih dan beberapa mantan guru lainnya.

1. Pembawaan tidak bersemangat

Jalan lamban, tidak ada senyuman di wajah, bicara perlahan nyaris tak terdengar, gerak-gerik lemah lunglai, dan masih banyak lagi hal-hal semacam itu.

Apakah ada banyak guru dengan tipikal seperti itu atau malah Anda guru seperti itu ^_^.

Kalau seandainya begitu, itu bahasa tubuh yang memang berasal dari kebiasaan dan isi pikiran Anda yang sudah jelas menggambarkan suasana hati yang bosan, tidak bersemangat.

Anda pernah melihat tim Barcelona bermain lamban dan tak bergairah? Tentu saja tidak pernah, bukan? Permainan yang menyerang, diiringi dengan motivasi yang kuat dan kecepatan, diperagakan oleh para pemain Barcelona, sehingga membuat permainan sepakbola jadi menarik dan ditunggu-tunggu. 

Bu Mintarsih sebenarnya cerdas, hanya saja beliau berpenampilan loyo dan terlihat tidak bersemangat dalam mengajar. Bicaranya pun sekedarnya. 

Bagaimana murid mempunyai kesan yang baik dan mengenang ibu ini, jika dia sendiri tidak ada niat untuk dikenang?

Mungkin Anda berpikir, "Lha yang nulis sendiri gimana ^_^?"

Saya sendiri berusaha untuk selalu bersemangat dalam mengajar, meskipun saya juga menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan kadang-kadang merasa lesu, namun saya berusaha memisahkan antara masalah pribadi dan pekerjaan, terutama kalau lagi mengajar di sekolah.

Apalagi yang saya hadapi adalah anak-anak usia dini, Sekolah Dasar, yang mana mereka masih dalam masa pertumbuhan. Tentu saja apa yang mereka lihat dan dengar, akan mereka lakukan dan ucapkan kemudian.

Senyum, meskipun susah bagi seorang laki-laki keras seperti saya, tetap saya usahakan. Begitu juga dengan perilaku ramah. Mau orang lain ramah pada kita? Kita harus ramah dulu pada mereka. Itu pedoman saya.

Jadi saya berusaha untuk ramah, dan cara yang termudah adalah tersenyum, dan bersemangat dalam melakukan pekerjaan saya.

2. Metode mengajar itu-itu saja

Untuk yang satu ini memang sangat disayangkan. Metode ceramah sudah seharusnya dikaji ulang, dievaluasi apakah peserta didik nyaman dengan metode itu.

Metode satu arah dimana peserta didik hanya mendengarkan guru bicara dan tidak boleh ribut, pasif, tentu sudah seharusnya tak dipakai secara terus menerus, seakan-akan tidak ada metode lain.

Kalau seandainya Anda berada dalam posisi murid SD, dan gurunya menggunakan metode ceramah, satu arah, apa istimewanya guru itu? Kalau saya anak murid SD yang diajar oleh Bu Mintarsih, jelas saya akan lupa siapa beliau kalau bertemu lagi kelak waktu dewasa seperti Yanto tadi, karena beliau tidak berusaha sedikit pun untuk membuat proses belajar mengajar menjadi menyenangkan, menarik, dan melibatkan peserta didik secara aktif. 

"Kita kan harus menghabiskan materi, supaya target tercapai," kilah Bu Mintarsih suatu kali di rapat dinas, membahas soal kesulitan menuntaskan materi ajar karena keterbatasan waktu, sehingga dia lebih menitikberatkan pada mengerjakan tugas-tugas tertulis dari buku paket dan Lembar Kerja Siswa (LKS).

Saya pribadi tidak setuju dengan pola pikir itu. Peserta didik lebih penting daripada materi ajar. Untuk apa materi tuntas disampaikan, namun cuma sedikit yang terserap oleh mereka? Sangat sia-sia. Membosankan. Mereka hanya mengerjakan soal, dan belum tentu itu hasil pemikiran mereka. Bisa jadi beberapa dari murid itu menyontek hasil kerja temannya yang lebih menguasai materi!

Sedikit membagi pengalaman. Saya dulu pernah ikut pelatihan guru bahasa Inggris beberapa kali, dan ada satu hal yang sangat mengena dan sampai sekarang saya masih ingat, yaitu harus ada unsur VAK di dalam proses belajar mengajar.

Apa itu VAK? VAK itu singkatan dari Visual, Audio, dan Kinestetik.

Visual, ada alat peraga atau media pembelajaran yang digunakan, untuk menyampaikan materi ajar. Entah itu realia atau objek langsung, gambar, menggunakan LCD projector, dan lain sebagainya. Tujuan? Supaya memori otak bisa lebih tahan lama menyimpan pelajaran yang didapat lewat bantuan penglihatan mata.

Audio, ada suara yang mengiringi. Dengan adanya suara, akan mempertegas pesan yang akan disampaikan. Gambar dikatakan mempunyai seribu makna, tapi dengan adanya penjelasan lewat suara, maka akan semakin mempertegas makna apa yang terkandung di gambar supaya pesan tersampaikan dengan baik. 

Kinestetik, ada tindakan yang menyertai, sehingga ada istilah Learning by Doing, Belajar dengan Melakukan.

Sebagai contoh, karena saya mengajar bahasa Inggris, saya menggunakan salah satu media pembelajaran yaitu lagu, karena mengandung tiga unsur VAK tadi. 

Lagu Head, Shoulders, Knees, and Toes sebagai contoh (Anda bisa mencarinya sendiri di Youtube. Ada banyak sumber tentang lagu ini ^_^). Lagu ini jelas berbicara tentang bagian tubuh, yaitu Kepala, Pundak, Lutut, Jari kaki, yang mana murid-murid saya pernah menyanyikannya sebagai Kepala, Pundak, Lutut, Kaki dalam bahasa Indonesia yang diajarkan oleh guru-guru kelas mereka (Entah peserta didik disuruh menyentuh bagian-bagian tubuh waktu menyanyi atau tidak ^_^).

Saya meminta murid-murid untuk berdiri dan menyanyikan lagu Head, Shoulders, Knees, and Toes sambil menyentuh bagian tubuh yang disebutkan.

Reaksi? Mereka menyukainya. Dengan begitu, mereka hafal bagian-bagian tubuh tertentu dalam bahasa Inggris lewat lagu dan gerak, dalam hal ini VAK.

Murid senang, guru pun ikut senang, proses belajar mengajar menyenangkan, tidak monoton. 

3. Tidak ada kedekatan emosional dengan murid

Sekarang sudah bukan jamannya guru killer. Apalagi kalau menyangkut siswa-siswi SD, yang notabene masih anak-anak. 

Ibarat kalau mengambil istilah marketing (kalau tidak salah ^_^), rebut hatinya, maka dompetnya pun akan keluar dengan sendirinya.

Kalau mau 'merebut' perhatian anak, berikan apa yang mereka suka terlebih dahulu; misalnya dengan menyanyi, bermain, melakukan kegiatan mewarnai yang berhubungan dengan materi ajar; maka selanjutnya, anak akan memperhatikan dan antusias dalam proses belajar mengajar.

Bagaimana mau mendapatkan perhatian dari peserta didik yang unyu-unyu ini kalau di awal masuk saja tidak ada kedekatan emosional dengan murid. Yang ada di kepala sang guru hanya bagaimana bisa menuntaskan materi ajar di hari yang bersangkutan. 

"Menyanyi? Bermain? Mewarnai? Tidak ada hubungannya dengan materi ajar!" kata Bu Mintarsih.

Seharusnya tidak begitu pemikirannya. Anak-anak itu lebih penting daripada materi ajar yang benda mati adanya. 

Ditambah lagi dengan kesenjangan di luar kelas. Tidak ada keramahan sewaktu bertemu, baik di kantin atau halaman sekolah. Yang ada malah ketegangan dan kecanggungan.

Itu tercermin dari pribadi, pembawaan Bu Mintarsih sendiri.

Saya, bukan bermaksud menyombongkan diri, bisa dikatakan guru yang ramah pada peserta didik. Ini bukan saya yang mengatakan, tapi beberapa murid. 

"Awalnya bapak kelihatan galak, tapi setelah itu asyik. Bukan galak, tapi gaul."

"Pokoknya bapak is the best deh. Ngajarnya oke, asyik pokoknya. Asyik diajak bicara juga."

Kalau dari pihak orangtua murid, juga kurang lebih sama ^_^.

"Padahal anak-anak sudah cocok sama bapak," waktu menanggapi kenapa saya resign dari sekolah.

"Sayang sekali, Pak. Padahal Rita (Bukan nama sebenarnya), anak saya, suka sekali kalau bapak yang ngajar. Dia suka nyanyi, mewarnai, seperti yang bapak suruh selama ini."

Apakah itu basa-basi atau sekedar pemanis supaya enak didengar di telinga?

Bagi saya, mereka mengatakan yang sejujurnya. 

Saya terharu mendengar ungkapan-ungkapan kehilangan dari beberapa peserta didik karena saya tidak mengajar mereka lagi. Memang pasti ada peserta didik yang tak suka pada saya, namun itu tidak banyak. Mereka yang tidak suka dengan saya kebanyakan disebabkan karena saya tegur berkenaan dengan sikap mereka yang tidak sopan atau tidak baik. Entah bagaimana orangtua mereka mendidik mereka di rumah sehingga berperilaku seperti tidak sopan atau malas.

Tapi, saya lebih memikirkan murid-murid yang rajin dan sopan. Yang gak peduli atau kurang ajar, ngapain saya pusingin? Biar aja. Cukup saya bawa dalam doa, supaya mereka berubah dan saya pun tetap berusaha mendidik mereka seperti biasa, dalam batas ruang lingkup sekolah.

Intinya, saya berusaha dekat secara emosional, namun dengan tetap menjaga etika sewaktu bersama peserta didik. Tidak berlebihan.

Apa Kesan dan Pesan yang ditinggalkan untuk murid? 

Dari ketiga sebab 'kelupaan' murid pada gurunya di atas, kalau mau ditarik benang merahnya adalah apa kesan dan pesan yang ingin ditinggalkan untuk peserta didik.

Apakah Anda sebagai pendidik ingin meninggalkan kesan sangar, galak, membosankan waktu mengajar, jutek waktu di luar kelas, tak pedulian; atau Anda ingin meninggalkan kesan mendalam pada peserta didik karena Anda ramah, sopan, mengerti kesulitan mereka dalam belajar, mengajar dengan antusias-jelas-menarik?

Apabila Anda salah berkelakuan, kesan buruk yang akan melekat di benak peserta didik.

Begitu juga dengan pesan yang Anda ingin wariskan pada peserta didik. Pesan berupa wejangan, tutur kata, perilaku, serta materi ajar yang baik akan meninggalkan kesan mendalam di benak mereka.

"Saya masih simpan buku yang ada lagu-lagu bahasa Inggris yang bapak ajarkan dulu," kata Tina (bukan nama sebenarnya), mantan murid saya di SD terdahulu yang lulus tahun 2010.

Sembilan tahun berlalu, dan dia masih menyimpan buku yang ada lagu-lagu yang saya ajarkan dulu! 

Benar atau tidaknya, saya tidak tahu. Mungkin saja Tina mengucapkan itu sekedar untuk menyenangkan hati saya. Tapi saya rasa Tina juga tidak bohong. 

Kalau kesan dan pesan yang Anda tinggalkan sudah baik, maka murid Anda pun kalau kelak bertemu lagi dengan Anda dengan status mantan murid, mereka akan tetap memiliki kesan baik terhadap Anda dan tetap mengingat Anda sebagai mantan guru mereka yang berdedikasi dalam mendidik mereka.

Berkacalah sekarang, kalau Anda berprofesi sebagai pendidik, dan tanyalah pada diri sendiri, "Apakah Aku sudah meninggalkan kesan dan pesan yang baik kepada peserta didik?"

Kalau Anda menjawab sudah, itu bagus, terus dipertahankan dan lebih ditingkatkan ke arah yang lebih baik.

Tapi kalau Anda menjawab belum, ubahlah perilaku dan cara mengajar Anda. Supaya tidak akan ada lagi mantan murid yang berkata, "Maaf, Pak. Maaf, Bu. Saya lupa."

'Jadilah pendidik yang menginspirasi dan menjadi teladan bagi peserta didik.'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun