Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Menduakan Pekerjaan, Alasan Gaji Kurang atau Kurang Bersyukur?

12 Oktober 2021   08:17 Diperbarui: 13 Oktober 2021   16:31 1756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pekerja yang kurang fokus pada pekerjaannya. Bisa jadi karena menduakan pekerjaannya| Foto: Thinkstockphotos.com/lifestyle.kompas.com

Di buku "The Ikhlas Way" yang menceritakan kisah nyata dinamika yang terjadi di dunia kerja, Ang Harry Tjahjono menyebut pentingnya fokus pada pekerjaan. Fokus dengan tidak 'menduakan' pekerjaan utama.

Menurutnya, di dunia kerja, banyak orang gagal bukan karena nggak pintar. Tapi mereka nggak bisa fokus pada pekerjaannya. Fokus mereka terbagi karena sibuk memikirkan kerja sampingan.

"Jika Anda punya pekerjaan bagus saat ini, fokuslah. Jangan menduakan hati Anda pada pekerjaan sampingan".

Begitu kata Ang Harry di salah satu cerita berjudul Kerja Harus Fokus, Jangan Mendua di buku itu.

Membaca buku lumayan tebal itu terasa mengasyikkan. Tidak terasa berat. Apalagi, kita bisa menangkap pesan, bahwa bekerja di manapun, sebenarnya akan sama saja ceritanya.

Akan ada yang namanya 'politik kantor', konflik dengan rekan kerja, maupun rasa suka atau tidak suka atasan terhadap bawahannya. Itu semua bisa muncul di tempat kerja mana saja.

Nah, Ang Harry Tjahjono yang berpengalaman puluhan tahun di dunia kerja dan kini menjabat GM Human Capital & Corporate Affairs di sebuah perusahaan multinasional, memberikan resep agar kita bisa bersikap kalem menghadapi 'kejutan' di tempat kerja. Kuncinya adalah ikhlas.

Membaca tulisan-tulisan di buku ini, kita tidak hanya belajar bagaimana menyikapi setiap masalah yang muncul di dunia kerja. Tetapi juga mendapatkan motivasi dan memungut inspirasi untuk mengembangkan potensi diri di dunia kerja.

Curhatan kawan yang anak buahnya 'menduakan' pekerjaan

Saya mendadak teringat dengan salah satu cerita di buku The Ikhlas Way itu setelah mendengarkan curhatan seorang kawan yang pada akhir pekan kemarin berkunjung ke rumah.

Kawan yang kini menjadi leader di sebuah kantor pengacara ini bercerita tentang salah satu anak buahnya yang ketahuan menduakan pekerjaannya.

Menurutnya, tanpa pernah kulo nuwun alias berbincang meminta izin kepada dirinya, anak buahnya itu mengirimkan beberapa lamaran kerja ke tempat lain.

Memang, hal seperti itu sebenarnya biasa terjadi di dunia kerja.

Seorang pekerja yang merasa kurang puas dengan pekerjaannya, lantas mencoba mencari peruntungan baru di tempat lain yang dianggapnya lebih bagus. Utamanya dari sisi gaji.

Masalahnya, ketika dia mulai berpikir untuk menduakan pekerjaannya, dia jadi kurang fokus dengan pekerjaannya di kantor yang sekarang. Sebab, pikirannya sudah berada di tempat lain.

"Aku suruh dia ikut menghadiri sidang di luar kota, menolak. Disuruh mendatangi klien juga nggak mau. Beberapa kali seperti itu. Ada saja alasannya. Seharian bisa di depan laptop. Entah maunya apa," ujar kawan tersebut.

Sikap sak karepe dhewe bawahannya itu lantas terjawab. Kawan saya itu tahu tanpa disengaja perihal menduanya fokus kerja anak buahnya itu.

Dia menerima telepon dari kantor pengacara lain yang menelepon ke kantornya. Menanyakan perihal bagaimana kinerja bawahannya tersebut. Memberitahukan bila dia melamar kerja di tempatnya.

Bahkan, tidak hanya satu, ada juga kantor lainnya yang menelepon dan penasaran menanyakan hal serupa. Bagaimana kinerja anak buahnya itu selama bekerja di kantor kawan saya itu.

Masalahnya lagi, si anak buah itu tidak jujur ketika melamar kerja.

Dia mengaku sudah berhenti bekerja dari kantor pengacara kawan saya. Ternyata, tanpa dia sadari, orang-orang di level atas, meskipun kelihatannya bersaing dalam kerja, ternyata saling kontak baik.

Kawan itu pun lantas menyampaikan kondisi sebenarnya kepada orang-orang yang penasaran itu.

"Ya aku bilang kalau dia masih bekerja di tempatku. Belum resign. Padahal, kalau dia izin baik-baik, aku juga mau mendengarkan, mas. Mungkin dia nggak mengira bila tempat yang dia lamar itu ternyata kenal dan menelpon aku," sambung kawan saya itu.

Akhir cerita, si anak buah itu akhirnya diberhentikan di bulan Oktober ini.

Sebelumnya, dia sudah menyampaikan berencana mundur di bulan November. Tanpa memberitahu alasannya.

Ternyata dirinya sedang menunggu kabar hasil melamar ke tempat lain. Dia yakin bakal diterima dan bersiap angkat kaki dari tempat bekerjanya sekarang.

Pelajaran dari cerita nyata kawan tersebut, bekerja itu memang harus fokus. Harus serius bekerja untuk menciptakan hasil yang bagus. Sebab, atasan tidak menutup mata dengan pekerjaan kita.

Jangan hanya mau menerima gaji tapi nggak doyan kerja. Apalagi malah memikirkan kerja di tempat yang lain yang konon lebih oke. Apa iya ada atasan yang mau menggaji anak buah yang bermalas-malasan.

Perihal alasan orang menduakan pekerjaan

Sebenarnya, apa alasan yang mendorong orang lantas terpikir untuk menduakan pekerjaannya?

Dari beberapa obrolan dengan kawan-kawan, kebanyakan karena beralasan gajinya tidak cukup sehingga ingin menambah penghasilan.

Karenanya, mereka tergoda untuk mencari pekerjaan yang bisa memberi salary lebih dari cukup. Itu mungkin hal jamak yang pernah dilakukan banyak orang di dunia kerja.

Celakanya, ada banyak orang yang tergesa-gesa. Kurang sabaran.

Ibaratnya, dia menaiki perahu kecil di tengah lautan. Ingin berpindah perahu. Lantas, demi melihat perahu yang kelihatannya lebih menjanjikan, dia nekad meninggalkan perahu kecilnya itu.

Ternyata, pemilik perahu besar itu tidak mau menerima kehadiran orang baru. Jadinya, dia lantas tidak memiliki perahu.

Analogi itu sama dengan ketika kita berkeinginan pindah kerja di tempat lain yang bisa memberi gaji lebih besar. Namun, jika ternyata pekerjaan yang diidamkan itu belum ada, bertahanlah dulu dengan yang ada. Jangan nekad keluar.

Apalagi, frasa 'gaji cukup' itu sebenarnya soal bagaimana kita mengaturnya.

Bila kita pandai mengaturnya, gaji yang dirasa kurang itu ternyata bisa cukup. Tapi kalaupun dianggap cukup, bila tidak mampu mengatur, ya bakal terasa kurang terus.

Saya pernah merasakan hal itu ketika di tahun-tahun awal menikah pada 2011 silam.

Sebelum menikah di akhir tahun 2010, saya sudah membeli rumah. Membayar uang muka dengan tabungan yang saya sisihkan sejak awal bekerja. Ketika menikah, rumah yang dibangun selama beberapa bulan itu sudah jadi. Siap ditempati.

Nah, di tahun-tahun awal menikah, dengan gaji di kisaran Rp 4 juta, saya harus mengangsur cicilan rumah dengan besaran hampir setengah dari gaji itu. Ketika itu, istri masih bekerja. Meski dengan gaji di kisaran 2 juta.

Bila dihitung, penghasilan kami sebulan di masa itu ya sekitar 6 juta itu.

Toh, dengan setiap bulan harus mengangsur rumah, mencicil untuk mengisi perabotan rumah, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, kami merasa cukup.

Bahkan, di akhir pekan, terkadang bisa refreshing dengan makan berdua di rumah makan ataupun nonton film di bioskop. Plus, masih bisa menabung untuk menyiapkan kelahiran putra kami.

Jadi, cukup nggak cukup itu sejatinya bergantung kita. Cukupkan, pasti bisa cukup. Meski, saya paham, kondisi yang dihadapi setiap orang bisa berbeda-neda.

Sebenarnya, bisakah menduakan pekerjaan?

Tentang pertanyaan ini, saya tidak memungkiri pernah melakukannya. Utamanya setelah mundur dari 'pabrik koran' lalu bekerja menulis sebagai staf di sebuah instansi.

Namun, bila ingin menduakan pekerjaan, jangan asal. Harus dipikirkan plus minusnya. Harus siap dengan risikonya. Bahwa, pekerjaan utama harus tetap menjadi prioritas.

Benar, ketika menduakan pekerjaan, fokus kita akan terbagi. Sebagai manusia, kita tidak mungkin bisa fokus 200 persen di dua pekerjaan secara bersamaan. Sangat sulit.

Dulu, selain bekerja di kantor, saya juga menerima orderan pekerjaan menulis di dua majalah. Mewawancara orang dan menulis.

Saya bersedia karena pekerjaannya fleksibel. Tak terikat waktu. Hanya diberi deadline kapan harus selesai. Ada yang bulanan. Ada yang tiga bulanan. Selebhnya, saya bisa mengatur waktu sendiri untuk memberesinya.

Bila pekerjaan sampingan itu waktunya bentrok dengan pekerjaan utama, saya menolaknya. Semisal saya harus meninggalkan kantor di jam-jam kerja untuk waktu yang lama.

Kala itu, saya memberesi pekerjaan sampingan itu di rumah. Saya membuat janji wawancara dengan narasumber ketika sepulang bekerja. Sore hari. Lantas, menulisnya ketika malam di rumah. Atau bila mengantuk, saya memberesinya pagi sebelum ngantor.

Capek? Tentu saja.

Setelah seharian bekerja, malamnya kembali bekerja di rumah. Kurang istirahat. Tapi, itu memang risiko yang harus dihadapi bila ingin mendapatkan tambahan penghasilan. Saya sudah siap dengan risiko itu.

Menurut saya, pekerjaan sampingan boleh saja diambil selama memang tidak mengganggu rutinitas kerja utama. Bila ternyata menganggu, ya harus disetop. Fokus pada kerja utama saja.

Semisal sampeyan (Anda) membuka toko sembako di rumah. Ketika jam-jam kerja, sampeyan seringkali pergi ke pasar grosir untuk kulakan alias membeli barang-barang yang akan dijual. Tentu itu bertabrakan dengan kerja utama yang menggaji sampeyan.

Boleh lha berdagang di rumah sebagai usaha sampingan. Tapi tentu tanpa menganggu rutinitas kerja. Semisal kulakan bisa dilakukan di akhir pekan ketika libur kerja.

Bila tidak mampu mengatur waktu, lebih baik fokus pada pekerjaan utama. Jangan menoleh kiri kanan.

Pada akhirnya, dalam situasi sulit akibat pandemi Covid-19 yang membuat banyak orang mendadak kehilangan pekerjaan, kita harus lebih mensyukuri, menghargai, dan fokus menjalani pekerjaan yang sekarang. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun