Bayangkan mengajar penuh dedikasi dari pagi hingga siang, lalu pulang dengan upah tak lebih dari harga sepasang sepatu. Inilah realita menyayat hati guru honorer pahlawan pendidikan yang bertahan hidup hanya dengan Rp 300 ribu per bulan. Apa yang membuat mereka tetap bertahan?
Setiap pagi, Ibu "R" berangkat mengajar ke sekolah dasar di pelosok desa. Dengan sepeda tuanya, ia menyusuri jalan berbatu sejauh 7 kilometer, menghindari genangan dan lubang.Â
Ia tiba di sekolah dengan senyum tulus, menyapa murid-murid yang telah menunggunya sejak pagi. Tak ada yang tau, senyum itu menyembunyikan kenyataan pahit: upah bulanannya hanya Rp300 ribu.
Sebagai guru honorer, Ibu. "R" telah mengabdi selama 9 tahun. Ia mengajar semua mata pelajaran di kelas rendah karena kekurangan tenaga pendidik.Â
Gajinya tak cukup untuk biaya makan, apalagi keperluan hidup lainnya. Untuk bertahan, ia menjahit di malam hari dan sesekali membantu tetangga memanen padi dengan upah harian.
Ujar ibu "R" Saya tidak bisa meninggalkan anak-anak itu. Mereka perlu belajar, dan saya ingin mereka punya masa depan," ucapnya lirih.Â
Di tengah ketidakpastian dan beban hidup, Ibu "R" tetap bersemangat menyusun RPP dan mencetak bahan ajar dengan biaya sendiri.Â
Kadang ia merogoh kantong pribadinya untuk membeli kapur tulis atau hadiah kecil bagi murid yang berprestasi.
Ironisnya, guru honorer seperti Ibu "R" tidak pernah dijanjikan kenaikan gaji tetap, setiap awal tahun ajaran, mereka kembali menandatangani kontrak baru, tanpa jaminan nasib yang lebih baik.Â
Di saat banyak orang mengejar kenyamanan kerja, guru honorer justru menjadi pilar pendidikan dengan segala keterbatasan.
Mereka tak hanya mengajar, tetapi juga menjadi motivator, pendengar, bahkan orang tua kedua di sekolah.Â
Mereka terus mengabdi meski terkadang tak dianggap, di balik senyum yang terlihat sederhana itu, tersimpan tekad besar: mencerdaskan anak bangsa dengan segala pengorbanan.
Kesimpulan: Kisah Ibu "R" hanyalah satu dari ribuan guru honorer lain di Indonesia yang hidup dalam kesederhanaan, namun mengabdi dalam ketulusan. Mereka tidak meminta lebih, hanya ingin dihargai setara. Bukankah sudah saatnya kita melihat lebih dalam bahwa senyum itu menyimpan perjuangan yang luar biasa?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI