Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pelaho-Aseik, Ritual Memanggil Roh Leluhur dalam Tradisi Kerinci

17 November 2019   22:19 Diperbarui: 18 November 2019   20:00 2725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu tahapan dalam Pelaho-Aseik. Dokpri

Kehidupan orang Kerinci terutama dari sisi kebudayaan mereka memang selalu menarik untuk dibahas. Tak ayal, para peneliti baik lokal maupun asing berbondong-bondong datang ke wilayah ini untuk menelitinya. 

Orang asing yang datang pertama berkunjung ke wilayah Kerinci adalah seorang botanis asal Inggris bernama Mr. Campbell pada abad ke-19 M. Ia datang dari Bengkulu melewati Muko-muko dan menyusuri hutan lebat untuk sampai ke sini. Catatan perjalanan Campbell dalam lawatannya ke Korinchi (baca: Kerinci) kemudian ditulis ulang oleh William Marsden dalam karyanya History of Sumatra atau Sejarah Sumatra. 

Selain Marsden, seorang pejabat Belanda bernama Hoogkamer di Inderapura, Pantai Barat Sumatra, juga pernah menulis laporan tentang Kerinci pada tahun 1876 secara ringkas. Kala itu, Kerinci yang ditulisnya sebagai Korintji, masih menjadi negeri yang merdeka.

Dalam laporannya itu, disebutkan bahwa orang Kerinci memiliki kepercayaan kepada arwah leluhur, dewa-dewa dan roh-roh jahat selayaknya orang Kubu dan orang Sakai ditempat lain meskipun mereka semua adalah para pengikut Muhammad (Muslim). Mereka kerapkali melakukan ritual kepada roh-roh itu dalam sebuah upacara yang disebut sebagai "pelaro-ase".

 Apa yang dilaporkan Hoogkamer tersebut ternyata adalah sebuah kebenaran. Hampir satu setengah abad kemudian, saya menyaksikan sendiri bagaimana orang Kerinci melakukan ritual memanggil roh leluhur mereka melalui Pelaho-Aseik. 

Tidak jelas arti dan darimana dua kata ini berasal. Namun dari beberapa narasumber, menyebutkan bahwa pelaho berasal dari kata laho yang bila dimelayukan menjadi kata dara. 

Dara dalam artian ini bukanlah gadis atau perawan melainkan merujuk kepada berbagai kembang dan tumbuh-tumbuhan yang digunakan dalam upacara tersebut. 

Adalagi yang berpendapat bahwa pelaho berasal dari kata peliharo atau pelihara. Artian ini terkait dengan perintah para leluhur di masa lalu untuk menjaga dan melestarikan berbagai tradisi masa lalu yang mereka wariskan. Sedangkan kata aseik diartikan sebagai yakin dan khusyuk karena ritual ini dilandasi oleh keyakinan pada Tuhan yang tunggal dan kekhusyukan dalam penyelenggaraannya.

Ritual Pelaho-Aseiq dipimpin oleh beberapa orang balian yang umumnya adalah para perempuan tua. Balian atau secara lengkap disebut Balian Saleh diyakini sebagai perantara antara masyarakat umum dan roh para leluhur untuk berkomunikasi. 

Para Balian diyakini memiliki kemampuan magis yang tidak dimiliki oleh semua orang. Mereka mampu berbicara dengan makhluk halus, melihat yang tak kasat mata, dan mampu berkomunikasi dengan roh leluhur dari dunia lain. 

Mereka memiliki kemampuan untuk melakukan berbagai pengobatan tradisional lantaran mereka mendapat pengajaran langsung dari leluhur melalui alam bawah sadar mereka. Oleh karena itu, para bakian memanggil roh leluhur dengan sebutan "guru" dan "tuan".

Untuk menggelar ritual pelaho-aseik tidaklah mudah, mesti ada permintaan dari masyarakat atau isyarat dari dunia gaib terlebih dulu. Kemudian barulah segala peralatan dan sesajian dikumpulkan.

Kali ini, penulis menyaksikan ritual pelaho-aseik dalam rangka pengangkatan seorang balian yang baru di wilayah Siulak, Kerinci. 

Dalam ritual tersebut terlihat berbagai macam sesajian dan bunga-bungaan yang digunakan, ada sirih pinang, jeruk yang telah dibelah, lemang, jadah, beras, pisang, ayam panggang dan lain sebagainya. 

Ritual dilakukan di malam hari dan digelar dalam beberapa tahapan. Mula-mula para balian melakukan ritual di areal pinggir permukiman untuk memanggil arwah leluhur dan makhluk supernatural lainnnya yang diyakini bersemayam di Gunung, Sungai dan Laut. 

Upacara ritual di luar rumah. Dokpri
Upacara ritual di luar rumah. Dokpri
Para balian tampak menyenandungkan mantra dengan suara lirih, menghamburkan beras kuning (beras yang diberi kunyit), serta melakukan sedikit gerakan tarian. Aktivitas yang mereka lakukan menghadirkan suasana sakral bagi yang menyaksikan. 


Setelah ritual di luar rumah, ritual dihelat kembali di dalam rumah. Kali ini, ritual terfokus pada tari-tarian yang dilakukan berkeliling, mengitari sesajian searah jarum jam. 

Tarian sakral ini diiringi oleh senandung mantra para balian yang berisi pujian kepada roh leluhur serta mantra untuk memanggil para roh leluhur hadir dalam upacara mereka. 

Pada tahapan ini, Balian senior juga akan mengajari balian yang baru saja dilantik berbagai tahapan dan gerakan tarian dalam ritual aseik. 

Balian
Balian
Selama ritual tarian berlangsung, arwah para leluhur diyakini hadir dan merasuki tubuh para balian. Hal ini terlihat dari gerak dan langkah balian yang semakin cepat atau bahkan menampilkan atraksi yang tidak biasa. 

Seperti menari dengan hanya satu kaki selama berpuluh menit, menar di atas mangkuk-mangkuk putih yang telah disusun, menari sambil menjunjung susunan mangkuk di atas kepalanya, atau bahkan sampai menikamkan keris di tubuh yang tak menimbulkan luka sedikitpun. 

Sungguh tradisi yang unik dan menarik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun