Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Ketupat, Sampai Kapan Bertahan?

18 April 2024   23:21 Diperbarui: 19 April 2024   00:49 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua orang tentu akan menganggukkan kepala, dan berdecak kagum setuju, betapa unik tradisi masyarakat Jawa satu ini. Tidak saja keindahan wujud dan rupa hasta karya dari bahan sederhana daun muda pohon kelapa ini, yang berguna sebagai wadah olahan beras menjadi nasi lembut dan kenyal khas kuliner Jawa saja. Namun juga kandungan ajaran filsafat hidup yang secara simbolis tersimpan di dalamnya. Menjadikan ketupat sebagai ikon budaya yang istimewa.

Jika dilihat dari wujud dan perbedaan cara menganyamnya, ada tiga ketupat yang dikenal masyarakat Jawa. Pertama ketupat atau kupat Shinta. Wujudnya seperti atap rumah joglo. Ada juga yang mengatakan bentuknya seperti jantung. Kedua, ketupat luar. Bentuknya hanya seperti balok. Ketiga, ketupat kodok, wujudnya seperti katak yang terlihat punggungnya saja.

Dalam tradisi masyarakat Jawa ketiga ketupat tersebut berbeda gunanya. Kupat Shinta sebagai simbol pembersihan hati. Umumnya kupat ini dibuat lengkap dengan makanan pengiringnya, lepet dan sayur lodeh, pasca lebaran ketika semua orang sudah selesai saling memaafkan kesalahan.

Kupat luar digunakan dalam tradisi ruwatan. Masyarakat Jawa menyakini bahwa jumlah anak tertentu mengandung sengkala yang harus dihilangkan dalam upacara ruwatan. 

Dalam upacara ini kupat yang berbentuk balok itu diisi beras kuning.  Anyaman kupat luar ini memang gampang sekali dilepas hanya dengan satu tarikan pada kedua ujungnya. Karena itulah digunakan dalam acara ruwatan. Dengan sekali tarik isi kupat akan berhamburan. Pertanda bahwa sengkala telah hilang pada anak yang diruwat. Itu dilakukan pada puncak upacara ruwatan.

Penulis hingga kini belum tahu apa guna kupat kodok dalam tradisi masyarakat yang sarat pesan spiritual yang simbolistik ini.

Dok.NUonline.
Dok.NUonline.

Kata kupat banyak yang menafsirkan sebagai akronim dua kosa kata dalam bahasa Jawa, Aku dan Lepat. Maknanya saya bersalah. Oleh karena itu wajib bagi orang bersalah memohon maaf. Karena Allah tidak akan mengampuni kesalahan seseorang sebelum orang tersebut meminta maaf kepada orang yang pernah disalahi, maka tradisi silaturahim dilakukan, berkunjung ke rumah tetangga dan saudara untuk mohon maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan. Dengan cara demikian masing masing hati akan kembali bersih. Lepas dari beban dosa yang pernah dilakukan.

Ada pula yang memberi makna kupat sebagai laku papat. Yakni empat hal yang harus dilakukan agar sempurna ibadah seseorang. Pertama lebaran, menyelesaikan puasa sebulan penuh. Kedua luberan, atau limpahan, memberi sebagaian rejeki yang didapat untuk kaum duafa dalam bentuk zakat. Ketiga leburan, menghancurkan segala beban kesalahan dengan saling memaafkan. Terakhir laburan, menghias hati dengan keindahan pergaulan yang lebih baik.

Kupat dari janur kuning ada yang memaknainya, janur dari sejatining nur. Cahaya sejati. Kuning dari kalbu dan wening, hati yang bersih. Cahaya sejati, petunjuk, hanya akan didapat oleh mereka yang berhati bersih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun