Namun, reporter Sky Deutschland, Torebn Hoffman menyebut masalah terbesar Sanches adalah soal bahasa sehingga sulit menyatu dengan tim barunya. Dia sulit beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Itu menjadi awal kejatuhan Sanches. Jatuh di usia yang masih muda. Di musim berikutnya, 2017/18, dia dipinjamkan ke klub Inggris, Swansea City. Bayangkan, dari Bayern yang megah ke tim biasa seperti Swansea.
Orang tidak lagi ingat bila Sanches merupakan pemain muda terbaik di Eropa. Bilapun diingat, Sanches dianggap seperti beberapa pendahulunya: anak muda yang hebat lantas layu sebelum berkembang karena salah memilih klub.
Kabar buruk diterima Sanches ketika dirinya tidak ikut dipanggil memperkuat Portugal di Piala Dunia 2018.
Itu momen pahit dalam karier Sanches. Jadi juara Eropa tapi tidak main di Piala Dunia. Dia mungkin menyesali keputusannya bergabung dengan Bayern ketimbang tetap bertahan di Benfica.
Semusim kemudian, 208/19, dia kembali ke Bayern. Pelatih baru Bayern, Niko Kovac, berjanji akan lebih memberdayakan potensi Sanches. Toh, dia hanya bermain 17 kali. Meski bisa mencetak satu gol.
Situasi Sanhces bahkan memburuk di musim 2019/20. Depresi karena situasi, darah mudanya bergejolak.
Di awal musim, saat jumpa pers usai Bayern tampil di pertandingan melawan Hertha Berlin pada 24 Agustus, Sanches menyebut ingin pergi demi bisa sering bermain.
Dia mulai berulah. Absen berlatih, memilih pulang, hingga diganjar denda. Masanya di Bayern pun berakhir ketika petinggi Bayern, Karl-Heinz Rummenigge mengkritiknya. Tapi memang, dia tidak berjodoh dengan Bayern.
Membangun kembali kariernya di Prancis, bangkit di saat tepat
Cerita kemudian, dia dilego ke klub Prancis, OSC Lille. Dari sisi manapun, Lille yang pernah juara tiga kali Liga Prancis 2018/19, tidak bisa disejajarkan dengan Bayern.