R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, memaparkan secara gamblang bahwa dunia hari ini bukan lagi ruang isolatif yang bisa ditaklukkan dengan retorika kampanye semata. Dalam konteks ekonomi global yang saling terkait, ia mengingatkan bahwa kebijakan politik yang dibangun di atas janji kosong justru dapat menjadi benih kehancuran ekonomi jangka panjang.
Menyoroti dinamika pemerintahan Donald Trump di Amerika Serikat pasca terpilih kembali tahun 2024, Haidar Alwi menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Amerika harus menjadi peringatan serius bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kemenangan Trump yang dibalut jargon nasionalisme ekonomi justru melahirkan kebijakan tarif tinggi yang merusak ekosistem perdagangan internasional dan memicu gelombang inflasi global.
*Kegagalan Politik Janji dan Biaya Sosial Ekonomi yang Ditimbulkan.*
Langkah Trump menaikkan tarif tinggi untuk seluruh impor, dan lebih tinggi lagi bagi negara dengan defisit perdagangan terhadap AS, Indonesia terkena imbas 32% tidak hanya menimbulkan distorsi pasar, tetapi juga mengoyak tatanan perdagangan multilateral yang selama ini menopang stabilitas ekonomi dunia. Haidar Alwi menyebut tindakan itu sebagai bentuk "neo-merkantilisme destruktif" yang memperlihatkan kekeliruan fundamental dalam memahami keterkaitan ekonomi antarnegara.
"Tarif tinggi memang melindungi industri tertentu dalam jangka pendek, tapi memukul daya beli, menaikkan ongkos produksi, dan menghantam petani serta manufaktur kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi domestik," jelas Haidar Alwi.
Menurutnya, ini merupakan contoh klasik dari paradoks perlindungan, di mana proteksi ekonomi justru memperlemah struktur ekonomi nasional dari dalam.
Salah satu istilah penting yang ia angkat adalah non-linear feedback loop yakni situasi di mana dampak kebijakan tidak terjadi secara langsung dan proporsional, melainkan membentuk gelombang berulang yang semakin memperparah keadaan. Tarif tinggi memicu retaliasi, retaliasi memicu ketidakpastian, dan ketidakpastian menghancurkan kepercayaan investasi. Akibatnya, sektor riil stagnan, suku bunga tak bisa dikendalikan, dan konsumen akhirnya menjadi korban terakhir dari drama ekonomi yang dimainkan atas nama patriotisme palsu.
*Brexit dan Pelajaran Kolektif dari Janji yang Gagal Dimengerti.*
Dalam kaca mata Haidar Alwi, Brexit adalah wajah lain dari kegagalan memahami dimensi ekonomi-politik secara utuh. Janji "Take Back Control" dan klaim dana 350 juta per minggu untuk sistem kesehatan Inggris menjadi bukti bahwa narasi populis yang menyesatkan bisa menciptakan ilusi stabilitas.
"Inggris memang keluar dari Uni Eropa, tapi mereka kehilangan kendali dalam proses pengambilan keputusan regional. Mereka tidak lagi menjadi bagian dari arsitek sistem, melainkan hanya menjadi pelaksana konsekuensi," tegas Haidar Alwi. Ia menilai, kampanye seperti ini berakar dari false equivalence, menggambarkan kompleksitas kebijakan dalam bentuk pilihan biner, seolah semua persoalan bisa diatasi dengan menarik diri dari interdependensi global.