Mohon tunggu...
Muhammad F. Hafiz
Muhammad F. Hafiz Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menulis sebagai profesi dan amal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Curanmor

29 Maret 2024   15:55 Diperbarui: 29 Maret 2024   15:56 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Dari dulu aku sudah bilang, kau Bang ikut bengkel Pak Yapto, eh... malah buka bengkel sendiri. Kau lihat sekarang Bang, sudah setahun kau buka, cuma satu dua seminggu. Sepi Bang, sepi...," omel Suli pada Beki yang terdiam mengorek kuku jari tangan dari bekas oli mengering.

Beki tak pernah menimpali istrinya jika sedang mengomel. Dia tahu Suli juga lelah hati, tak mendapat banyak uang dari mengambil upah cuci pakaian. Sudah banyak orang di kampung-kampung kota punya mesin cuci sendiri. Atau membawa pakaian kotor ke kios laundry yang bertebaran di mana-mana.

Paling-paling jasa Suli dimanfaatkan orang kalau mau mencuci karpet atau kain gorden. Cucian itu akan diguncang saat direndam di kali pada air mengalir, setelah sebelumnya debu dan pasir dihela oleh mesin kompresor angin milik suaminya. Suli senang karena pekerjaannya dibantu peralatan bengkel.

Tapi seberapa banyak orang di Kampung Tengah mencuci hambal dan gorden yang kalaupun setahun sekali dibersihkan. Lebih sering dia mendapat upah dari tetangga yang minta dicucikan lampin atau popok kain. Itupun kemungkinan karena iba pada Suli. Ibu-ibu itu lebih sering mencuci sendiri clodi bayi mereka karena mencucinya praktis.

Kini Suli terus saja mengomel menyesali Baki yang enggan bekerja pada Yapto bos bengkel besar di tengah kota. Pudin yang bersama Beki jadi pegawai Pak Yapto, hidupnya kini kini berkecukupan. Tak pernah ada masalah kehabisan beras.

"Istri Pudin kemarin datang pakai cincin yang baru dibelikan suaminya. Emasnya tipis, tapi ada. Aku.... sekulit-ari pun tak punya..."

Beki menunduk. Menyobek ujung kuku dengan giginya. Menyeret bekas gigitan itu perlahan-lahan memakai ibu jari dan telunjuknya agar tak melukai daging di batas kuku tumbuh. Amboi, akan sakit sekali rasanya kalau kulit jari ikut terseret. Beki bakal menyeringai menahan sakit, sewaktu daging yang terbuka di ujung jari tangannya tersiram bensin atau terendam oli.

Perkara cincin di jari manis istri Pudin tetap tak membuat Beki terpancing emosi. Sejam tadi Suli sudah memulai omelannya soal Amran anak mereka yang perlu uang masuk SMA. Kekesalan Suli meletup karena bagaimana mungkin mereka bisa membayar sejuta lebih biaya masuk itu. Tapi Beki diam saja.

Suli kalap, sampai-sampai tak terkontrol mengatakan pada Beki agar mendapatkan uang itu dengan cara apapun. Kalau perlu mencuri. Beki terkesiap, lalu mengucap istighfar dalam hatinya sambil menatap ke arah Suli.

Selama ini Beki berusaha tak berbuat jahat pada orang lain. Bahkan dia teramat polos sewaktu pemilik motor yang dibantunya di bengkel cuma menyodorkan selembar 20 ribu. Pada pemilik motor yang rewel sekalipun, Beki menerima saja upah dari mereka seberapapun diberi.

Suatu waktu mesin motor tukang sayur berebet di muka bengkel. Berkali-kali si tukang sayur berusaha menyalakan mesin. Meraung sebentar lantas batuk-batuk. Motornya kemudian disorong ke bengkel Beki.

Cuma perlu sebentar untuk membuat mesin motor itu kembali normal. Si tukang sayur puas, dan Beki berusaha mendapat bayaran lebih saat itu. Tapi tukang sayur seperti tak percaya saat Beki mengatakan biayanya Rp 50 ribu.

"Hanya stel-stel kabilator pakai obeng saja biayanya lima puluh ribu? Yang bener aja," ucap tukang sayur sengit.

Seseorang lainnya yang sedang menunggu motornya diganti oli, menjelaskan pada tukang sayur. Bahwa tenaga Beki mengutak-atik karburator tak seberapa nilainya. Namun kecakapan menemukan gejala dan mengatasi masalah mesin motor itulah seharga Rp 50 ribu.

Tukang sayur tak peduli. Dia menyodorkan selembar sepuluh ribu yang diterima Beki. Yaaah..., mau apalagi, si tukang sayur mungkin saja sedang kesulitan keuangan. Lebih-lebih sepeda motor yang jadi alat kerjanya jualan keliling itu, jadi tumpuan mata pencahariannya. Tak mengapa Beki mengalah.

Tapi pada Suli istrinya yang kalap dan menganjurkan Beki mencuri untuk mendapatkan uang, Subeki tak mau mengalah. Dia tak mau melakukan kejahatan. Merugikan orang lain. Tapi Beki tak tahu cara mendapatkan uang Rp 1,3 juta dalam waktu seminggu ini.

Daripada bersoal-jawab dengan Suli yang sedang kalap, Beki memilih pergi ke mana saja sambil menenangkan pikiran. Beki beranjak dari balai-balai setelah Suli puas mengomelinya. Di jalan depan rumah, Beki melihat Kipli adik Amran.

Bocah kelas 3 sekolah dasar itu menangis meski tak bersuara. Hanya bekas air mata yang meleleh di pipi membentuk alur yang jelas terlihat akibat pipinya kotor oleh debu. Beki mendekatinya dan mengetahui Kipli sangat ingin es krim yang kini sedang dinikmati teman-temannya.

Kepada Junet yang baru saja membayar es krim yang dibelinya, Beki meminta agar Junet mau berbagi.

"Kau beri-lah kawan kau ini ngerasa seujung lidah saja," kata Beki.

"Kita beli ini, dikasih uang sama Mamak kita...,"  jawab Junet berlalu meninggalkan Kipli yang berharap.

Pedih hati Beki. Dia cengkeram pundak anaknya sambil menatap mata Kipli yang terpaut dengan matanya saat Beki berjongkok berbicara pada Kipli. Beki meyakinkan Kipli akan membawakan satu kotak es krim besok sore, dan meminta bocah itu pulang menemui Mamaknya.

"Besok. Besok Bapak bawakan kau es krim paling enak. Satu kotak es krim paling enak."

Subeki berlalu meninggalkan Kipli. Pusaran pikiran di dalam kepalanya membentur dinding otak. Beki teringat satu-satunya warung internet di pojok luar pasar yang masih melayani pelanggan. Cukup bertahan usaha warnet itu di tengah banyak orang menggunakan wifi rumah atau wifi kampung.

Mungkin saja pelanggan warnet tak cuma membutuhkan internet, tapi menyewa PC warnet untuk mengetik dan mencetak naskah. Banyak anak-anak mahasiswa yang masuk ke warnet itu sejak pagi dan baru keluar sore hari. Begitupun yang baru keluar pagi subuh setelah di sana sejak malam hari.

Mereka meninggalkan sepeda motor di muka ruko warnet nyaris tanpa pengawasan. Dan Beki melangkahkan kaki ke tempat itu.

Mula-mula dia mengawasi lokasi itu, memikirkan posisi yang paling aman nanti malam untuk bersembunyi menunggu waktu yang tepat. Bagi Beki tak sukar menyalakan mesin motor tanpa kunci kontak. Sudah lama dia mengatahui cara kerja kunci model T untuk memaksa elektrik motor tersambung dengan paksa.

Di sebelah warnet ada got di antara dinding tinggi bangunan ruko. Tempat itu gelap dan bau sampah basah yang dibuang orang di pasar. Tak seorang pun yang akan mengetahui Beki berada di tempat itu, jika dia menuju ke sana dengan memanjat tembok pasar di belakang warnet.

Malam ini, Beki menemukan dirinya di sana, terimpit bangunan dua ruko yang seakan-akan menindasnya. Pukul 23, saat sudah tak ada lagi orang masuk warnet kecuali empat atau lima pelanggan yang sudah berada di dalam.

Sebuah motor di posisi paling mudah dijangkau dilihat Beki. Dengan sekali sentak, tentu motor segera hidup dan langsung tancap gas menghilang ke tempat yang jauh. Beki segera beranjak dari tempat dia mengintip, merogoh kantung celana tempat dia menyimpan kunci T. Masih ada di dalam sakunya.

Beki mengendap-endap bersiap menjalankan aksi. Tapi baru saja dia mengangsur tubuhnya, seseorang bertubuh tambun keluar dari dalam warnet. Si tambun penjaga warnet meletakkan dua jari tangan di tengah bibir dan, "Cuh....."

Orang itu meludah ke tanah. Tapi semburan ludahnya seakan-akan membanjiri wajah Beki. Laki-laki dua anak itu terhina oleh perbuatan yang mengoyak kesetiaannya pada budi pekerti. Dia berada pada titik paling rendah. Terhina dan dihinakan.

Pria tambun itu kembali masuk. Anehnya perasaan terhina dalam diri Beki tiba-tiba saja meredup. Subeki kembali bertekad mendekati sepeda motor yang tinggal sekelebat lagi bisa dia bawa ke mana saja yang dia mau.

Kali ini kemauannya sudah bulat, Beki harus menjawab omelan Suli setiba di rumah besok dengan seonggok uang. Membawakan Kipli satu kotak es krim paling enak yang pernah Kipli rasakan nikmatnya.

Beki keluar dari lorong got yang berbau busuk.

Dia tak sabar hendak mencungkil lubang kunci dengan segenap kehebatannya sebagai seorang ayah bagi keluarga. Seorang laki-laki yang melindungi semua orang di dalam rumahnya. Seorang ayah yang tak sudi membiarkan keluarga sedih dan kecewa.

Kini Subeki sudah berada di mulut lorong tempat dia bersembunyi. Siap beraksi. Tetapi lagi-lagi dia harus menahan langkah kakinya.

Beki melihat seseorang mendekati sepeda motor yang dia incar sejak berjam-jam lalu. Orang itu datang entah dari mana. Pasti bukan dari dalam warnet karena Beki tak melihat siapapun keluar.

Orang itu duduk di atas jok dan menusuk lubang kunci dengan sebuah benda yang sama seperti di dalam saku Beki. Sebuah kunci T...!

Beki terhenyak. Mulutnya menganga. Dia ingin memekik tapi tenggorokannya tak sanggup melontar bunyi saat suara mesin motor kini terdengar di telinganya. Tinggal sedetik untuk orang itu membalikkan motor ke arah jalan raya.

Di tengah dirinya yang mematung dan merasa bodoh, sekonyong-konyong si tambun di dalam warnet keluar bersama sejumlah orang lain. Mereka berhamburan dan menyeruak melewati pintu warnet dengan wajah tegang.

"Maliiing.... Maliiiiiinngg... Maliiiinng..!!!"

Tak perlu menunggu komando menggiring orang-orang menuju titik yang diteriaki si tambun. Pemilik lapak yang buka hingga dini hari, anak-anak muda pengamen jalanan, tukang tambal ban yang bekerja hingga subuh, semua orang, melesat menuju motor yang dikendalikan membabibuta itu.

Orang itu terjerembab di aspal jalan saat dia melaju kencang, setelah seseorang menendang bagian pinggangnya. Pelaku curanmor itu terjengkang dan dikepung orang-orang. Tubuhnya diangkat dari aspal untuk dipukuli beramai-ramai.

Darah mengalir dari wajahnya. Teriakan meminta ampun tak mempan menyudahi massa yang beringas. Semua ingin ikut menyakiti si pelaku curanmor hingga tak sanggup mengucapkan sepatah saja kata-kata untuk menghentikan mereka.

Beki menyaksikan semua kejadian itu dari lorong got yang baunya busuk. Laki-laki itu tak sempat lagi berpikir mengenai rencananya itu. Dia tak mendapat jawaban saat bertanya pada diri sendiri. Apakah sebaiknya menyesali peristiwa itu ataukah menganggapnya sebagai keberuntungan.

Kunci T di tangan Beki terlepas, jatuh ke dalam lumpur got.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun