Mohon tunggu...
Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis

Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ambiguitas Negara Pancasila

28 September 2020   20:36 Diperbarui: 29 Oktober 2020   00:12 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sisi lain, ada yang mengambil kesempatan untuk membelokkan arah politik negara—yang secara filosofis diyakini cukup ideal ini—menyimpang dari haluan Pancasila. Walhasil, kekuasaan Soekarno berakhir dramatis.

Kendali Negara Pancasila beralih ke Soeharto, seorang tentara. Awalnya banyak yang menaruh harapan baru—masa kekuasaannya pun diberi nama Orde Baru. Namun, pemangku Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) 1966 ini, perlahan dan pasti bertindak “menyempurnakan” kreasi politik pendahulunya.

Demokrasi Terpimpin di tangan Soekarno “disempurnakan” menjadi Demokrasi Pancasila di tangan Soeharto. Keseluruhan sila dari falsafah bangsa ini direduksi melalui tafsir kekuasaan sepihak. 30 tahun lebih gerbong Negara Pancasila ini ditarik lokomotif Orde Baru, dan berujung dengan krisis multidimensional 1998.

Presiden kedua Negara Pancasila, masinis Orde Baru ini pun dipaksa berhenti, lengser dari jabatannya. Lagi-lagi, negara-bangsa didera ketidakpastian politik.

Tuntutan reformasi menguat. Utak-atik sistem demokrasi lalu digalakkan demi memenuhi tuntutan reformasi. Konstitusi pun diamandemen. Undang-Undang Sistem Politik diperbarui, hingga kemudian Presiden pun dipilih secara langsung oleh rakyat—sebelumnya dipilih melalui Sidang Umum MPR.

Konon, kita menuju negara demokrasi. Harapan untuk Negara Pancasila yang berkeadilan dan berkemakmuran mulai menguat lagi.

Dua dasawarsa lebih, reformasi (katanya) bergulir. Lima kali Pemilihan Umum (Pemilu) pascareformasi telah dilaksanakan, termasuk di dalamnya empat kali Pemilihan Presiden (Pilpres). Lima Presiden berupaya “mengutak-atik” negara-bangsa dengan gaya dan caranya sendiri-sendiri.

Apakah negara sudah on the track berjalan di atas landasan falsafah Pancasila? Sementara persilangan ideologis masih terus tampak saling tarik-menarik ke kiri dan ke kanan. Pancasila sebagai basis ideologi negara lebih sering ditampilkan sebagai jargon, bahkan tak jarang dijadikan sebagai alat untuk menstigmatisasi lawan.

Di sudut kanan, khilafah ditampilkan sebagai “momok” demokrasi? Di sudut kiri, PKI dan komunisme “dibangkitkan” sebagai “genderuwo” Negara Pancasila?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun