Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Sampai Kapan Kita Bisa Menemukan Pengganti Tontowi/Liliyana

25 Oktober 2018   08:46 Diperbarui: 25 Oktober 2018   15:00 1443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tontowi Ahmad (kanan) dan Liliyana Natsir, legenda yang hingga kini belum ada penggantinya/Foto: olahragakompas.com

Dalam dunia olahraga, mengganti sosok pemain legendaris itu tidak mudah. Bahkan sangat sulit. Ada banyak contoh yang menggambarkan betapa sebuah tim dan negara, butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa menemukan pengganti setelah seorang legenda memasuki pensiun hingga akhirnya berpamitan setelah sekian tahun memberikan kebanggaan.

Di sepak bola, salah satu klub paling terkenal di dunia yang memiliki fans hampir di semua negara, Manchester United, pernah merasakan betapa sulitnya mencari pengganti kiper legendaris asal Denmark, Peter Schemeichel yang pensiun pada tahun 1999 silam.

Beberapa kiper baru yang kemudian direkrut, belum mampu memberikan rasa aman. Dari Massimo Taibi asal Italia hingga Fabian Barthez asal Prancis, mereka belum mampu membuat fans United move on dari The Great Dane--julukan Schmeichel. United baru menemukan kiper yang selevel Schmeichel pada diri Edwin van der Sar di tahun 2005 atau enam tahun setelahnya.

Bahkan, dalam cerita yang lebih kekinian, setelah ditinggal pensiun manajer (pelatih) legendaris mereka, Sir Alex Ferguson di akhir musim 2012-2013 (setelah melatih sejak tahun 1986) silam, hingga kini United belum bisa move on. Beberapa pengganti seperti David Moyes, Louis van Gaal hingga Jose Mourinho, belum sesuai harapan mayoritas fans United.

Di ranah bulutangkis, juga ada banyak contoh betapa sulitnya menemukan pengganti pemain legenda. Tiongkok yang dulu dikenal sebagai "pabrik" nya tunggal putri top dunia, selepas era Wang Yihan pensiun pada 2016 silam, mereka belum memiliki WS yang benar-benar jaminan juara.

Indonesia juga pernah merasakan sulitnya mencari pengganti Susy Susanti yang merupakan legenda tunggal putri, juga Taufik Hidayat di tunggal putra. Belum ada sosok pengganti yang mampu berbicara banyak di "panggung dunia". Hingga kini masih dalam proses "in the making".

Nah, terkini, bayang-bayang sulitnya menemukan pengganti legenda, juga muncul di sektor ganda campuran. Setelah dalam satu dekade lebih, Liliyana Natsir menjadi legenda Indonesia di sektor ganda campuran dengan meraih puluhan gelar bergengsi (mulai emas SEA Games hingga emas Olimpiade), awal tahun depan, Ci Butet--panggilannya berencana pensiun. Artinya, pasangan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang selama bertahun-tahun menjadi andalan Indonesia di sektor ganda campuran, akan tinggal kenangan.  

Penampilan ganda campuran Indonesia masih labil

Kabar buruknya, hingga kini, Indonesia belum memiliki ganda campuran yang bisa tampil stabil dan kelak bisa diandalkan sebagai pengganti Tontowi/Liliyana. Memang, Indonesia memiliki beberapa pasangan ganda campuran potensial.

Sayangnya, prestasi mereka belum stabil. Alih-alih stabil, penampilan mereka masih labil. Bahkan belum mampu melampaui pencapaian Tontowi/Liliyana yang penampilannya mulai digerus usia. Terlebih, Tiongkok mulai kembali mendominasi sektor ini.

Potret tidak stabilnya ganda campuran Indonesia itu terlihat dari penampilan mereka di dua turnamen Eropa, Denmark Open yang berakhir Minggu (21/10/2018) kemarin dan French Open 2018 yang kini masih berlangsung. Mereka sekadar menjadi "penggembira" di round 1 ataupun round 2.

Di dua turnamen Eropa, Indonesia melalui PBSI mengirimkan empat pasangan ganda campuran. Selain Tontowi/Liliyana, ada pasangan Praveen Jordan/Melati daeva Oktavianti, Ricky Karanda Suwardi/Debby Susanto dan Hafiz Faisal/Gloria Emanuelle Widjaja.

Hasilnya, di Denmark Open, Praveen/Melati langsung out di babak pertama. Sementara Ricky/Debby kalah di babak kedua. Keduanya dikalahkan ganda campuran rangking 1 dunia asal Tiongkok, Zheng Siwei/Huang Yaqiong. Dan Hafiz Faizal/Gloria juga terhenti di babak kedua setelah dikalahkan ganda campura Inggris, Chris Adcock/Gabby Adcock.

Justru, Tontowi/Liliyana yang sejatinya tampil untuk "mematuhi aturan BWF" sebelum masa pensiun, malah bisa lolos hingga semifinal sebelum dikalahkan Siwei/Yaqiong. Bahkan, mereka kalah rubber game yang memperlihatkan semangat juang mereka meski melawan lawan yang jauh lebih muda 6-8 tahun.

Bagi saya, hasil buruk ganda campuran di Denmark Open 2018 mungkin masih bisa "dimaafkan". Sebab, mereka memang bertemu lawan berat. Meski, kekalahan Hafiz/Gloria membuat kecewa. Sebab, pada pertengahan Juli 2018 lalu, Hafiz/Faizal mampu mengalahkan duo Adcock di final Thailand Open 2018 dan meraih gelar pertama mereka. Kenapa sekarang tak berdaya?

Di French Open 2018 yang mulai digelar Selasa (23/10/2018) kemarin, saya sempat berharap ganda campuran Indonesia bisa tampil lebih baik. Sebab, jadwal yang mereka lakoni tidak "sekejam" di Denmark Open 2018. Yang terjadi, Ricky/Debby dan Hafiz/Gloria justru meraih hasil lebih buruk.

Ricky/Debby langsung rontok di babak pertama (babak 32 besar) setelah kalah straight game dari ganda campuran Inggris, Marcus Ellis/Lauren Smith 18-21, 18-21. Sementara Hafiz/Gloria kalah dari ganda Hongkong unggulan 4, Tang Chung Man/Tse Ying Suet 18-21, 9-21.

Dan, lagi-lagi, Tontowi/Liliyan yang akan digantikan, justru meraih hasil lebih bagus dengan lolos ke round 2 setelah menang atas ganda Taiwan, Lee Yang/Hsu Ya-ching. Praveen/Melati juga lolos ke round 2 usai menang atas ganda  Denmark, Mikkel Mikkelsen/Mai Surrow.

Meski, Praveen/Melati akan mendapat ujian berat di round 2 yang akan dimainkan Kamis (25/10/2018) siang waktu setempat. Mereka akan menghadapi ganda Tiongkok unggulan 2, Wang Yilu/Huang Dongping. Semoga malam nanti ada kabar baik dari sektor ganda campuran.

Solusi menemukan pengganti Tontowi/Liliyana

Andai, ganda campuran kita belum mampu tampil stabil, maka tahun depan kita harus siap mental bila sering mendengar kabar ganda campuran kita seringkali menjadi "penggembira" di turnamen (semoga tidak).

Bila turnamen elit bulutangkis (yang tanpa kualifikasi) babak 32 besarnya digelar mulai Selasa dan final digelar hari Minggu, kita harsu siap bila jarang mendengar ada pasangan ganda campuran kita yang jarang tampil di hari Minggu. Tapi mungkin sudah rontok di hari Rabu maupun Selasa seperti di dua turnamen Eropa. Semoga saja tidak begitu.

Lalu, bagaimana solusinya?

Kita berharap Hafiz/Gloria yang sejatinya punya potensi, bisa terus berlatih meningkatkan kemampuannya. Begitu juga dengan Praveen/Melati Daeva. Tahun ini, Hafiz/Gloria sekali juara di Thailand Open pada Juli lalu. Sementara Praveen/Melati sekali masuk final di India Open 2018 pada Januari lalu.

Saya yakin, Praveen (25 tahun) dan melati (23 tahun) serta Hafiz dan Gloria yang sama-sama berusia 24 tahun, masih bisa berkembang. Selama mereka mau berlatih lebih keras, meningkatkan kekuatan fisik, mengamati pola main lawan lebih detail dan juga menempa mental tanding, mereka bisa lebih baik.

Namun, bila ternyata penampilan mereka masih begini-begini saja, maka PBSI perlu mengambil "jalan pintas". Yakni dengan memasangkan dua pemain jadi. PBSI bisa mencontoh keberanian Tiongkok memasangkan Siwei/Yaqiong.

Sebelumnya, Siwei berpasangan dengan Chen Qingchen dan sempat jadi ganda rangking 1 dunia. Sementara Yaqiong bermain dengan Lu Kai dan sempat jadi juara All England 2016. Namun, karena Lu Kai cedera dan Siwei/Qingchen sering kalah ketika melawan Tontowi/Liliyana (salah satunya di final kejuaraan dunia 2017), Tiongkok lantas 'menceraikan' mereka dan memasangkan Siwei/Yaqiong. hasilnya, Siwei/Yaqiong kini mendominasi ganda campuran dengan telah meraih 7 gelar BWF World Tour plus gelar juara dunia 2018.  

Di kalangan warganet yang merupakan badminton lover, muncul suara agar memasangkan Tontowi Ahmad dengan Apriyani Rahayu. Ada juga yang menginginkan Kevin Sanjaya dicoba dengan Ni Ketut Mahadewi karena sama-sama bertipikal lugas dan cepat. Bukan tidak mungkin PBSI kelak akan memilih "jalan pintas" ini.

Pada akhirnya, saya tidak akan kaget bila ternyata capaian Tontowi/Liliyana di French Open 2018 masih lebih baik dari ketiga ganda campuran lainnya yang seharusnya menggantikan mereka. Karena memang, Tontowi (31 tahun)/Liliyana (33 tahun) meski penampilannya tidak lagi secepat dan se-powerfull dulu imbas usia, secara mental mereka masih yang terbaik.

Dan memang, menemukan pengganti legenda itu tidak mudah. Butuh waktu yang mungkin saja bertahun-tahun.

 Seperti cuplikan lirik lagu Sheila Madjid berjudul "Legenda" yang melegenda itu:

Sejuta bintang di angkasa

Sinarnya mempesona

Sebutir bintang di taman seni

Cahayanya berseri

Biar bertahun masa beredar

Satu wajah satu nama takkan pudar

Kaulah satu satunya

Di antara berjuta

Insan teristimewa

Patah tak tumbuh lagi

Hilang belum berganti

Kerana kau tersendiri.....

Engkau lagenda

Salam bulutangkis!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun