Di Indonesia, kelembagaan petani masih sangat beragam dan belum sepenuhnya terstruktur kuat. Ada kelompok tani (poktan), gabungan kelompok tani (gapoktan), koperasi tani, serta lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pertanian.Â
Namun, banyak dari kelembagaan ini hanya aktif secara administratif, terutama saat ada program bantuan pemerintah. Hubungan antar petani masih bersifat individual, dan solidaritas kelembagaan kadang lemah dalam hal pemasaran, pengadaan sarana produksi, maupun advokasi kebijakan.Â
Petani kecil mendominasi, dengan rata-rata penguasaan lahan sangat terbatas, umumnya hanya 0,3 sampai 0,6 hektar (0,3 - 0,6 ha) per petani. Banyak pula petani penggarap yang tidak memiliki lahan sendiri, sehingga daya tawar mereka dalam rantai pasok pangan sangat rendah.
Sebaliknya, di Jepang, kelembagaan petani sangat terorganisir dengan baik melalui JA (Japan Agricultural Cooperatives) yang menjadi pusat dari hampir seluruh kegiatan pertanian. JA bukan hanya koperasi dalam arti sempit, melainkan menjadi tulang punggung sistem pertanian Jepang, mulai dari penyediaan benih, pupuk, pembiayaan, asuransi pertanian, pelatihan, pembelian alat, pemasaran hasil, hingga advokasi kebijakan. Petani Jepang bekerja dalam sistem yang sangat kolektif dan terintegrasi.Â
Rata-rata penguasaan lahan di Jepang memang kecil, hanya sekitar 1 hingga 2 hektar (1-2 ha) per rumah tangga tani, namun dengan mekanisasi dan pengelolaan kolektif, efisiensi tetap tinggi. Bahkan ada kecenderungan konsolidasi lahan ke petani-petani yang lebih muda atau lebih produktif melalui sistem sewa-menyewa yang difasilitasi oleh pemerintah dan koperasi.
Mengenai subsidi, pemerintah Indonesia memberikan beberapa jenis bantuan dan subsidi, meskipun pelaksanaannya sering kali tidak merata atau tidak tepat sasaran. Bentuknya antara lain subsidi pupuk, subsidi benih, bantuan alat mesin pertanian (alsintan), program asuransi usaha tani padi (AUTP), dan program pembiayaan dengan bunga rendah seperti KUR pertanian. Namun subsidi ini sering terhambat oleh persoalan distribusi, data petani yang tidak akurat, serta lemahnya pengawasan.
Sementara di Jepang, subsidi pertanian jauh lebih strategis dan terstruktur. Pemerintah memberikan subsidi langsung kepada petani dalam bentuk dukungan harga minimum, insentif untuk tetap menanam padi meski lahannya kecil, subsidi untuk menjaga lahan pertanian agar tidak dialihfungsikan, subsidi teknologi pertanian canggih, serta insentif khusus bagi petani muda agar tertarik bertani.Â
Ada juga dukungan finansial untuk modernisasi alat dan sistem pertanian presisi. Seluruh program ini dikendalikan melalui JA dan kementerian pertanian yang memiliki data rinci dan terus diperbarui mengenai petani.
Dari sini terlihat bahwa sistem kelembagaan dan subsidi di Jepang dibangun untuk menciptakan petani yang tangguh, produktif, dan sejahtera dalam jangka panjang. Sementara di Indonesia, meskipun memiliki kelembagaan dan subsidi, implementasinya belum sepenuhnya membentuk ekosistem yang berdaya saing tinggi bagi petani.Â
Upaya penguatan kelembagaan dan perbaikan tata kelola subsidi menjadi kunci penting jika Indonesia ingin mengejar ketahanan dan kemandirian pangan yang lebih kokoh.
Dalam hal apa saja yang bisa dikerjasamakan antara Indonesia dan Jepang ini dalam hal pangan khususnya sistem produksi padi dan beras.