Masa menjelang hari pertama masuk sekolah seharusnya jadi 'masa panen' bagi pemilik toko maupun pedagang yang menjual tas, sepatu sekolah, dan peralatan sekolah lainnya.
Sebab, akan ada banyak orang tua yang berdatangan. Tidak sekadar datang, tapi membelikan tas dan sepatu baru untuk anak-anak mereka yang akan segera masuk sekolah.Â
Tentu saja, momen itu akan menjadi masa sibuk yang menyenangkan bagi pedagang tas maupun sepatu. Kapan lagi bisa melayani banyak pembeli yang artinya panen cuan.
Namun, tidak semua pedagang tas dan sepatu bisa merasakan situasi menyenangkan. Beberapa toko pedagang tas di kawasan Tanggulangin Sidoarjo Jawa Timur, malah kebalikannya..Â
Setidaknya, dari hasil pantauan langsung dan bincang-bincang dengan pemilik toko tas di sana yang saya datangi, tidak nampak kesibukan melayani pembeli. Malah sepi.Â
Padahal, tas yang dijual di toko besar berlokasi di seberang jalan utama Tanggulangin ini lumayan lengkap.Â
Selain tas sekolah beberapa merk dan ukuran, juga ada tas kerja kantoran, tas selempang, maupun koper untuk bepergian. Ada juga sabuk dan sandal kulit.
"Ini (tas) bikinan sendiri (bukan ngambil kulakan di grosir), ada pengrajinnya pak," ujar ibu pemilik toko tersebut, mengawali obrolan.
Saya tergoda untuk kembali bertanya. Saya penasaran ingin tahu apakah masa-masa jelang masuk sekolah seperti sekarang ini menjadi momen ramai-ramainya toko. Dia lantas menjawab singkat.
"Dulu pernah begitu (ramai) pak. Tapi sekarang agak sepi. Sehari kadang tidak ada pembeli yang mampir ke toko," ujar ibu yang kira-kira berusia 50 tahun an ini.
"Sekarang, orang-orang banyak yang belanja lewat online," imbuh dia.Â
Karena situasi yang tidak seramai dulu, membuat ibu ini mengaku bila dirinya membuka toko 'semaunya'.
Maksudnya, tidak seperti kebanyakan toko yang ada 'jam kerjanya'. Buka setiap jam sekian, istirahat jam sekian, lalu tutup jam kesekian
"Karena milik sendiri, buka tokonya se-senangnya. BIasanya ada rewang (pembantu) yang bagian bersih-bersih toko, tapi ini tadi libur," imbuhnya.
Jawaban itu dia sampaikan ketika saya bertanya tokonya apakah buka pagi atau sore. Karena ketika beberapa kali lewat di sana, kadang buka pagi kadang tutup. Kadang sore buka terkadang tutup. Tidak menentu.
Pernah berjaya, kini menghadapi gempuran zaman kekinian
Tapi memang, itulah gambaran umum yang sepintas terlihat di kawasan Tanggulangin Sidoarjo saat ini.
Kawasan yang pernah berjaya dan sangat terkenal sebagai pusatnya pengrajin tas, koper, sepatu dan dompet kulit itu, kini menghadapi tantangan zaman yang telah berubah.Â
Bila tidak kuat dengan gempuran zaman kekinian, mereka tumbang. Faktanya, ada beberapa toko tas dan sepatu yang dulu ramai, kini sepi. Malah ada toko tas yang sudah beralih fungsi.
Meski tidak bisa juga digebyah uyah alias disamaratakan.Â
Sebab, saya yakin, masih ada beberapa pemilik toko dan pengrajin di Tanggulangin yang masih survive hingga kini karena penghasilannya masih lumayan alias mampu menjual barang dagangannya dalam jumlah besar.
Pernah berjaya, kini menghadapi tantangan zaman
Meski, yang terjadi memang, kebanyakan pemilik toko di sana sudah kewalahan bahkan mungkin ada yang angkat tangan dengan fenomena yang terjadi sekarang.
Mereka tidak mampu lagi menarik pembeli untuk datang ke tokonya karena kesulitan menghadapi tantangan zaman kekinian.
Mereka kini harus bersaing dengan toko online/ marketplace yang menjual sepatu atau tas tanpa harus datang ke toko. Belum lagi fakta daya beli masyarakat yang menurun.
Dulu, memang tidak sulit menemukan aktivitas pelaku industri kerajinan tas, koper, dan sepatu di kawasan Tanggulangin. Toko-toko tas dan koper, berjajar di sepanjang jalan di Desa Kludan, Kendensari, hingga Kalisampurno.
Bahkan, produk-produk unggulan dari sentra tas dan koper Tanggulangin dulu mampu menembus pasar ekspor. Mereka mampu bangkit setelah sempat terpuruk akibat terdampak bencana lumpur Lapindo pada 2006 silam.
Tapi kini situasinya berbeda. Tantangannya berbeda. Utamanya selepas wabah Covid19 pada 2020 hingga awal 2021 lalu .Â
Mengutip artikel dari Kompas.id berjudul "perajin kulit Tanggulangin bersiasat hadapi gempuran produk impor" yang tayang pada Juli 2024 lalu, jumlah pelaku industri kerajinan tas, koper, dan sepatu kulit di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, turun drastis.
Mayoritas terpaksa turun kelas dengan memproduksi kerajinan berbahan kulit sintetis.Â
Menurut laporan dari wartawan Kompas di Sidoarjo, kondisi ini dipicu daya beli masyarakat yang belum pulih akibat tekanan ekonomi. Ditambah lagi gempuran produk impor yang semakin masif.
Bila tidak kuat menghadapi tantangan zaman, usaha mereka hanya akan jalan di tempat atau malah gulung tikar karena besar pasak daripada tiang.Â
Faktanya, beberapa toko di seberang jalan Tanggulangin yang saya amati, nampak beberapa etalasenya kosong. Tidak ada barang yang dipajang. Rak-rak juga banyak yang tidak terisi.Â
Bila seperti itu, calon pembeli juga akan berpikir dua kali untuk masuk ke tokonya.
Beberapa pemilik toko di Tanggulangin mungkin sudah pasrah dan mengamini kata-kata bijak terkenal. Bahwa setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya.
Bahwa, mereka pernah menjadi 'orang' di masanya. Terkenal. Jadi jujugan. Didatangi banyak orang.
Tapi kini situasinya mungkin sudah berbeda. Masanya sudah berganti. Toko online yang kini menjadi 'orang' di masa sekarang.
Bersaing dengan toko online
Mereka kini tidak lagi bersaing berebut rezeki dengan sesama pengrajin maupun sesama pemilik toko. Namun, pesaing mereka kini adalah toko online dan kebiasaan masyarakat yang berubah.
Bahwa, masyarakat di era sekarang, banyak yang senang berbelanja secara online.Â
Dengan hanya memencet gawai di tangan, mereka tinggal memilih barang yang dicari. Bila cocok tinggal dimasukkan 'keranjang' alias dibeli. Dibayar. Lantas barang sampai ke rumah.
Habit berbelanja dari rumah ini yang menjadi tantangan bagi pemilik toko tas yang kemarin bercerita kepada saya.
Bagaimana agar bisa tetap survive?
Beradaptasi. Itu kuncinya. Tidak ada cara lain.
Bahwa, pengrajin di sentra industri tas tersebut harus terus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Bila memang pembeli suka belanja online, mereka harus mulai beradaptasi untuk memenuhi permintaan pasar daring.
Tetap buka toko secara offline agar pelanggan bisa mampir dan melihat langsung barang yang dijual. Tapi juga membuka mata untuk berkenalan dengan pasar onlineÂ
Belajar caranya. Belajar memfoto produk. Belajar bikin narasi menarik untuk promo menawarkan produk secara daring.
Apalagi, pemerintah setempat melalui dinas terkait, juga tidak tinggal diam. Ada intervensi yang dilakukan terhadap pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) agar melek pasar daring.Â
Salah satunya dengan melakukan pendampingan usaha dan memberikan bekal ilmu. Termasuk ada pelatihan mengenal pasar daring dan bagaimana caranya agar bisa ikut menjadi 'pemain'..
Memang, ketika mencoba 'banting stir' ke pasar daring, tidak serta merta pedagang konvensional bakal sukses. Sebab, pesaingnya di pasar online juga banyak.
Namun, minimal dengan beradaptasi, mereka jadi punya harapan yang bertambah. Ada peluang lain. Daripada hanya mengandalkan toko offline dan menunggu pembeli datang ke tokonya. Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI